Bagaimana Membuktikan Perjanjian Tidak Tertulis?

Permasalahan mengenai ini sangat sering sekali ditanyakan saya baik sebagai corporate consultant maupun sebagai auditor. Alasannya sederhana, yakni pembuktian di pengadilan untuk mendapatkan atau menuntut hak-hak yang dirugikan. Tapi Bagaimana sebenarnya Membuktikan Perjanjian Tidak Tertulis?

Membuktikan keabsahan dan isi dari perjanjian yang tidak tertulis di pengadilan dapat menjadi tantangan tersendiri. Meskipun demikian, hukum di Indonesia, sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), memungkinkan keabsahan perjanjian yang tidak tertulis selama memenuhi empat syarat sah perjanjian yang disebutkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu kesepakatan antar para pihak, kecakapan hukum para pihak, adanya pokok persoalan yang diperjanjikan, dan kausa yang diperbolehkan.

Keabsahan Perjanjian Tidak Tertulis

Perjanjian tidak tertulis diakui sah menurut hukum, meskipun demikian, dalam prakteknya, membuktikan eksistensi dan isi dari perjanjian tersebut di pengadilan membutuhkan pendekatan yang berbeda dibandingkan dengan perjanjian tertulis. Beberapa perjanjian memang diwajibkan oleh undang-undang untuk dibuat secara tertulis, seperti perjanjian hibah atas tanah yang harus dalam bentuk akta notaris. Namun, untuk perjanjian yang tidak diwajibkan bentuk tertulisnya, bukti tidak tertulis dapat diterima di pengadilan.

Cara Membuktikan Perjanjian Tidak Tertulis

Pengadilan memperbolehkan beberapa jenis alat bukti dalam proses pembuktian, termasuk dalam kasus perjanjian tidak tertulis. Berdasarkan Pasal 1866 KUH Perdata dan Pasal 164 Herzien Inlandsch Reglement (HIR), alat bukti tersebut meliputi:

  1. Bukti Tulisan: Meskipun perjanjian tidak tertulis, dokumen-dokumen pendukung lainnya yang berkaitan dengan perjanjian dapat dijadikan sebagai bukti.
  2. Keterangan Saksi: Saksi yang hadir saat kesepakatan dapat memberikan keterangan yang mendukung eksistensi dan isi dari perjanjian.
  3. Persangkaan: Bukti tidak langsung yang menunjukkan adanya perjanjian, seperti transfer uang atau tindakan-tindakan yang sesuai dengan adanya perjanjian.
  4. Pengakuan: Pengakuan salah satu atau kedua belah pihak tentang adanya perjanjian.
  5. Sumpah: Dapat digunakan sebagai alat bukti dalam kondisi tertentu.

Penggunaan bukti elektronik juga semakin diakui dalam praktik hukum, seperti disahkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Informasi elektronik dan dokumen elektronik dinyatakan sebagai alat bukti hukum yang sah, memperluas cakupan alat bukti yang dapat digunakan untuk membuktikan perjanjian tidak tertulis. Namun, penggunaan bukti penyadapan diatur secara ketat, terutama berkaitan dengan prosedur penyadapannya. Pasal 5 UU ITE menegaskan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sah sebagai alat bukti hukum. Namun, untuk bukti penyadapan, seperti rekaman percakapan, perlu memperhatikan ketentuan dalam Pasal 31 UU ITE yang mengatur tentang prosedur sah penyadapan dalam konteks penegakan hukum. Penyadapan boleh dilakukan oleh penyidik untuk keperluan penyidikan suatu tindak pidana dengan syarat harus berdasarkan izin tertulis dari pengadilan.

Jenis Perjanjian yang Tidak Bisa Dibuat Secara Lisan/Tidak Tertulis

Dalam konteks hukum Indonesia, meskipun banyak perjanjian dapat dibuat tanpa bentuk tertulis dan tetap dianggap sah menurut hukum, ada pengecualian penting di mana beberapa jenis perjanjian diwajibkan oleh undang-undang untuk dibuat dalam bentuk tertulis dan biasanya memerlukan legalisasi atau pengesahan oleh notaris atau pejabat hukum lainnya. Pengecualian ini memastikan adanya dokumentasi resmi yang jelas dan dapat diverifikasi untuk transaksi atau kesepakatan penting, yang seringkali melibatkan hak-hak signifikan atau nilai ekonomi yang besar. Berikut adalah beberapa contoh perjanjian yang dikecualikan dan harus dibuat dalam bentuk tertulis:

1. Perjanjian Hibah Kecuali Hibah Hak Atas Tanah

Perjanjian hibah harus dibuat dalam bentuk akta notaris, kecuali untuk hibah hak atas tanah. Ini untuk memastikan bahwa pemberian hadiah atau aset dilakukan dengan jelas dan memenuhi syarat hukum yang berlaku.

2. Perjanjian Pemberian Kuasa untuk Memasang Hipotek Atas Kapal

Mengingat nilai ekonomi yang besar dan kompleksitas legalitas kepemilikan dan pengamanan kapal, perjanjian semacam ini harus dibuat dalam bentuk akta notaris. Ini untuk memastikan semua aspek legal terkait hipotek atas kapal terdokumentasi dengan tepat.

3. Perjanjian Subrogasi

Perjanjian subrogasi, di mana seorang kreditor menggantikan posisi hukum kreditor lain, harus dibuat dalam bentuk akta notaris. Ini penting untuk memastikan bahwa hak-hak yang ditransfer dalam proses subrogasi dicatat dengan jelas dan dapat diperiksa.

4. Perjanjian Pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

Untuk membebankan hak tanggungan, seperti pada kasus hak atas tanah, perjanjian harus dibuat dalam bentuk akta oleh pejabat pembuat akta tanah. Ini untuk memastikan keabsahan dan kekuatan hukum dari beban tersebut.

5. Perjanjian Jaminan Fidusia

Perjanjian yang menyangkut jaminan fidusia, yang digunakan untuk mengamankan pelunasan utang dengan cara memberikan jaminan atas barang bergerak tanpa harus menyerahkan barang tersebut, harus dibuat dalam bentuk akta notaris. Ini memastikan adanya catatan resmi tentang jaminan dan memungkinkan pendaftaran fidusia tersebut.

Pengecualian untuk pembuatan perjanjian dalam bentuk tertulis dan pengesahan oleh notaris atau pejabat hukum lainnya ini ditujukan untuk memberikan kejelasan hukum, melindungi kedua belah pihak dalam perjanjian, dan memudahkan penegakan hukum dalam kasus terjadi sengketa. Oleh karena itu, penting bagi individu dan entitas bisnis untuk memahami ketentuan ini dan memastikan bahwa mereka mematuhi persyaratan hukum yang berlaku saat membuat perjanjian penting.

Tantangan membuktikan perjanjian tidak tertulis

Membuktikan perjanjian tidak tertulis di pengadilan membawa sejumlah tantangan yang signifikan. Berikut ini adalah beberapa tantangan utama:

1. Kekurangan Bukti Fisik

Tanpa adanya dokumen tertulis, tidak ada bukti fisik langsung yang menunjukkan kesepakatan antara para pihak. Ini membuat lebih sulit untuk membuktikan eksistensi perjanjian, apalagi detailnya.

2. Ketergantungan pada Kesaksian

Pembuktian sering bergantung pada kesaksian saksi, yang mungkin terpengaruh oleh memori yang tidak akurat atau bias. Kesaksian dapat dipertanyakan oleh pihak lawan, dan kadang-kadang, saksi mungkin memiliki kepentingan dalam hasil kasus tersebut.

3. Pengakuan Para Pihak

Mendapatkan pengakuan dari pihak yang terlibat dalam perjanjian tidak tertulis bisa menjadi sulit, terutama jika ada ketidaksepakatan mengenai syarat-syarat perjanjian atau jika salah satu pihak memiliki insentif untuk menyangkal perjanjian tersebut.

4. Menetapkan Detail Perjanjian

Menetapkan detail spesifik dari perjanjian, seperti syarat, kondisi, dan kewajiban para pihak, menjadi lebih rumit tanpa dokumen tertulis. Hal ini dapat mempengaruhi kemampuan pengadilan untuk membuat keputusan yang adil dan berdasarkan pada kesepakatan sebenarnya.

5. Kredibilitas Bukti

Bukti tidak tertulis, seperti rekaman audio atau video, dapat ditantang berdasarkan aspek legalitas pengambilannya, autentisitas, dan relevansinya dengan kasus tersebut. Membuktikan bahwa bukti tersebut sah dan dapat diandalkan membutuhkan langkah tambahan yang mungkin kompleks.

6. Ketidakpastian Hukum

Tanpa dokumen tertulis, mungkin ada ketidakpastian mengenai aspek-aspek hukum tertentu dari perjanjian, termasuk interpretasi hukum yang berlaku dan bagaimana hukum tersebut diterapkan pada fakta-fakta kasus.

7. Pertimbangan Privasi dan Etika

Dalam kasus menggunakan bukti elektronik seperti email, pesan teks, atau rekaman, mungkin ada pertimbangan privasi dan etika yang signifikan, termasuk bagaimana bukti tersebut diperoleh dan apakah penggunaannya melanggar hak privasi seseorang.

8. Perubahan atau Ketidaksepakatan tentang Syarat

Tanpa adanya perjanjian tertulis, mungkin sulit untuk membuktikan bahwa kedua belah pihak memiliki pemahaman yang sama tentang syarat-syarat perjanjian pada saat perjanjian dibuat. Ini bisa menyebabkan ketidaksepakatan mengenai apa yang sebenarnya disepakati.

Mengatasi tantangan-tantangan ini membutuhkan persiapan yang cermat dan strategi pembuktian yang efektif, seringkali dengan bantuan profesional hukum yang berpengalaman. Hal ini termasuk mengumpulkan semua bukti yang tersedia, mempersiapkan saksi dengan baik, dan mungkin menggunakan ahli untuk mendukung keabsahan dan relevansi bukti yang disajikan.

Butuh Bantuan Hukum Untuk Membuktikan Perjanjian Tak Tertulis? Gultom Law Consultants & Gading and Co. Siap Membantu Anda!

Apakah Anda menghadapi kesulitan dalam membuktikan perjanjian tak tertulis di pengadilan? Tidak perlu khawatir lagi! Gultom Law Consultants bekerjasama dengan Gading and Co. menawarkan solusi hukum profesional untuk membantu Anda mengatasi masalah hukum terkait perjanjian tak tertulis dengan efektif.

Kami mengerti bahwa membuktikan perjanjian tak tertulis bisa menjadi proses yang kompleks dan menantang. Oleh karena itu, tim ahli kami siap memberikan bantuan hukum yang komprehensif, mulai dari konsultasi awal hingga representasi di pengadilan. Dengan pengalaman luas dalam hukum kontrak dan pembuktian di pengadilan, kami bertekad untuk membela hak-hak Anda dengan sebaik-baiknya.

Layanan Kami Meliputi:

  • Konsultasi Hukum mengenai Perjanjian Tak Tertulis
  • Pengumpulan dan Penyajian Bukti
  • Representasi Legal di Pengadilan
  • Nasihat Hukum Terkait Perlindungan Hak dan Kewajiban Anda

Jangan Biarkan Hak Anda Terabaikan! Segera hubungi kami untuk mendapatkan bantuan hukum yang Anda butuhkan. Anda dapat menghubungi kami melalui:

Kami di Gultom Law Consultants dan Gading and Co. berkomitmen untuk memberikan Anda layanan hukum yang terbaik. Percayakan masalah hukum Anda kepada kami, dan kami akan berjuang untuk kepentingan terbaik Anda.

About the Author

Obbie Afri Gultom, SH, MA, LLM, CHFI, is the Editor-in-Chief at "Gultom Law Consultants", now a part of Gading and Co, a leading firm in corporate management and consulting. A graduate of Erasmus University Rotterdam in 2019 through the StuNed scholarship program, he completed his Master of Law at the University of Auckland in 2022. With four years of experience in Corporate Business Law, including two years in the private sector and two years in a law firm, along with nine years in State Financial Law and Public Audit as an Auditor, Obbie possesses deep expertise in contract writing and review, legal research, merger and acquisition processes, corporate management, Good Corporate Governance (GCG), and public auditing. Additionally, he has three years of experience as a Development Policy Researcher at Erasmus University Rotterdam. For professional services, Obbie Afri Gultom can be contacted via WhatsApp at 08118887270.

Author Archive Page

Comments

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini