Dissenting Opinion, Keyakinan Hakim dan Kesalahpahaman Publik Mengenainya

Kali ini saya akan membahas Dissenting Opinion dan Keyakinan Hakim karena masih merupakan isu yang hangat untuk didiskusikan, tentunya tanpa melibatkan unsur politik di dalamnya, kita hanya membahas aspek hukum dan penjelasan umum saja.

Mengenai dissenting opinion, atau pendapat berbeda, adalah suatu pendapat yang dikeluarkan oleh satu atau lebih hakim yang tidak setuju dengan keputusan mayoritas dalam suatu putusan pengadilan. Dalam konteks Mahkamah Konstitusi (MK), pendapat berbeda ini tidak hanya merupakan ekspresi perbedaan pandangan, tetapi juga diatur secara hukum sebagai bagian integral dari proses pengambilan keputusan. Di Indonesia, hal ini ditegaskan dalam UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang mengamanatkan bahwa jika dalam suatu perkara terjadi ketidakmufakatan, maka pendapat minoritas harus dicantumkan dalam putusan. Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011 dan Perppu No. 1 Tahun 2013 yang disahkan menjadi UU No. 4 Tahun 2014) adalah peraturan utama yang mengatur tentang pembentukan, kedudukan, kekuasaan, tugas, dan wewenang, serta tata cara sidang dan pengambilan keputusan di MK. Peraturan-peraturan ini mendetailkan proses pembuktian, pengajuan bukti, serta mekanisme penyampaian pendapat berbeda atau dissenting opinion.

Regulasi tentang dissenting opinion diatur dalam UU MK, yang memandatkan bahwa setiap hakim konstitusi memiliki hak untuk menyatakan pendapat berbeda dari keputusan mayoritas. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin bahwa semua perspektif dan analisis hukum dipertimbangkan, serta meningkatkan legitimasi dan akuntabilitas putusan MK.

Terlepas dari itu, Dissenting opinion memegang peranan krusial karena memberikan ruang bagi ekspresi keberagaman pandangan hukum dan keadilan. Manfaat utamanya adalah mempromosikan transparansi dan akuntabilitas dalam sistem peradilan, sekaligus memperkaya yurisprudensi. Pendapat berbeda ini juga memungkinkan publik untuk melihat berbagai sudut pandang dalam pengambilan keputusan hukum, membantu memahami basis hukum dan pertimbangan yang mendukung putusan, serta menawarkan perspektif alternatif yang bisa dijadikan referensi dalam kasus-kasus masa depan atau bahkan untuk revisi hukum.

Ekspektasi Publik Yang Keliru Mengenai Keyakinan Hakim yang Ideal

Ketidakpahaman publik terhadap subjektivitas dalam keyakinan hakim seringkali muncul karena kebanyakan orang mengharapkan keadilan yang sepenuhnya objektif dan bebas dari bias. Hal ini menantang karena setiap hakim, sebagai manusia, memiliki predisposisi yang bisa mempengaruhi penilaian mereka. Sebagai contoh, dalam kasus perselisihan dua anak, seorang ayah mungkin cenderung lebih memihak kepada anak yang lebih lembut atau yang lebih sering dia setujui dalam argumen lainnya. Demikian pula, hakim dapat memiliki kecenderungan yang sama dalam memutuskan kasus berdasarkan pengalaman atau nilai pribadi mereka.

Kritik ini tidak bertujuan untuk merendahkan integritas peradilan, melainkan untuk memahami bahwa sistem peradilan beroperasi dalam kerangka kerja manusia yang kompleks dan tidak sempurna. Pengakuan terhadap subjektivitas ini penting agar sistem peradilan dapat terus direformasi dan ditingkatkan, sehingga meminimalisir bias dan meningkatkan keadilan yang sebenarnya.

Lebih lanjut, Konsep “keyakinan hakim” atau “conviction intime” dalam sistem peradilan merupakan sebuah prinsip di mana hakim membuat keputusan berdasarkan keyakinannya atas kebenaran fakta yang ada dalam suatu kasus. Prinsip ini sangat penting karena hakim harus menilai bukti dan kesaksian yang disajikan selama persidangan dan, berdasarkan pertimbangan tersebut, mencapai kesimpulan mengenai apa yang paling mungkin terjadi. Keyakinan ini tidak berdasarkan pada kesan subyektif semata, tetapi harus didasarkan pada analisis obyektif dari semua bukti yang ada.

Aspek-aspek Keyakinan Hakim

  1. Objektivitas: Walaupun disebut “keyakinan”, hakim harus tetap objektif. Keyakinan ini harus dibangun berdasarkan bukti yang ditampilkan selama proses pengadilan dan harus mematuhi prinsip-prinsip hukum yang berlaku.
  2. Independensi: Hakim harus bebas dari tekanan eksternal maupun prasangka pribadi. Keputusan harus dibuat berdasarkan fakta hukum dan bukti, bukan opini pribadi atau kepentingan pihak luar.
  3. Bukti yang Sah: Dalam membentuk keyakinannya, hakim bergantung pada bukti yang sah dan kredibel. Semua bukti yang dianggap dalam pengambilan keputusan harus memenuhi standar hukum yang berlaku mengenai keabsahan dan keandalan.
  4. Ketelitian: Hakim harus melakukan pemeriksaan yang teliti terhadap semua bukti. Ini termasuk mengevaluasi keandalan saksi, validitas dokumen, dan relevansi serta signifikansi bukti lain yang dihadirkan dalam kasus tersebut.
  5. Penalaran yang Logis: Keputusan hakim harus didasarkan pada penalaran yang logis dan koheren. Rantai logika yang digunakan untuk mencapai kesimpulan harus jelas dan dapat dipertahankan.

Implementasi Keyakinan Hakim dalam Berbagai Sistem Hukum

Di banyak sistem hukum, terutama dalam sistem civil law (seperti di Indonesia), keyakinan hakim dianggap sebagai fondasi dari keputusan pengadilan. Meskipun begitu, dalam praktiknya, hakim diharapkan untuk menyediakan alasan yang logis dan hukum yang mendukung kesimpulannya, bukan sekadar keyakinan pribadi tanpa dasar yang kuat.

Dalam sistem common law, meskipun prinsip keyakinan hakim juga ada, ada aturan yang lebih ketat mengenai bagaimana bukti harus disajikan dan dievaluasi. Hakim atau juri harus membuat keputusan berdasarkan “the balance of probabilities” dalam kasus sipil atau “beyond a reasonable doubt” dalam kasus pidana.

Aspek Hukum Keyakinan Hakim dan Mengapa Sangat Vital

Dalam sistem peradilan di Mahkamah Konstitusi (MK) Indonesia, proses pembuktian memainkan peran kritikal dalam menentukan hasil dari perkara konstitusional. Proses ini sangat bergantung pada alat bukti yang diajukan oleh para pihak serta keyakinan hakim yang mengadili perkara tersebut.

1. Alat Bukti dalam Pembuktian di MK

Penggunaan alat bukti di MK diatur oleh UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, serta peraturan dan pedoman beracara yang telah ditetapkan oleh MK. Alat bukti yang diakui meliputi:

  • Surat atau Dokumen Tulis: Termasuk keputusan resmi, berita acara, dan dokumentasi resmi lain yang berkaitan dengan perkara. Dokumen-dokumen ini sering menjadi sumber utama dalam menilai legalitas dan kepatuhan terhadap hukum.
  • Keterangan Para Pihak: Pernyataan langsung dari pemohon, termohon, dan pihak terkait lainnya. Keterangan ini memberikan konteks dan perspektif terhadap argumen hukum yang diajukan.
  • Keterangan Saksi: Saksi dapat memberikan kesaksian mengenai fakta-fakta yang mereka saksikan atau alami yang relevan dengan perkara.
  • Keterangan Ahli: Ahli dengan keahlian khusus diundang untuk memberikan pandangan mereka tentang aspek teknis yang relevan dengan perkara, seperti interpretasi undang-undang atau dampak sosial tertentu dari implementasi kebijakan.
  • Alat Bukti Lainnya: Termasuk bukti digital, rekaman video, dan data elektronik yang bisa memperkuat bukti dari sumber lain atau memberikan wawasan baru.

2. Keyakinan Hakim

Keyakinan hakim di MK tidak hanya berdasarkan alat bukti yang diajukan tetapi juga interpretasi dan penilaian mereka terhadap bukti tersebut. Proses pembentukan keyakinan ini meliputi:

  • Objektivitas dan Independensi: Hakim harus menilai semua bukti berdasarkan meritnya, tanpa bias atau pengaruh eksternal.
  • Analisis Mendalam: Menggali lebih dalam setiap alat bukti, memeriksa keasliannya, relevansinya, dan konsistensinya dengan fakta lain dalam perkara.
  • Integritas dan Akurasi: Memastikan bahwa semua bukti yang diterima dan digunakan dalam membuat keputusan adalah sah dan akurat sesuai dengan hukum yang berlaku.
  • Penerapan Hukum: Menginterpretasikan bukti dalam kerangka hukum yang ada, memastikan bahwa semua pertimbangan berada dalam batas-batas yang ditetapkan oleh konstitusi dan undang-undang.

3. Dampak Keyakinan Hakim terhadap Putusan

Keyakinan hakim, yang dibentuk oleh analisis bukti, sangat menentukan dalam mengarahkan hasil dari putusan. Ini karena:

  • Subjektivitas dalam Objektivitas: Meskipun hakim berusaha untuk objektif, setiap individu memiliki pengalaman dan perspektif yang membentuk cara mereka menginterpretasi informasi.
  • Dissenting Opinions: Dalam situasi di mana terdapat perbedaan pendapat di antara panel hakim, keyakinan individual mereka dapat mengarah pada dissenting opinions, yang menunjukkan proses berpikir yang beragam dan komprehensif dalam sistem peradilan.

4. Implikasi untuk Transparansi dan Kepercayaan Publik

Transparansi dalam proses pembuktian dan jelasnya alasan keyakinan hakim dalam putusan mereka membantu meningkatkan kepercayaan publik terhadap MK. Kejelasan mengapa dan bagaimana keputusan diambil menegaskan legitimasi MK dan memperkuat fondasi demokrasi.

Dalam praktiknya, pembuktian di MK adalah proses yang kompleks yang menggabungkan aspek teknis hukum dengan penilaian subjektif yang informasi. Keberhasilan sistem peradilan konstitusional tergantung pada keseimbangan antara penerapan objektif hukum dan interpretasi yang cermat oleh hakim, yang harus terus menerus dievaluasi dan disempurnakan untuk memastikan keadilan yang adil dan transparan.

About the Author

Obbie Afri Gultom, SH, MA, LLM, CHFI, is the Editor-in-Chief at "Gultom Law Consultants", now a part of Gading and Co, a leading firm in corporate management and consulting. A graduate of Erasmus University Rotterdam in 2019 through the StuNed scholarship program, he completed his Master of Law at the University of Auckland in 2022. With four years of experience in Corporate Business Law, including two years in the private sector and two years in a law firm, along with nine years in State Financial Law and Public Audit as an Auditor, Obbie possesses deep expertise in contract writing and review, legal research, merger and acquisition processes, corporate management, Good Corporate Governance (GCG), and public auditing. Additionally, he has three years of experience as a Development Policy Researcher at Erasmus University Rotterdam. For professional services, Obbie Afri Gultom can be contacted via WhatsApp at 08118887270.

Author Archive Page

Comments

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini