Wibawa Tokoh Masyarakat?

Tiap kali membaca berita bentrokan di daerah terpencil di pegunungan, sedih rasanya. Sedih rasanya baca berita adanya penyanderaan guru di kampung pegunungan tengah. Beritanya tiga orang disandera oleh KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata), tapi kemudian gembira karena Kelompok itu bisa digagalkan oleh para tokoh masyarakat di sana.

Kata berita itu, KKB mengincar orang orang non papua di kampung kampung. Entah kenapa kok jadinya para guru yang mau disandera. Tragis sekali kalau guru yang dinas mengajar di sana disandera. Lama sekali kampung kampung di daerah terisolasi seperti Jagamin-Baluni mengharap guru. Sekalinya dapat guru, harusnya mendapat pengamanan yang baik. saya membayangkan bahwa akibat adanya penyanderaan itu, makin tidak ada yang mau mengajar di sana.

Untungnya menurut berita dari dari media social maulalu, semua sudah selesai, tiga guru itu sudah dievakuasi ke Timika. Peristiwa penggagalan penyanderaan sudah selesai, tetapi dampaknya belum. Dalam keadaan normal saja guru belum tentu bersedia ditugaskan di daerah itu. Ini mesti jadi catatan Dinas Pendidikan. Saya membayangkan ketakutan orang luar yang bertugas di sana. Sebab saya dan dua kawan pernah tinggal di kampung Jagamin-Baluni untuk melakukan penelitian antropologi.

Dua kampung, Jagamin-Baluni yang menjadi wilayah fam Omaleng dan Jangkup, bagian dari Desa Aroanop. Kampung itu memang terisolasi, tidak ada kendaraan umum ke arah sana, kecuali jalan kaki atau naik helikopter milik perusahaan tambang. Sekali anda di sana, maka anda sudah terkurung dan siap dengan segala keadaan yang paling buruk. Sewaktu di sana saya dibekali satelite phone, sewaktu waktu diperlukan bisa kontak Timika atau Tembagapura. Hanya kontak, tidak menjamin bantuan, segera datang. Helikopter bisa terbang atau mendarat kalau cuaca cerah, selain itu, jangan harap.

Pos tentara terdekat kira kira 3 sampai 4 jam jalan kaki melalui lereng terjal, naik turun mendaki merayap tanpa henti. Kalau dengan istirahat, pasti lebih dari itu. Kalau ada persoalan yang mengancam, andalannya hanya pada para tokoh masyarakat. Berharap mereka yang akan mampu mengendalikan ancaman itu.

Entah kenapa, waktu saya disana, saya yakin sekali mendapat perlindungan dari tokoh masyarakat. Komunitas di kampung kampung sana patuh, bukan sekedar patuh dalam pengertian kesadaran, tetapi mereka hormat segan pada para tokoh itu. Para tokoh itu yang menghidupi mereka, memberi mereka rejeki membagi rata pekerjaan, menyelesaikan persoalan warga kampung, perkelahian, perkawinan, mas kawin, dan banyak hal lain. Bahkan juga pembagian pekerjaan padat karya pembangunan jalan, jembatan, rumah dan lain sebagainya. Tokoh masyarakat menjadi lebih dihormati kalau dia juga menjabat sebagai tokoh agama; pendeta, atau pengurus gereja setempat. Tokoh masyarakat dalam bahasa setempat disebut Menagawan.

Di Kampung itu ada Menagawan dari fam Omaleng, Jangkup, Janampa, Beanal Dimpau Abugau dan Bukaleng. Mereka adalah kekuatan kekuatan politik yang sah karena diangkat oleh warganya, dan para Menagawan itu sudah pengalaman dalam mengatur dan keamanan dan ketertiban bagi kampong kampong di situ. Para Menagawan itu lahir dan besar di situ dan paham dengan situasi kampungnya. Kenal dengan banyak fam dan etnik di luar kampong, bahkan di hampir semua kelompok etnik di pegunungan tengah. Kampong ini secara tradisional merupakan lintasan perdagangan barter dan juga perkawinan antarkelompok suku di pegunungan. Kontak kebudayaan dan pertemuan tatap muka dengan berbagai fam dan etnik sehari hari terjadi. Ini yang membuat para pemimpin kenal dan menggunakan bahasa pergaulan atau lingua franca yang sama. Para pemimpin di kampong Jagamin diangkat bukan karena keturunan atau warisan, tetapi atas dasar kemampuan pribadinya, menunjukkan perilaku panutan, tindakan membela rakyat, pandai bicara, merayu, menaklukan saingan atau lawan. Diangkat menjadi pemimpin karena dianggap berwibawa, mampu menjaga, dan menertibkan rakyatnya.

Dalam literature antropologi Tipe pemimpin seperti itu disebut Bigman atau orang berwibawa. Berita tidak jadinya menyandera tiga guru bisa dilihat sebagai kemampuan para Bigman menjamin keamanan wilayah dan kenyamanan warga. Lebih penting lagi para Bigman itu mampu memenangkan negosiasi dengan para KKB, menjadi penyelamat tiga guru SD Inpres, tanpa menimbulkan korban jiwa. Bukannya tidak mungkin para Bigman kampong itu lebih berwibawa daripada pimpinan KKB yang konon berasal dari berbagai kelompok etnik orang gunung. Mungkin saja para Bigman sudah amat sangat dikenal dalam lintasan kontak kebudayaan beberapa kelompok etnik yang ada di gunung. Amungme, Mee, Moni, Ekari, Dani, Damal, Nduga, dan mampu mengendalikan Kelompok Bersenjata itu.

Apakah para bigman itu sudah kalah pamor dengan KKB, ada baiknya melakukan pendalaman tentang kelompok masyarakat yang tersebar sejak dahulu di pegunungan tengah Papua.

Comments

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini