Aturan Perundang-undangan Mengenai Penistaan Agama

Sebenarnya Penulis malas menulis ini, namun penulis sering sekali ditanyakan oleh kolega mengenai aturan perundang-undangan terkait penistaan agama. Mungkin karena sering terjadinya pelaporan yang mengakibatkan terpenjaranya seseorang atau heboh-heboh video di youtube terkait penistaan agama tertentu. Yang Paling terkenal tentu saja adalah pemberitaan tentang Basuki Tjahja Purnama alias Ahok dan Penistaan Agama yang dituduhkan padanya. Yang sepat heboh beberapa tahun yang lalu, seperti tidak ada lagi berita yang lebih penting untuk disampaikan kepada masyarakat. Jujur, sadar atau tidak sadar sebenarnya sebagian besar dari kita paling pioneer dalam hal melakukan penistaan agama, lihat saja di internet dan group whatsapp yang penuh dengan pembahasan terkait dengan agama yang akhirnya menjurus pada penistaan.

Namun sebelum menjustifikasi lebih lanjut, sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan tindak pidana penistaan agama yang sering gembar gemborkan di berbagai media secara masif?

Berdasarkan UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (“UU 1/PNPS/1965”). Pasal 1 UU 1/PNPS/1965 menyatakan Penistaan Agama adakah:

Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan dan mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari pokok-pokok ajaran agama itu.”

Sejalan dengan itu, dalam UU No. 1/PNPS/1965 mengatur pula rujukan kepada Pasal 156 a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) terkait dengan unsur-unsurnya dan ancaman hukumannya yang berbunyi:

Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:

a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;

b. Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Nah jadi unsur-unsurnya agar seseorang dapat dijerat dengan tuduhan tindak pidana penistaan agama adalah

  1. menceritakan/mengajurkan/mengusahakan dukungan umum;
  2. melakukan penafsiran atau kegiatan yang menyimpang dari agama tertentu;
  3. bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan atas agama tertentu;
  4. yang dimaksud agar seseorang tidak menganut agama tertentu yang berlandaskan ketuhanan yang maha esa.

Saya tidak habis pikir bagaimana seluruh unsur ini bisa diterapkan mengingat sangat sulit untuk menegakkan aturan penistaan agama ini. Coba fokus pada kalimat dalam Pasal 1 UU1/PNPS/1965 dan Pasal 4 KUHP, apakah gak lucu tuh pasal-pasal tersebut? karena sepertinya bunyi pasal tersebut sangat familiar dengan situasi keagamaan di Indonesia, dimana masing-masing pengikut agama satu menjelekan agama lainnya untuk meyakini khalayak ramai agamanya lah yang paling benar.

Lets get real! di kehidupan nyata sehari-hari, jika kita pergi ke suatu tempat ibadah tertentu, kemungkinan ada aja seseorang pemuka agama sengaja menyinggung kekurangan agama-agama lainnya dengan juga mengutip kitab suci mereka untuk meyakinkan pengikutnya.

Nah lho, kalau seperti itu nanti banyak dong pemuka agama di Indonesia akan ditindaklanjuti oleh pihak yang berwenang karena dikenakan pasal Penistaan Agama seperti layaknya yang dialami oleh ahok dulu.

Tapi ya gak mungkin lah !

Namun jangan jauh-jauh lah, bagi yang suka bertengger di dunia maya atau bahasa kerennya disebut netizen, pasti tidak asing lagi dengan kegiatan chat war mengenai masalah agama. Lihat aja di Youtube, Facebook, Twitter, WordPress bahkan menjadi sesuatu top trending di google key search.

Sangat memalukan! So Childish!

Mereka-mereka ini seperti tidak ada kerjaan dan sangat berpendidikan rendah.

Mereka ini secara tidak sadar telah melakukan tindak pidana lho, namun sayang karena dianggap hal biasa dan tidak dilanjuti oleh penegak hukum.

Tapi seperti itulah corak masyarakat kita. Sehingga penting untuk menanamkan nilai-nilai kebhinekaan sejak dini. Kalau tidak, sangat sulit untuk mendamaikan negeri ini di era digitalisasi yang mana setiap informasi sangat mudah diberitakan, yang secara tidak langsung mudah pula masyarakat dipengaruhi oleh isu-isu yang belum tentu mereka tahu sebenarnya apa yang terjadi.

Salam Damai.

About the Author

Obbie Afri Gultom, SH, MA, LLM, CHFI, is the Editor-in-Chief at "Gultom Law Consultants", now a part of Gading and Co, a leading firm in corporate management and consulting. A graduate of Erasmus University Rotterdam in 2019 through the StuNed scholarship program, he completed his Master of Law at the University of Auckland in 2022. With four years of experience in Corporate Business Law, including two years in the private sector and two years in a law firm, along with nine years in State Financial Law and Public Audit as an Auditor, Obbie possesses deep expertise in contract writing and review, legal research, merger and acquisition processes, corporate management, Good Corporate Governance (GCG), and public auditing. Additionally, he has three years of experience as a Development Policy Researcher at Erasmus University Rotterdam. For professional services, Obbie Afri Gultom can be contacted via WhatsApp at 08118887270.

Author Archive Page

Comments

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini