Ngaku Punya Kuasa Mistis Bisa Terkena Pidana Menurut KUHP Baru

Hey, Pembaca Website GLC yang budiman. Sudah dengar tentang Pasal Santet yang ‘bermunculan’ di KUHP Baru? Kalau belum, duduk yang manis dan siapkan kopi, karena kita akan membahas topik yang unik dan sedikit… ajaib, heboh akhir-akhir yaitu tentang Santet.

Pengertian Santet: Bukan Sekadar Dongeng

Dalam KBBI, ‘santet’ itu diartikan sebagai sihir. Tapi, santet bukan cuma tentang Harry Potter dan tongkat sihirnya, loh. Di Indonesia, istilah ini sering dikaitkan dengan praktik mistis seperti memasukkan benda asing ke perut korban (ouch!), memanipulasi orang dengan ‘gendam’, atau bahkan magi cinta yang disebut guna-guna. Menariknya, santet sering dianggap sebagai perbuatan meminta bantuan roh sesat untuk ‘mengutak-atik’ nasib orang lain. Seram, ya?

Pasal Santet: Hukum vs Mistis

Nah, di sinilah kita masuk ke bagian hukumnya. Sebelum UU No 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru berlaku tahun 2026, santet ini seperti ‘zona abu-abu’ dalam hukum. Banyak kasus main hakim sendiri karena kepercayaan bahwa santet adalah penyebab berbagai musibah. Tapi dengan adanya Pasal 252 di KUHP baru, tampaknya kita mulai melihat sedikit cahaya dan tentu saja ketakutan.

Pasal 252 KUHP Baru: Apa Isinya?

Pasal 252 ini menarik, lho. Intinya, siapa pun yang mengklaim punya kekuatan gaib dan menawarkan jasanya untuk menyebabkan penyakit atau kematian bisa kena denda hingga Rp200 juta atau penjara 1,5 tahun. Plus, kalau dia menjadikan ini mata pencaharian, hukumannya bisa tambah 1/3!

Ini isi pasal aslinya:

Adapun, pasal santet tersebut termaktub di dalam Pasal 252 KUHP Baru yaitu UU 1/2023 yang berbunyi:

(1) Setiap Orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.

(2) Jika Setiap Orang sebagaimana dimaksud ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah 1/3 (satu per tiga).

Sebagai informasi, ketentuan pidana denda dalam Pasal 252 ayat (1) UU 1/2023 adalah sebesar Rp200 juta.

Pembuktian Santet: Tantangan Bagi Sherlock Holmes

Sekarang, bagaimana caranya membuktikan santet? Ini bukan perkara mudah, karena kita berurusan dengan hal-hal gaib. Pembuktian melibatkan saksi, ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Tapi, bayangkan mencari ahli santet untuk di persidangan, atau membuktikan bahwa ‘kekuatan gaib’ benar-benar ada. Pusing, kan?

Pembuktian santet menurut Pasal 252 UU 1/2023 membuka jalan baru dalam hukum pidana di Indonesia, namun membawa tantangan tersendiri. Mari kita bahas secara lebih mendalam:

1. Alat Bukti dalam Pembuktian Santet

Alat bukti yang diakui dalam proses hukum, seperti diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, mencakup:

  • Keterangan Saksi: Ini bisa termasuk korban santet, yang mungkin mendengar pelaku santet menyatakan memiliki kekuatan gaib atau menawarkan jasanya.
  • Keterangan Ahli: Di sini terdapat kesulitan, mengingat belum adanya kriteria jelas mengenai ahli santet. Namun, ahli medis bisa dihadirkan untuk mendiagnosis penyakit atau kematian aneh yang mungkin terkait dengan santet.
  • Surat: Bisa berupa laporan medis atau hasil rontgen yang menunjukkan adanya benda asing dalam tubuh korban.
  • Petunjuk: Ini melibatkan korelasi antara berbagai alat bukti yang diperoleh.
  • Keterangan Terdakwa: Pelaku santet dapat memberikan kesaksian, walaupun mereka memiliki hak untuk tidak bersaksi di pengadilan.

2. Tiga Pihak Terkait dalam Kasus Santet

Kasus santet melibatkan tiga pihak utama:

  • Pelaku Santet: Orang yang mengklaim memiliki kekuatan gaib dan menawarkan jasanya.
  • Pengguna Jasa Santet: Individu yang memanfaatkan jasa pelaku santet untuk tujuan tertentu.
  • Korban Santet: Orang yang menjadi target dari praktek santet.

3. Pembuktian untuk Korban Santet

Korban santet perlu membuktikan:

  • Keterlibatan Pelaku: Melalui keterangan saksi atau bukti percakapan.
  • Dampak Santet: Keterangan ahli medis dan bukti fisik, seperti rontgen atau laporan medis.

4. Pembuktian untuk Pengguna Jasa Santet

Pembuktian untuk pengguna jasa santet mungkin meliputi:

  • Bukti Transaksi: Kuitansi atau bukti transfer ke pelaku santet.
  • Keterangan Saksi: Termasuk percakapan dengan pelaku santet.
  • Kesaksian Ahli Pidana: Dalam konteks penipuan atau praktik ilegal.

5. Tantangan dalam Pembuktian Santet

Pembuktian santet dihadapkan pada beberapa tantangan:

  • Subjektivitas Keterangan Saksi: Keterangan saksi bisa sangat subjektif dan memerlukan dukungan bukti lain.
  • Kualifikasi Ahli Santet: Sulit menentukan kriteria ahli dalam konteks santet.
  • Delik Formil: Pasal 252 merupakan delik formil, di mana akibat dari perbuatan tidak perlu dibuktikan, namun fokusnya pada perbuatan itu sendiri.

Kesimpulan: Pasal Santet, Antara Realitas dan Fantasi

Pasal santet di KUHP baru ini membuka banyak diskusi. Di satu sisi, ini upaya serius untuk mengatasi praktik mistis yang merugikan. Di sisi lain, tantangan pembuktian membawa kita ke wilayah yang belum banyak terjamah oleh hukum. Akhir kata, santet di mata hukum bukan lagi sekadar cerita mistis, tapi juga pelajaran tentang bagaimana hukum berusaha menjangkau ranah yang tak kasat mata. Jadi, percaya tidak percaya, santet kini bukan hanya soal mitos, tapi juga soal hukum!

About the Author

Obbie Afri Gultom, SH, MA, LLM, CHFI, is the Editor-in-Chief at "Gultom Law Consultants", now a part of Gading and Co, a leading firm in corporate management and consulting. A graduate of Erasmus University Rotterdam in 2019 through the StuNed scholarship program, he completed his Master of Law at the University of Auckland in 2022. With four years of experience in Corporate Business Law, including two years in the private sector and two years in a law firm, along with nine years in State Financial Law and Public Audit as an Auditor, Obbie possesses deep expertise in contract writing and review, legal research, merger and acquisition processes, corporate management, Good Corporate Governance (GCG), and public auditing. Additionally, he has three years of experience as a Development Policy Researcher at Erasmus University Rotterdam. For professional services, Obbie Afri Gultom can be contacted via WhatsApp at 08118887270.

Author Archive Page

Comments

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini