Petruk Jadi Ratu

Kisah yang sudah terjadi beberapa tahun lalu, tapi masih relevan untuk diceritakan sampai sekarang. Sebab menyangkut sifat manusia yang tak pernah puas akan kekuasaan. Cerita tentang itu menyadarkan kita akan keserakahan, prestise, segala cara ditempuh untuk mendapat kedudukan yang dianggap “mulia” tinggi, tidak biasa tapi kedudukan yang luar biasa.

Bermunculan Kerajaan Kerajaan Baru, bermunculan raja dan ratu baru lengkap dengan pasukan pengawalnya. Entah apakah hanya ada di Jawa, atau terjadi pula di luar Jawa. Apa yang saya tonton di televisi sebatas kerajaan baru di Jawa dan Sunda.

Sungguh raja sehari sebab tak lama setelah mengumumkan berdirinya kerajaannya, Toto dan isterinya diciduk polisi di kerajaannya. Setelah Toto ternyata juga muncul beberapa raja raja local yang selama ini terpendam. Kerajaan (keraton) Pajang di desa makam haji, kartasura, sukoharjo. Lalu ada lagi keraton Jipang di kecamatan cepu blora. Dua kerajaan yang sudah rata tanah semenjak munculnya Mataram dimunculkan kembali.

Mengaku sebagai keturunan Pajang dan Jipang membangun kembali kerajaannya. Kawan saya mengirim adanya kerajaan lain, tak tanggung tanggung namanya Kekaisaran Matahari dari Sunda di Bandung. Mungkin mengikuti pakem Jepang, kekaisaran artinya Kaisarnya keturunan Matahari. Barangkali akan ada kerajaan kerajaan lain yang bermunculan setelah terindentifikasi dan dalam sekejap tersebar di medsos oleh kecanggihan android.

Kerajaan dan Raja mendeklarasiikan diri sebagai raja jawa, keturunan kerajaan di zaman kuno yang sudah runtuh. Apa yang terjadi di tanah jawa?

Ilustrasi atau contoh contoh di atas serupa dengan Lakon pewayangan “Petruk Jadi Ratu”. Cerita pewayangan ini barangkali cocok dijadikan pijakan awal melihat ambisi orang menjadi raja. Mengutip dalam dialog di cerita itu sebagai berikut.

“Apakah menjadi orang biasa adalah hina? Apakah dengan menjadi raja, hina akan lenyap dengan sendirinya? Dengan nada sabar sang semar, ayah petruk bertanya ke petruk yang saat itu sedang memainkan perannya sebagai raja. Petruk gemas dengan perilaku orang orang yang gila jabatan, pangkat, gelar dan lainnya yang sejenis. Gejala yang sudah meluas di negeri ini.

Sudah banyak orang yang gila gelar, jabatan dari mulai gelar kerajaan sampai dengan gelar akademis. Comedian yang namanya menjulang tinggi karena usaha dan semangatnya menghibur khalayak ramai. Dengan atau tanpa ijazah dan embel embel gelar mampu mempesona. Itu dianggap kurang memuaskan, masuk menjadi wakil rakyat, seolah dengan menjadi bagian dari wakil rakyat dia akan mampu menghibur atau menguatkan powernya mengangkat harkat martabat rakyatnya. Itu tak terjadi. Dia malahan tenggelam. Berubah arah, masuk dalam dunia akademis, entah maksudnya butuh pengakuan bahwa dirinya adalah orang pintar? Lalu menempuh cara yang tidak elegan. Komedian itu memalsukan gelar, sebagai syarat mutlak masuk dunia akademis. Ketauan akhirnya namanya tenggelam, sungguhan tenggelam di telan penguasa bumi Antereja.

Kasus menipu diri sendiri dan orang lain semacam ini banyak terjadi. Untuk tetap dipandang, berstatus tinggi, bukan orang biasa, mempertahankan reputasinya di bidang akademis. Apapun cara ditempuh untuk status yang besar pasak daripada tiang. Dunia akademiss sering mengalami, pengajarnya memalsukan karya tulisnya, menjiplak, copy paste punya orang lain. Menerbitkan karya itu mengklaim menjadi karyanya. Beberapa ketauan, mempermalukan diri. Ambisi membuatnya terjungkal.

Orang-orang entah dari asal usul antah berantah, tiba tiba mengakui punya hubungan darah dengan keraton. Tiba tiba pula mendapat gelar Raden mas, raden ayu, raden ajeng. Pasti gelar itu membanggakan dirinya sebab, di papan nama yang ditempel di dinding teras depan rumahnya ada nama sekaligus gelar kebangsawanan. Tak perlu disangkal. Gelar bangsawan membanggakan. Sama halnya dengan gelar kesarjanaan.

Tetangga menghabiskan dana yang besar hanya mau menelusuri jejak nenek moyangnya, yang katanya masih ada darah keraton. Memperlihatkan foto dan dokumen seadanya pada orang orang yang dianggap tahu asal usulnya. Asal usul punya implikasi berhak atau tidaknya dia menyandang gelar kebangsawanan. Datang ke keraton Mataram, Solo dan Jogya, mungkin juga membongkar arsip arsip keraton. Tujuannya satu. Apakah saya berdarah biru.

Petruk jadi raja adalah bentuk refleksi penyadaran. Petruk yang semula adalah punakawan, berubah menjadi raja. Sakti mandraguna. Seumur hidupnya dia mengabdi dan tahu seluk beluk kelakuan para tuan tuannya yang sering kali konyol tak masuk akalnya. Petruk paham arti kekuasaan, dan tahu siapa saja yang dianggap bertanggungjawab atas kesemrawutan pemerintahan. Dia bukannya tak punya kesaktian, bahkan kesaktiannya jauh melampaui para tuannya. Dewa kahyangan dibikin kocar kacir. Dia memporakporandakan, menjungkirbalikan anggapa bahwa penguasa dapat bertindak semuanya.

Petruk mengubah dirinya menjadi Raja untuk menghancurkan tatanan yang dianggap ngawur. Raja tidak bisa semaunya. Raja harus menjalankan titahnya demi kepentingan rakyatnya. Petruk tak mau rakyat menjadi korban ngawurnya para tuan. Petruk harus berubah menjadi raja untuk menghancurkan para tuan yang berbuat semaunya.
“saya harus berubah menjadi raja, untuk menghancurkan raja raja yang memerintah otoriter. Kata katanya adalah hukum.

“sadarkah kau tanpa sadar turut melanggengkan status para tuan. Dengan mengubah status menjadi tuan kau berbuat semaunya.”

“ Kenapa kau tidak menjadi dirimu sendiri.”

“apakah hina menjadi orang biasa?”

Semar menutuo dialog. Sebagai seorang ayah yang memberi nasihat kepada anaknya.

Comments

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini