Kode Etik Buzzer Di Tengah Era Buzzing Tanpa Rasa Bersalah

Apakah kode etik buzzer diperlukan di tengah era di mana orang membuzz sesuatu, seseorang, kelompok, tanpa ada tautan moral. Mereka juga melakukannya tanpa memperhatikan kepentingan asas praduga tidak bersalah para korban tudingan mereka di sosmed.

Apakah penting bagi para buzzer melakukan asas praduga tidak bersalah?

Pada pasal 1 ayat (1) “The Universal Declaration of Human Right “, tertulis:

Setiap orang yang dituding telah melakukan tindak kejahatan, memiliki hak untuk dianggap tidak bersalah, sebelum pengadilan memutuskan sebaliknya, agar dirinya mendapatkan jaminan yang dibutuhkan untuk membela diri dalam pengadllan tersebut.”

Negara-negara di dunia telah menetapkan asas praduga tak bersalah, menjadi salah satu wujud perlindungan hak asasi manusia, khususnya hak asasi pada mereka yang dijadikan tersangka. Isi pasal tersebut di atas dengan demikian telah mewujud menjadi kesepakatan umum.

Di Indonesia, asas praduga tak bersalah diberlakukan untuk para penegak hukum, pekerja media, maupun masyarakat biasa pada umumnya. Bagi para pekerja media, asas ini juga masuk ke dalam ketentuan normatif pada Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI), yang dikeluarkan Dewan Pers.

Bagaimana Dengan Buzzer

Seperti telah disebutkan, asas praduga tak bersalah lebih ditujukan ke pada para penegak hukum, baik polisi, atau Jaksa maupun Hakim. Dengan adanya asas praduga tak bersalah, maka aparat hukum dilarang menyakiti tersangka demi mengorek keterangan. Jaksa juga dilarang menghalalkan segala cara demi membuktikan tuduhan yang dibuatnya.

Adapun, Hakim. Lebih diharapkan untuk tidak memberikan kesimpulan terburu-buru hanya karena saksi semata, harus dilihat bukti-bukti dan alibi serta motif yang menjadikan kesalahan terdakwa mewujud.

Bagaimana dengan buzzer? Karni Ilyas sebagai tokoh buzzer terbesar melalui vokalitas nya di media twitter pernah menyatakan,

“tidak satupun ada ketentuan hukum yang mengatur cara wartawan meliput dan pemberitaan ada ketentuan hukum yang mengatur jalanya persidangan, kecuali dalam Sepuluh Pedoman Penulisan Hukum. Tidak pernah ada rumusan tertulis yang tegas dari Dewan Pers. Hingga kapan sebuah berita dianggap telah menghakimi seseorang, Begitu pula dengan asas praduga tak bersalah“

Memang benar, KEWI hanya menyebutkan keharusan pekerja media di Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah. Agar tidak mencampurkan fakta dengan opini. Agar selalu berimbang, atau selalu meneliti kebenaran informasi juga dilarang melakukan plagiasi.

Jadi Tidak Ada?

Kekhawatiran kita akhirnya satu. Jika kepada pekerja media saja tidak ada aturan yang ekplisit untuk mengatur sejauhmana asas praduga tidak bersalah? Lalu bagaimana dengan para avonturir SEO, seperti para buzzer influencer? Karena akibat dari tidak adanya ketegasan aturan, maka seolah-olah kebijaksanaan kembali diserahkan pada buzzer tersebut.

Pada praktiknya, pada faktanya di masyarakat netizen se Indonesia, tidak ada satu buzzer pun yang peduli akan komentar mereka di media sosial. Tidak ada batasan yang akhirnya membuat mereka mengerti bahwa “profesi” yang satu ini, juga memiliki konsekuensi besar seperti pekerja media di media massa serius.

Trial by Buzzer

Sangat sering para buzzer ini lebih hantam kromo dibandingkan, para pekerja media. Mereka dengan gamblang menyebut nama tertuduh, menyebarkan fotonya, memberikan imbuhan negatif, sebelum sang tokoh membela diri. Trial by buzzer berlangsung dengan sangat cepat, pengabarannya, serta kejam.

Ilyas sendiri pernah menyatakan, jika ingin konsekuen dengan asas praduga tak bersalah yang memang melarang menyebutkan nama, dan identitas terdakwa, seharusnya pekerja media tersebut baru bisa menyiarkan berita bila sudah ada vonis Mahkamah Agung. Bahkan bisa lebih panjang lagi hingga keputusan peninjauan kembali dari Mahkamah Agung. Karena keputusan pengadilan tingkat I atau banding masih bisa diralat oleh mahkamah Agung.

Artinya lagi memang para media selama ini tidak menjadi teladan dalam urusan trial by press. Mereka tetap menampilkan nama-nama tertuding, nama-nama pesakitan, untuk dihakimi lewat komentasi di situs masing-masing. Lalu jika pekerja media melakukannya, mengapa buzzer tidak boleh? Pikirnya. Jika trial by press tetap berjalan, mengapa trial by buzzer tidak boleh?

Apalagi

Menurut Loebby Loeqman, guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, supaya pelanggaran asas praduga tak bersalah tidak terjadi, yang terpenting bukan menyembunyikan identitas tok, dengan menulis inisial tersangka, terdakwa atau pesakitan publik. Tetapi bagaimana pemberitaan bisa jelas. Agar pers bisa menerangkan kepada masyarakat untuk tidak menganggap tersangka pelakunya.

Pemberitaan media memang tidak selalu dibenarkan publik. Hal ini ironisnya berkat kerja buzzer yang meminta agar masyarakat tidak mempercayai suatu media. Sayangnya hal ini terjadi dalam suatu pemihakan politik. Misalkan, jika yang ditangkap polisi adalah bagian dari golongannya, seperti kasus Ihsan Tanjung, maka buzzer anti pemerintah, meminta golongan anti pemerintah tidak percaya media.

Sebaliknya, jika yang bermasalah adalah bagian dari lingkaran presiden. Misalkan dalam kasus pencatutan tanda tangan oleh tim milenialis pembantu presiden, maka buzzer anti presiden meminta pers menyiarkan ramai-ramai. Sambil berapologia, bahwa pers pasti tidak akan menyiarkannya karena zolim pada kelompok mereka.

Tidak Ada Kode Etik Buzzer

Alhasil, pertarungan buzzer telah memasuki apa yang sakral dalam sebentuk profesi. Yakni kode etik. Hukum, bagi para buzzer semakin direndahkan. Walau pers sering menginjak prinsip kode etik, adakalanya itu dilakukan sebagai keterpaksaan. Artinya pers masih berupaya menaati kode etik, juga mencari cara agar asas praduga tak bersalah tetap dijalankan. Sementara bagi para buzzer, perang kedua kelompok yang bertikai, jelas tidak membutuhkan adanya aturan-aturan bagai dalam olah raga. Karena ini bukan olah raga.

Karena ini bukan sebentuk olah raga, maka tidak perlu sportif dalam melakukannya. Tidak ada kode etik buzzer misalnya, yang dibuat oleh Assosiasi Buzzer Indonesia. Selain  assosiasi itu tidak pernah ada, buzzer sendiri merupakan ampas dari apa yang pers lahirkan setengah matang sejak tahun 1999, yakni Citizen Journalism.

About the Author

Jurnalis asongan, pengais setiap rizki halal, penitip setiap doa baik di dunia. Politisi yang menunggu dikarbit. Kyai kantong bolong. Lahir di dusun kecil Jalancagak, tinggal di dusun kecil Jalancagak. Berharap menutup hari tua di dusun kecil Jalancagak.

Author Archive Page

Comments

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini