Dapatkah Akta Perdamaian Dibuat Setelah Putusan Pengadilan?

Konsep Perjanjian Perdamaian atau penyelesaian sengketa di luar pengadilan merupakan pembahasan yang menarik untuk didiskusikan. Karena perjanjian perdamaian atau dalam belanda nya sering disebut dengan Acta Van Dading ini merupakan solusi penyelesaian para pihak ketika bersengketa di pengadilan. Namun pertanyaannya Dapatkah Dibuat Perjanjian Perdamaian Paska Putusan Pengadilan? atau bisakah disepakati perjanjian perdamaian tanpa mengindahkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (In kracth van gewijsde). Nah semua akan di bahas dalam postingan saya kali ini.

Dalam pekerjaan saya baik sebagai Praktisi Hukum maupun Auditor Hukum di salah satu instansi pemerintah, sering sekali menangani pihak-pihak yang berperkara. Namun setelah berjalan di pengadilan, para pihak akhirnya memutuskan untuk berdamai dengan menuangkannya dalam satu akta perdamaian dan menyesuaikan amar putusan pengadilan nantinya sesuai dengan hal-hal yang disepakati dalam akta perdamaian tersebut. Sejatinya, akta perdamaian dapat dilakukan apabila sengketa atau gugatan masih dalam tahap pemeriksaan Judex Factie.

Apa itu Judex Factie?

Jadi Judex factie itu adalah terminologi dalam hukum yang bermakna bahwa proses dimana hakim-hakim memeriksa fakta terkait sengketa. Selain itu ada juga istilah judex jurist yang artinya proses dimana hakim-hakim yang memeriksa) hukum. Nah, jadi proses pemeriksaan di Pengadilan Negeri adalah pengadilan tingkat pertama yang memeriksa dan memutus perkara merupakan referensi untuk judex factie. Selain itu, Judex Factie dapat juga mengacu pada Pengadilan Tinggi yakni proses pengadilan banding terhadap perkara yang diputus Pengadilan Negeri untuk memeriksa ulang bukti-bukti dan fakta hukum yang terjadi. Sehingga Judex Factie disini dapat diartikan sebagai proses pemeriksaan fakta-fakta atau bukti-bukti baik Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi. Sedangkan Judex Jurist lebih mengacu pada proses Kasasi di Mahkamah Agung yang fokusnya pada memeriksa penerapan hukum terhadap sengketa.

Apa dasar Hukum klaim bahwa Putusan Perdamaian Hanya Bisa Dilakukan Pada Proses Pemeriksaan tingkat Judex Factie?

Jadi sebenarnya ada dua peraturan yang menjelaskan mengenai klaim bahwa Putusan Perdamaian Hanya Bisa Dilakukan Pada Proses Pemeriksaan tingkat Judex Factie yakni yang pertama adalah Pasal 130 Herzien Inlandsch Reglement (HIR) yang menjelaskan putusan perdamaian acta van dading adalah sebagai berikut :

Jika pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan memperdamaikan mereka. Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat sebuah surat (akte) tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum akan menepati perjanjian yang diperbuat itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa.

Pasal 130 HIR

Selain Pasal 130 HIR tersebut, mengenai Akta perdamaian ini juga diatur dalam Pasal 1851 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), dimana dalam pasal 185 KUHPerdata dijelaskan bahwa suatu putusan perdamaian dapat dilakukan:

Perdamaian adalah suatu persetujuan yang berisi bahwa dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, kedua belah pihak mengakhiri suatu perkara yang sedang diperiksa pengadilan ataupun mencegah timbulnya suatu perkara bila dibuat secara tertulis.

Pasal 1851 KUHPerdata

Nah, jika kita melihat dua ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa acta van dading dapat diproses/disepakati dalam suatu perjanjian tertulis ketika para pihak yang bersengketa masih berproses dalam pemeriksaan fakta-fakta dan bukti-bukti pada tahap tingkat pertama dan kedua dan terhadap perkara tersebut belum ada putusan pengadilan.

Selain itu, jika ditilik dari beberapa referensi buku, seperti oleh Zulkarnaen dalam bukunya yang berjudul Penyitaan dan Eksekusi (pada hal. 263) bahkan memberikan batasan terkait dengan kapan putusan perdamaian tersebut dapat dibuat dan dikeluarkan oleh para pihak sehingga dapat dijadikan putusan perdamaian. Menurut Zulkarnaen,

usaha untuk mendamaikan para pihak yang berperkara dilakukan selama proses perkara di pengadilan selama perkara masih dalam taraf pemeriksaan judex facti. Pengadilan tingkat kasasi tidak berwenang mengukuhkan persetujuan perdamaian menjadi putusan kasasi karena pengadilan tingkat kasasi bukan peradilan judex facti, tetapi hanya sebatas memeriksa tentang adanya kesalahan penerapan hukum dan kesalahan tata cara mengadili, atau adanya suatu tindakan yang melampaui batas kewenangan pada tingkat pertama dan banding. Sehingga putusan perdamaian hanya dapat dilakukan pada tingkat pemeriksaan judex facti yaitu pengadilan negeri dan pengadilan tinggi.

Nah, karena sifatnya yang dianggap sama dengan putusan akhir dan memiliki kekuatan hukum eksekutorial (dapat dieksekusi seketika), maka jelaslah sangat tidak mungkin suatu akta perdamaian bisa dijadikan putusan pengadilan setelah perkara diputus oleh pengadilan, terlebih lagi saat sedang dilakukan eksekusi.

Oleh karena itu, kesimpulannya putusan perdamaian (acta van dading) hanya dapat dibuat dan diputuskan pada saat perkara sedang berjalan/diperiksa di Pengadilan Negeri dan Tinggi dan terhadapnya belum diperoleh putusan baik sudah mempunyai berkekuatan tetap maupun belum

Bagaimana Solusi Jika Para Pihak yang bersengketa Berkeinginan untuk Berdamai dan Menuangkannya dalam Suatu Akta Perdamaian, Padahal Sudah Ada Putusan Pengadilan?

Apabila setelah atau paska putusan pengadilan, para pihak telah sepakat menuangkan persetujuan perdamaian dalam proses eksekusi di luar dari isi amar putusan. Maka kesepakatan tersebut tidak dapat lagi dapat dituangkan dalam bentuk putusan perdamaian (acta van dading). Namun bukan berarti perdamaian tersebut tidak bisa diterapkan, hanya saja Perdamaian tertulis tersebut bukan dalam bentuk acta van dading melainkan cukup dicatatkan dalam berita acara eksekusi.

Namun bagaimana, isi kesepakatan perdamaian sangat berbeda dengan amar putusan?

Maka untuk menghindari eksekusi oleh juru sita pengadilan, maka para pihak juga harus pula sepakat mengajukan permohonan penolakan eksekusi. Konsekuensinya apabila terjadi penolakan eksekusi oleh kedua belah pihak tersebut maka akan dilakukan penundaan dan keadaan status quo. Dalam kondisi status quo ini, eksekusi baru dapat dijalankan apabila pihak pemohon eksekusi mencabut pernyataan penolakan eksekusi tersebut.

Hal ini bermakna bahwa siatu Penolakan pemohon terhadap eksekusi akan mengakibatkan gugur haknya terhadap eksekusi sampai yang bersangkutan mencabut penyataan penolakan tersebut.

Jika Anda memerlukan Konsultasi mengenai Akta Perdamaian atau Jasa Penyusunan Akta Perdamaian, atau ingin mengundang saya sebagai Narasumber dalam seminar terkait Akta perdamaian maka bisa menghubungi saya dengan mengklik link ini.

About the Author

Obbie Afri Gultom, SH, MA, LLM, CHFI, is the Editor-in-Chief at "Gultom Law Consultants", now a part of Gading and Co, a leading firm in corporate management and consulting. A graduate of Erasmus University Rotterdam in 2019 through the StuNed scholarship program, he completed his Master of Law at the University of Auckland in 2022. With four years of experience in Corporate Business Law, including two years in the private sector and two years in a law firm, along with nine years in State Financial Law and Public Audit as an Auditor, Obbie possesses deep expertise in contract writing and review, legal research, merger and acquisition processes, corporate management, Good Corporate Governance (GCG), and public auditing. Additionally, he has three years of experience as a Development Policy Researcher at Erasmus University Rotterdam. For professional services, Obbie Afri Gultom can be contacted via WhatsApp at 08118887270.

Author Archive Page

Comments

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini