Tawuran aktualisasi Identitas diri. Keliru kah?

Ramadhan disambut suka cita. Pembatasan social semakin melonggar. Semakin bebas mengisi kegiatan sepanjang alam sampai subuh. Seperti itu yang diisi oleh para kaum muda aktifitas berkreatif mengaktifkan kembali tradisi permainan sarung. Ramadhan adalah ruang temu relevan d mana semua anak muda berkesempatan melakukan permainan sarung saat sahur atau selesai salat Subuh.

ADN-Pätzold / 14.4.90 / Schwerin: Leipziger Fans machten sich vor der FDGB-Pokal-Begegnung zwischen dem 1. FC Lok Leipzig und Dynamo Schwerin auf ihre Weise “warm”. Die Welle der Gewalt auf den Fußballplätze und nach den Spielen ufert offenbar weiter aus.

Baru beberapa hari puasa, ada laporan bahwa permainan sarung menjadi perang sarung. Perang sarung menjadi ajang melukai, mengeroyok hingga timbul korban nyawa seperti yang diungkapkan oleh polisi ketika mengungkap kejadian di beberapa kota yang berujung maut. Konon itu sudah terjadi sejak beberapa tahun silam. Tentu saja informasi ini perlu dicek kebenarannya.

Perang sarung tak ubahnya sama seperti tawuran antarkampung, antarpelajar, antarremaja. Dengan kecanggihan teknologi komunikasi para remaja atau pelajar menyusun rencana akan menyerang kelompok lawannya. Dari awal sudah ada niatan untuk melakukan tawuran.

Tawuran pelajar, antarsekolah, antarkelas. Ujungya ada korban dan korban meninggal. Lalu apa penyebab tawuran itu. Catatan dari para pemerhati social adalah banyak penyebabnya, setidaknya ada tempat dan ruang yang memungkinkan terjadinya tawuran, tidak ada pengawasan yang ketat dari pihak yang berwewenang. Misalnya kalau di sekolah, para pengajar atau guru, di lingkungan tetangga adalah pengurus RT dan RW.

Tulisan ini mencoba untuk mengerti tentang tawuran itu berdasarkan pengalaman , secara acak obrol sana sini dari pelaku pelaku atau dikenal dengan istilah emik, melihat persoalan dari kacamata pelakunya. Apa yang dapat saya sarikan dari obrolan tentang remaja itu, walau tidak semua, tetapi apa yang saya temukan dan merupakan opini saya adalah dorongan jiwa pemberontak menjadi factor utama, yakni yang biasa disebut dengan aktualisasi diri. Kenapa memberontak? Sebab ia merasa terkekang dengan peraturan. Di rumah dia harus menurut pada orangtuanya, harus berperilaku sopan, berlaku sopan di lingkungan keluarga besar, tetangga bahkan komunitas kampungnya. Pendek cerita boleh jadi di lingkungan rumah, keluarga besar, tetangga dia akan menampilkan perannnya sebagai orang yang sangat baik dan sopan santun, Namun pikiran bawah sadarnya memberontak dengan segala sopan santun itu. Sopan santun yang menekan kebebasan pikiran dan tindakannya. Karena itu pikiran bawah sadar itu membuat perilaku remaja itu menentang memberontak berusaha keluar dari belenggu aturan atau peraturan.

Sama halnya dengan para anggota geng sepeda motor ngebut ngebutan. Membuat aturan taruhan di kalangan mereka dengan cara lampu sepeda motor mati (pada malam hari), standar untuk menegakkan sepeda motor kala parkir, justru dipasang saat berjalan. Mengendarai atau nyopir sedemikian rupa sehingga posisi sepeda motor doyong miring ke samping, sehingga standar beradu dengan aspal mengeluarkan percik api. Kataknya makin lama makin banyak percikan api, makin tinggi nilainya, makin gagah.

Gagah pemberani bagi kalangan pesepeda motor, tetapi bagi kalangan pendidik itu disebut sebut sebagai krisis identitas. Sederhananya remaja atau pelajar tidak mampu dalam proses pencarian jati diri dengan tata aturam yang normal. Mereka mencari identitas dengan menunjukkan keperkasaan melalui perkelahian, atau taruhan siapa yang paling berani mengendarai sepeda motor. Yang ikut dalam tawuran atau kebut kebuta mempunyai nilai lebih daripada yang tidak ikut. Yang keluar kelas ketika jam pelajaran, istilahnya “ngabur” adalah gagah, mereka yang patuh di dalam kelas dianggap cengeng. Bagi orang luar itu hal negative, bagi orang dalam itu positif. Itulah aktualisasi diri yang keliru yang dapat merugikan mereka, dan juga merugikan pihak luar.

Berulang kali para psikolog mengatakan pentingnya pendidikan pertama yakni keluarga yang punya peran besar untuk membentuk karakter anak, memberikan pedoman mana yang baik dan buruk melalui cerita dongeng, perilaku di rumah sehari hari. Termasuk juga menjelaskan apa itu nilai buruk dari tawuran.
Kurangnya perhatian, komunikasi, dan kasih sayang dari rumah membuat anak anak remaja mencari pembenaran di luar rumahnya. Mengenalkan dalam keluarga belajar berperan hubungan anak ke orangtua, anak yang satu ke anak yang lain, generasi yang muda ke yang tua. Setiap interaksi peran itu ada harapan peran. Seringkali harapan peran tak terpenuhi menyebabkan kekecewaan. Bisa jadi kekecewaan terpuaskan justru dari luar keluarga, atau dari tawuran, ngebut ngebutan, bahkan bukan tak mungkin masuk dalam lingkungan pemakai narkoba.

Kembali pada masa Ramadhan saat ini, dan juga waktu waktu lainnya penting mengajak remaja untuk mulai melakukan aktifitas atau aktualisasi diri yang positif. Perlu ada sarana yang bisa dimanfaatkan untuk aktualisasi diri. Sosialisasi peran peran pihak yang punya tanggung jawab, dibarengi dengan menanamkan nilai nilai aktualisasi yang positif harus intensif dilakukan.

Comments

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini