Penerapan Amicus Curiae di Indonesia dan Aturannya

Akhir-akhir ini kita disuguhkan oleh pemberitaan dimana salah satu mantan Presiden Indonesia akan menjadi Amicus Curiae dalam persidangan sengketa pemilihan umum presiden. Namun apa sebenarnya Amicus Curiae itu?

Di Indonesia, istilah “Amicus Curiae” atau “Sahabat Pengadilan” merujuk pada praktek di mana individu atau kelompok yang tidak secara langsung terlibat dalam suatu perkara hukum diperbolehkan untuk memberikan pandangan atau informasi yang bisa membantu pengadilan dalam memutuskan kasus yang mana berdampak luas terhadap sosial dan perekonomian. Meskipun berasal dari sistem hukum Common Law, konsep Amicus Curiae telah diterapkan di Indonesia, yang menganut sistem hukum Civil Law. Di Amerika Serikat sendiri, konsep ini hanya bisa dilakukan oleh seorang pengacara, berbeda di Indonesia dimana LSM bahkan sosok figur masyarakat bisa memberikan opini sebagai sahabat pengadilan.

Praktik “Amicus Curiae” di Amerika Serikat, seperti yang dijelaskan oleh Cornell Law School, adalah sebuah proses yang memungkinkan individu, entitas, atau kelompok yang tidak terlibat secara langsung dalam suatu kasus hukum untuk menyampaikan pendapat atau informasi yang dapat membantu pengadilan dalam membuat keputusan yang lebih tepat dan adil. Ini sering dilakukan melalui pengajuan “brief amicus curiae,” yang merupakan dokumen hukum yang dihadirkan kepada pengadilan oleh pihak ketiga yang tidak terlibat dalam kasus tersebut.

Dasar Hukum Amicus Curiae di Indonesia

Penerapan Amicus Curiae di Indonesia tidak diatur secara spesifik dalam satu aturan perundang-undangan. Namun, konsep ini dapat diinterpretasikan melalui beberapa peraturan yang ada. Dasar hukum utama yang mendukung penerapan Amicus Curiae di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 5 ayat (1) dari undang-undang ini menyatakan bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal ini membuka ruang bagi hakim untuk mempertimbangkan pendapat yang berasal dari pihak ketiga yang memiliki keahlian atau informasi relevan terhadap kasus yang sedang dihadapi.

Penerapan dan Implikasi di Indonesia

Kasus Bharada E

Kasus Bharada E menjadi sorotan publik di Indonesia karena melibatkan anggota kepolisian dalam peristiwa penembakan yang mengakibatkan kematian Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat, atau Brigadir J. Bharada E, yang nama aslinya adalah Richard Eliezer, pada awalnya dituduh sebagai pelaku utama dalam penembakan tersebut.

Dalam perkembangan kasus, terjadi pengajuan Amicus Curiae oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM), termasuk Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Public Interest Lawyer Network (PIL-NET), dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). LSM-LSM ini mengusulkan Bharada E sebagai Justice Collaborator atau kolaborator keadilan, mengingat perannya yang penting dalam mengungkap kebenaran di balik peristiwa tersebut.

Amicus Curiae yang diajukan menekankan pada pentingnya perlindungan dan pemberian status khusus kepada Bharada E sebagai Justice Collaborator berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta peraturan-peraturan terkait lainnya. Dalam argumentasi hukumnya, Amicus Curiae menyatakan bahwa Bharada E memenuhi syarat sebagai kolaborator keadilan, yang seharusnya memberikannya perlindungan hukum dan mempertimbangkan kontribusinya dalam membantu penegakan hukum.

Pengadilan mempertimbangkan argumentasi dari Amicus Curiae dalam proses persidangan Bharada E. Keputusan hakim tidak hanya berdasarkan bukti dan kesaksian yang disajikan di persidangan, tetapi juga dipengaruhi oleh informasi dan analisis hukum yang diajukan melalui Amicus Curiae. Hal ini menunjukkan bagaimana Amicus Curiae dapat mempengaruhi arah dan hasil dari suatu kasus hukum, khususnya dalam kasus yang kompleks dan mendapat banyak perhatian publik.

Kasus Prita Mulyasari

Kasus Prita Mulyasari mendapatkan perhatian besar di Indonesia karena menyangkut isu hak asasi manusia dan kebebasan berpendapat. Prita dituduh melakukan pencemaran nama baik melalui penggunaan media elektronik setelah ia menuliskan keluhan tentang pelayanan medis yang ia terima di sebuah rumah sakit swasta di Tangerang. Kejadian ini bermula pada tahun 2008, ketika Prita mengirimkan email ke teman-temannya yang berisi keluhan tentang pelayanan yang tidak memuaskan tersebut. Email tersebut kemudian menyebar lebih luas dan menjadi viral, yang berujung pada tuntutan hukum oleh pihak rumah sakit.

Dalam perkembangan kasus, peran Amicus Curiae muncul tidak secara formal melalui dokumen hukum, tetapi lebih melalui dukungan luas dari masyarakat dan advokasi publik. Kelompok masyarakat sipil, aktivis hak asasi manusia, dan pengguna internet secara luas menunjukkan dukungan mereka untuk Prita melalui kampanye online dan penggalangan dana untuk membantu biaya hukumnya. Dukungan ini, meskipun tidak resmi sebagai Amicus Curiae, secara efektif berperan sebagai “sahabat pengadilan” yang memberikan tekanan sosial dan moral pada sistem peradilan untuk mempertimbangkan lebih luas konteks sosial dan dampak dari keputusan hukum terhadap kebebasan berpendapat.

Pengadilan pada akhirnya membebaskan Prita dari semua tuntutan pidana, namun kasus ini tetap memiliki implikasi jangka panjang terhadap peraturan tentang pencemaran nama baik dan penggunaan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) di Indonesia. Kasus Prita menjadi salah satu pemicu utama untuk kritik dan evaluasi ulang tentang UU ITE, khususnya terkait dengan bagaimana hukum ini dapat digunakan untuk membungkam kebebasan berpendapat di era digital.

Manfaat Amicus Curiae

enerapan Amicus Curiae membawa beberapa manfaat penting. Dengan adanya informasi dan pandangan dari berbagai pihak yang berkepentingan, hakim dapat membuat keputusan yang lebih informatif dan adil. Selain itu, Keterlibatan Amicus Curiae meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam proses peradilan dengan membuka ruang bagi partisipasi publik dalam peradilan. Selanjutnya, Keterlibatan masyarakat atau kelompok ahli dalam proses peradilan melalui Amicus Curiae bisa meningkatkan kepercayaan publik terhadap integritas dan keadilan sistem peradilan.

Kekurangan Amicus Curiae

Meskipun bermanfaat, penerapan Amicus Curiae di Indonesia juga menghadapi beberapa tantangan. Belum adanya regulasi yang spesifik tentang penerapan Amicus Curiae membuat praktik ini kurang memiliki panduan yang jelas. Tidak semua hakim mungkin terbuka atau familiar dengan konsep ini, sehingga penerapannya bisa bervariasi tergantung pada individu hakim. Selanjutnya yang palih parah adalah Pihak Amicus Curiae bisa saja memiliki kepentingan tertentu yang bisa mempengaruhi objektivitas informasi yang disampaikan.

About the Author

Obbie Afri Gultom, SH, MA, LLM, CHFI, is the Editor-in-Chief at "Gultom Law Consultants", now a part of Gading and Co, a leading firm in corporate management and consulting. A graduate of Erasmus University Rotterdam in 2019 through the StuNed scholarship program, he completed his Master of Law at the University of Auckland in 2022. With four years of experience in Corporate Business Law, including two years in the private sector and two years in a law firm, along with nine years in State Financial Law and Public Audit as an Auditor, Obbie possesses deep expertise in contract writing and review, legal research, merger and acquisition processes, corporate management, Good Corporate Governance (GCG), and public auditing. Additionally, he has three years of experience as a Development Policy Researcher at Erasmus University Rotterdam. For professional services, Obbie Afri Gultom can be contacted via WhatsApp at 08118887270.

Author Archive Page

Comments

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini