Permasalahan Utama Kebijakan Internal BUMN Terkait dengan Komitmen TKDN/P3DN

Meskipun peraturan mengenai penggunaan produk Permasalahan Utama Kebijakan Internal BUMN Terkait dengan Komitmen TKDN/P3DN sudah ada sejak Tahun 2014 yang lalu dengan ditetapkan Peraturan Menteri Perindustrian No.3 Tahun 2014 tentang Pedoman P3DN untuk PBJ yang tidak dibiayai APBN/APBD dan menyasar secara khusus kepada BUMN atau swasta yang bekerjasama dengan Kementerian dan atau instansi pemerintah lainnya. Akan tetapi praktik di lapangan masih banyak entitas perusahaan BUMN yang belum mempunyai kebijakan internal yang mengatur mengenai TKDN/P3DN. Bahkan untuk entitas yang telah mempunyai kebijakan internal PBJ yang mengatur mengenai TKDN, tetap saja sebagian besar dari kebijakan tersebut masih tidak selaras atau harmonis dengan kebijakan nasional yakni Permenperin No.3 Tahun 2014, Permen BUMN No PER-08/MBU/12/2019 serta PP No.29 Tahun 2018.

Berdasarkan hasil evaluasi yang penulis laksanakan terhadap beberapa kebijakan PBJ internal BUMN, penulis temukan 2 masalah yang sering ditemukan yaitu:

Pengaturan Sanksi dalam Peraturan PBJ Internal perusahaan tidak selaras dengan Kebijakan P3DN dan TKDN yang diatur dalam Permenperin No.3 Tahun 2014

Sebagian besar Kebijakan PBJ BUMN terkait P3DN/TKDN memang telah mengatur sanksi apabila tidak terpenuhinya P3DN/TKDN, akan tetapi rata-rata sanksi yang diatur tidak lengkap atau tidak selaras dengan kebijakan nasional. Sanksi yang diatur dalam kebijakan PBJ perusahaan tidak lengkap atau tidak selaras dengan Pasal 33 Permenperin No.3 Tahun 2014, yang mengatur bahwa Penyedia barang/jasa dapat dikenakan sanksi apabila:
a) memuat dan/atau menyampaikan dokumen dan atau keterangan lain yang tidak benar terkait dengan capaian TKDN;
b) berdasarkan hasil pemeriksaan ditemukan adanya ketidaksesuaian dalam penggunaan barang/jasa produk dalam negeri;
c) Sanksi dapat berupa
i. sanksi administratif yang bisa berupa peringatan tertulis, penutupan sementara, pencantuman dalam daftar hitam, pembekuaan izin usaha dan pencabutan izin usaha.
ii. sanksi finansial yakni berupa pengurangan pembayaran sebesar selisih antara TKDN penawaran dengan capaian TKDN pelaksanaan paling tinggi 15%.
iii. Pemberian sanksi dilakukan oleh panitia pengadaan.

Sedangkan sebagian besar dalam kebijakan internal BUMN hanya diatur bahwa Sanksi yang dikenakan kepada Mitra pelaksana Kontrak berupa:
a. Sanksi finansial; dan/atau
b. Sanksi administratif.

Akan tetapi Sanksi finansial dalam kebijakan internal tersebut tidak ditentukan secara spesifik yakni paling tinggi 15%. Melainkan hanya tertulis bahwa sanksi akan diatur lebih lanjut sesuai ketentuan Perundang-Undangan tanpa ada batasan persentasi nilai sanksi. Mungkin ini salah satu pendekatan kehati-hatian yang diterapkan oleh BUMN agar tidak terlalu memberatkan mitra pelaksana kontrak. Mengingat sanksi tersebut sangatlah besar dan mengenai sertifikasi TKDN juga belum dilakukan terhadap barang/produk atau jasa tertentu mengingat sangat banyak variasinya, apalagi barang yang berteknologi tinggi.

Selanjutnya Jenis sanksi administratif dalam Kebijakan internal BUMN juga tidak lengkap sebagaimana yang diatur dalam Permenperin No.3 Tahun 2014. Dalam kebijakan internal perusahaan, diatur mengenai Jenis sanksi administratif adalah sebagai berikut

  1. Diusulkan kepada Kementerian Perindustrian RI untuk dilakukan pencabutan sertifikat;
  2. Diberikan peringatan tertulis; dan/atau
  3. Diusulkan untuk dimasukkan dalam haftar hitam (blacklist) selama dua tahun;
    Jenis sanksi administratif yang diatur dalam kebijakan internal tersebut masih kurang dengan apa yang diatur dalam Pasal 33 ayat (3), Permenperin No.3 Tahun 2014, yakni:
    a. peringatan tertulis
    b. penutupan sementara
    c. pencantuman dalam daftar hitam
    d. pembekuan izin usaha
    e. pencabutan izin usaha

Sehingga jenis sanksi administratif yakni berupa penutupan sementara dan pembekuan izin usaha belum dimasukan dalam kebijakan internal perusahaan. Agar selaras dengan kebijakan nasional, sebaiknya dilakukan harmonisasi dan sinkronisasi secara menyeluruh antara Kebijakan P3DN Perusahaan dengan Kebijakan P3DN dan TKDN pada Kementerian BUMN dan Kementerian Teknis. Selanjutnya, Kebijakan internal BUMN sehubungan dengan pengaturan TKDN tersebut direvisi dan diselaraskan dengan kebijakan Permenperin No.3 Tahun 2014.

Ketentuan Preferensi Harga dalam Kebijakan PBJ Tidak Selaras dengan Aturan Preferensi Harga yang ditentukan dalam Permenperin No.3 Tahun 2014, Permen BUMN No PER-08/MBU/12/2019 serta PP No.29 Tahun 2018

Permasalahan kebijakan BUMN kedua adalah mengenai ketentuan Preferensi harga yang tidak selaras dengan aturan preferensi harga dalam kebijakan nasional khususnya mengenai batasan nilai pengadaan dan preferensi harga pada Pengadaan Jasa Konstruksi Terintegrasi (EPC).

Jadi berdasarkan pengalaman evaluasi yang dilakukan oleh penulis, sebagaian kebijakan PBJ BUMN itu hanya mengatur bhawa Preferensi Harga atas Produk Dalam Negeri yang memiliki TKDN lebih besar atau sama dengan 25% (dua puluh lima persen), dengan nilai Pengadaan minimal tertentu. Padahal dalam Permenperin No.3 Tahun 2014, Permen BUMN No PER-08/MBU/12/2019 serta PP No.29 Tahun 2018, batasan nilai pengadaan yang wajib diterapkan preferensi harga ini tidak diatur/ditentukan. Hal tersebut bermakna, berapapun nilai pekerjaan/pengadaan, preferensi harga tetap harus diterapkan.

Selain itu, preferensi harga untuk untuk Pengadaan Jasa Konstruksi Terintegrasi (EPC) juga sering tidak diatur dalam kebijakan internal perusahaan. Padahal pengadaan Jasa Konstruksi Terintegrasi (EPC) merupakan pekerjaan yang umum dan juga diatur dalam Pasal 20 ayat (5) yang menentukan Perusahaan Jasa EPC dalam Negeri diberikan tambahan preferensi harga berdasarkan status perusahaan sebagai beriktu:
a. sebesar 7,5% apabila dikerjakan sepenuhnya oleh perusahaan Jasa EPC dalam negeri dan paling sedikit 50% dari harga penawaran dilaksanakan di wilayah indonesia.
b. sebesar 5%, apabila dikerjakan oleh konsorsium perusahaan jasa EPC dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Perusahaan Jasa EPC dalam negeri bertindak sebagai pimpinan konsorsium (lead firm)
2) paling sedikit 50% dari penawaran dilakukan oleh perusahaan Jasa EPC dalam negero
3) paling sedikit 50% dari harga penawaran dilaksanakan di wilayah Indonesia.
Agar selaras dengan kebijakan nasional, sebaiknya ketentuan preferensi harga dalam Kebijakan Internal Perusahaan dilakukan harmonisasi dan sinkronisasi secara menyeluruh dengan Kebijakan P3DN Perusahaan dengan Kebijakan P3DN dan TKDN pada Kementerian BUMN dan Kementerian Teknis.

About the Author

Obbie Afri Gultom, SH, MA, LLM, CHFI, is the Editor-in-Chief at "Gultom Law Consultants", now a part of Gading and Co, a leading firm in corporate management and consulting. A graduate of Erasmus University Rotterdam in 2019 through the StuNed scholarship program, he completed his Master of Law at the University of Auckland in 2022. With four years of experience in Corporate Business Law, including two years in the private sector and two years in a law firm, along with nine years in State Financial Law and Public Audit as an Auditor, Obbie possesses deep expertise in contract writing and review, legal research, merger and acquisition processes, corporate management, Good Corporate Governance (GCG), and public auditing. Additionally, he has three years of experience as a Development Policy Researcher at Erasmus University Rotterdam. For professional services, Obbie Afri Gultom can be contacted via WhatsApp at 08118887270.

Author Archive Page

Comments

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini