Terobosan dalam bisnis Warteg

“Perlu ada terobosan agar bisnis wartegnya berkembang maju.” Kata Loyo. Nama saya benar adalah Loyo, tapi sering diucap salah. Jadinya Saya sering diejek orang orang sekitar. Mengikuti panggilan temen teman teman karena nama saya Loyo. Sebenarnya sebutannya Loyo “o” nya seperti menyebut “o” di belakang kata Soeharto atau nama Kusno. Bukan “o” seperti menyebut Ronaldo. Buat orang Jawa, beda antara “Loyo” menyebut seperti Suharto, dengan “loyo” seperti menyebut Ronaldo.

Kembali pada terobosan bisnis, “Pokoknya harus bisa untung dalam berbisnis”. Tambahnya. “Seperti apa terobosannya pak?” begitu yang ditanyakan berulang oleh orang orang yang penasaran soal terobosan bisnis.

“Harus ada imajinasi…. membangun sesuatu itu harus pake imajinasi. “ begitu kata Loyo. Lalu dia menjelaskan bahwa dia membangun wartegnya dengan imajinasi. Wartegnya semula hanya dikonsumsi pekerja kasar, buruh, orang yang kerja di jalanan. Sekarang, pelanggan warteg saya kebanyakan karyawan. Orang Kantoran.

Lalu apa imajinasinya? Gini. Lalu Loyo menjelaskan ke komunitas wartegnya. Mulanya dia memberi pengantar tentang gambaran soal warteg itu jorok, makanannya itu itu aja atau kurang variasi, tidak jauh dari tempe tahu goreng tepung dan sayur labu, sayur asem. Itu gambaran warteg zaman kuno yang harus diubah. Imajinasi tentang warteg kuno itu harus diubah. Warteg sekarang harus beda. Lihat saja di Jakarta sudah banyak warteg, pake AC, lantai bersih, makanan bervariasi. Kerabat saya di Kebayoran Lama punya warteg dengan variasi makanan sampai ratusan. Telor balado saja bisa enam variasi. Ayam goreng juga demikian. Tempatnya juga tiap kali di sapu pel, ada tempat cuci tangan lengkap dengan sabun cuci tangan cair, ada tissue buat lap tangan dan mulut. Sekarang karyawan yang makan di Warteg tidak perlu malu. Kalau dulu, karyawan malu takut dikira tidak punya uang. Gambarannya kalau makan di warteg, duitnya sudah habis. Istilahnya makan di bulan tua.

Imajinasi dibangun tidak sekejap. Loyo belajar otodidak soal imajinasi. Dialog mengenali pelanggannya amat sangat penting. Saran dari pelanggan jadi pertimbangan utama. Termasuk etalase tempat simpan makanan. Pajangan makanan bergaya warung Padang (maksudnya Minang). Ingat bukan makanannya yang bergaya Padang. Kata Loyo, masakan Padang punya pasar sendiri, masakan Tegal juga punya. Tidak boleh campur aduk. Ini malahan membuat bingung konsumen. Soal menu harus asli masakan warung tegal. Kalau ini diperhatikan serius oleh Loyo. Ia dan staf pelayannya menyajikan masakan yang benar benar dikuasai. “kalo soal ini tidak bisa main main, pelanggan itu ada yang tak peduli masakan tapi banyak yang sangat ceriwis. Kalau masakan tidak enak karena coba coba, bisa runyam. Berita mulut ke mulut itu lebih punya pengaruh daripada promosi lewat spanduk spanduk.

Staff nya dua orang, dua duanya perempuan. Ini juga jadi pilihan Loyo karena perempuan dianggap lebih cekatan dan telaten. Dua pelayannya itu kerabat dekat isterinya. Mudah dikontrol, demikian alasan Loyo. Selain melayani, mereka berdua bergantian membantu masak. Soal belanja bahan mentah, urusan saya atau isteri. Kasir dipegang oleh isteri. Konon wartegnya pernah mempekerjakan pelayan laki tapi dianggap kurang luwes. Tak lama diberhentikan. Loyo tidak menggeneralisir semua pelayan laki-laki begitu. Banyak Warteg yang pelayannya lelaki yang tangguh. Ia banyak belajar dari warteg warteg lain melalui arisan mingguan dan bulanan.

Imajinasi terus dibangun. Seperti merangkak berjenjang dari tangga bawah ke tangga yang lebih tinggi. Mulai dari memperbanyak variasi menu makanan, kebersihan sampai dengan pelayanan. Ia bahkan mulai memperluas bisnisnya dengan menyediakan pelayanan nasi kotak. “belum terlalu besar, tapi lumayan kalau ada pertemuan di sekitar sini, panitianya pesan di kami.” Benar kata Pakde saya, buka usaha seperti warteg tidak besar modalnya. Tapi modal utama adalah kuat mental, percaya diri dan berjanji pada diri sendiri. Itu saja dianggap belum cukup oleh Loyo. Harus kreatif, berani ambil resiko, yang diimbangi pemikiran matang. Para antropolog banyak mempelajari soal budaya kerja. Salah satunya adalah budaya di kalangan saudagar, wiraswasta, pedagang yang alur kerjanya penuh imajinasi dan resiko. Hitung hitungan yang cermat, membangun relasi atas dasar kepercayaan, meyakinkan lawan bisnis. Moralitasnya “yu kasih uang, Ai kasih barang”.

Comments

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini