Misteri dibalik Tiktok, AS dan Tiongkok.

Making enemies can help a brand success (Membuat musuh dapat membantu kesuksesan merek). Demikian salah satu strategi yang dipercaya oleh pakar pemasaran. Bahkan, strategi ini juga bisa diterapkan dalam konteks politik, terutama untuk menjelaskan situasi yang terjadi antara Amerika Serikat dan Cina.

Sumber gambar

Pertikaian yang terjadi antara Cina dan Amerika Serikat (AS) belakangan ini menjadi wajah utama dari kondisi politik internasional. Perang dagang yang terjadi antara kedua negara memang mencuri perhatian seluruh dunia karena juga berdampak pada kondisi ekonomi dan politik global secara keseluruhan.

Dimensi pertempuran ini menjadi lebih luas setelah wacana perang terbuka dan sejenisnya – terutama terkait dengan konflik di Laut Cina Selatan – juga muncul.

Berita terbaru datang dari kebijakan Presiden AS Donald Trump yang mengeluarkan wacana yang melarang aplikasi video pendek dari Cina, (TikTok), di negara yang dipimpinnya.

Namun, kemudian ia bahkan menarik pernyataannya dan malah mendukung perusahaan-perusahaan dari AS – sejauh ini salah satunya Microsoft – yang tertarik untuk membeli perusahaan, meskipun Trump mengancam akan terus melarang aplikasi ini jika hingga September tahun ini tidak ada perjanjian pembelian. oleh perusahaan yang berbasis di AS.

Fenomena yang terjadi dalam kasus TikTok sebenarnya menjadi gambaran besar tentang bagaimana hubungan antara AS dan Cina sebenarnya bisa dibawa ke tingkat rasional daripada konflik. Ketika berbicara tentang bisnis dan bisnis alias B ke B, maka ketegangan hubungan sangat mungkin diturunkan.

Ini kemudian menimbulkan pertanyaan lebih lanjut, apakah benar bahwa kebangkitan China sebenarnya adalah sifat atau kapitalisme ekonomi yang secara khusus melibatkan AS di dalamnya?

Pertanyaan ini menarik untuk dibahas karena istilah yang dibuat oleh AS atau dibuat oleh AS adalah istilah yang sering digunakan ketika menjelajahi asal-usul kelompok seperti Taliban dan Al-Qaeda – bahkan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). ) – dapat dibentuk. Ya, AS memang dianggap bertanggung jawab atas pembentukan kelompok-kelompok ini.

Menariknya, beberapa pihak juga menyebutkan bahwa kebangkitan ekonomi negara-negara seperti Jepang dan sekarang Tiongkok juga buatan Amerika. Kisah Milton Friedman yang “mengajar” banyak pejabat senior Tiongkok tentang keterbukaan ekonomi adalah salah satu contohnya. Pertanyaannya, apakah ini benar?

Lalu apa pendapat akademisi dan mantan diplomat dari Singapura, Kishore Mahbubani tentang ini, dan apakah siklus buatan Amerika juga akan terjadi di Indonesia?

Apakah China “Buatan Amerika”?Istilah Made in China adalah stempel paling populer untuk berbagai produk industri belakangan ini. Bukan tanpa alasan, pasar domestik di banyak negara – termasuk AS dan juga Indonesia – didominasi oleh produk-produk Cina. Di AS saja, impor barang dari China meningkat 427 persen sejak 2001 ketika Cina menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Pada 2018, produk-produk dari Cina sendiri menguasai 21,2 persen pasar barang impor di AS. Sementara di Indonesia, pada 2019 angkanya menyentuh 29,95 persen dari total produk impor yang beredar di dalam negeri.

Dari data ini, tergambar jelas bagaimana pemberdayaan produk buatan China di pasar domestik negara lain. Khusus untuk AS, misalnya, hampir semua sepatu yang dijual di AS saat ini adalah barang impor. Merek sepatu Vans, misalnya, mencatat pendapatan US $ 3 miliar pada 2017. Namun, sekitar 98 persen sepatu Vans yang dijual di AS dibuat di Cina.

Belum lagi ratusan perusahaan berbasis di AS yang memiliki pabrik di China. Tidak sedikit dari perusahaan ini bahkan 100 persen dari produk mereka dibuat di negara tirai bambu. Namun, ketika menyangkut bagaimana perusahaan-perusahaan ini benar-benar memaksimalkan manfaat kemudahan produksi di China, yang jelas terlihat adalah sifat kapitalisme ekonomi itu sendiri.

China adalah magnet investasi dan tempat bagi banyak perusahaan AS untuk membuka pabrik, misalnya, dapat terjadi karena kondisi bisnis yang memungkinkan berkurangnya kendala produksi dan biaya rendah.Sebut saja soal upah buruh yang rendah, pajak yang tak begitu tinggi, ekosistem bisnis yang sudah terbentuk dengan jaringan yang saling berhubungan, serta persyaratan (compliance) – baik dari sisi hukum maupun sosial – yang tidak memberatkan investor.

Here the matter is clear that the greyandgrey.com viagra professional generic will have the same ingredient and in the same quantity as that of the viagra that we know. This is the best viagra pill for woman version of remedy that is formed for facilitating the consumption task. In women sildenafil improves blood flow to the genitals thus increasing their cialis 25mg chances of getting aroused. When using kamagra tablets then one must follow some vital guidelines, otherwise, it may lead to mild or severe cialis 10 mg greyandgrey.com side effects.

Konteks syarat berbisnis ini memang jauh lebih kompleks di negara-negara barat, misalnya terkait larangan mempekerjakan anak, kondisi tempat kerja, dan lain sebagainya.

Artinya, kegiatan ekonomi yang efektif dan efisien yang merupakan jantung kapitalisme, alias esensi kapitalisme, dapat diwujudkan. Bagi perusahaan dari AS, ini tentu menguntungkan.

Namun, jika kacamata diputar dalam konteks dampak langsungnya pada komunitas AS terkait distribusi kesejahteraan, yang terjadi adalah sebaliknya. Yang jelas adalah bahwa pada titik tertentu argumentasi Made in China yang dibuat oleh AS dapat dirasionalisasi.

Kishore Mahbubani dalam salah satu tulisan menyatakan bahwa apa yang terjadi dalam kebangkitan negara-negara di Asia saat ini termasuk Cina, adalah buah dari hadiah atau hadiah peradaban Barat – dengan AS di dalamnya – salah satunya melalui penalaran kebijaksanaan atau pemikiran alias pemikiran kemampuan menggunakan alasan.

Mahbubani mencontohkan pengalaman hidupnya sendiri, di mana sebagai seorang anak ia suka mengunjungi perpustakaan di dekat tempat tinggalnya dan meminjam banyak buku berbahasa Inggris yang ditulis oleh banyak pemikir besar Barat.

Ini mengubah hidupnya dari keluarga miskin, menjadi diplomat dan akademisi besar. Dia menjadikan pengalaman hidupnya sebagai dasar argumentasi tentang bagaimana negara seperti Cina memanfaatkan hadiah dari Barat. Pada titik ini Made in China dibuat oleh AS, sekali lagi itu dapat dirasionalisasi.

Hal lain yang perlu digarisbawahi juga adalah bagaimana ekonom terkemuka AS, Milton Friedman, pernah menjadi salah satu tokoh yang meminta masukan mengenai perkembangan ekonomi China oleh petinggi negara itu. Friedman mungkin adalah ekonom paling terkemuka di dunia antara tahun 1960-an – ketika wajahnya adalah sampul majalah TIME – hingga 1980-an.

Pada tahun 1979 ia secara resmi diundang oleh pemerintah Cina untuk membantu mengatasi masalah inflasi yang sedang dihadapi oleh negara tersebut. Dia juga menyebutkan memberi banyak masukan kepada China sebelum kehancuran Uni Soviet, sehingga menghindari negara panda dari hal yang sama.

Apa yang dilakukan Friedman membuat Tiongkok perlahan tapi pasti memasuki liberalisasi ekonomi yang lebih besar sampai mencapai seperti sekarang ini. Jadi, ya, lagi Made in China dibuat oleh AS.

Sekarang dengan kondisi yang saling bertentangan antara AS dan Cina, konteks buatan Amerika seperti mendapatkan pembenarannya, bahwa mungkin Cina dan ekonominya adalah buatan AS. Lalu, bisakah Indonesia mengalami hal yang sama suatu hari?

Bisakah Indonesia Mengalami Hal yang Sama? Apa yang dilakukan oleh AS sebenarnya dapat dilihat dari sudut pandang pemasaran. Banyak ahli percaya bahwa salah satu strategi untuk menciptakan merek yang sukses di pasar adalah dengan “membuat musuh”.

Samsung misalnya, menggunakan serangan pada Apple untuk mendapatkan nama seperti sekarang ini. Demikian juga, Pepsi sering menyerang Coca-Cola untuk menumbuhkan pasarnya sendiri.

Konteks serupa dapat digunakan untuk menganalisis perilaku negara-negara seperti Amerika Serikat.

Setelah runtuhnya Soviet, misalnya, AS “menggunakan” Taliban dan kemudian Al-Qaeda untuk menciptakan merek anti-terorisme. Merek ini melahirkan perang dan invasi negara-negara di Timur Tengah dengan tajuk pemberantasan terorisme. Namun, di balik itu ada nilai ekonomi yang besar dari penjualan senjata dan peralatan militer lainnya.

Hal serupa juga sangat mungkin dalam kasus Cina. Negara ini secara ekonomi dapat secara sengaja dibesarkan untuk menjadi musuh. Akan ada saat-saat ketika musuh yang ia ciptakan sendiri juga akan “musnah”.

Ini bisa terjadi di Indonesia. Banyak pihak memang telah mengangkat masalah ini, terutama yang menyebutkan potensi Indonesia untuk menjadi “Cina berikutnya”. Negara ini akan dibesarkan secara ekonomi oleh AS dan suatu hari akan diperjuangkan juga. Namun, ini hanya sebatas asumsi. Namun, jika dinamika konflik antara AS dan Cina terus berkembang, bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi buatan Amerika berikutnya.

Comments

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini