Program Pengurangan Risiko Bencana di Sulawesi Tengah

Nun jauh di sana, di Sulawesi Tengah, kurang lebih dua jam dari ibukotanya, Palu. Saya mengunjungi tempat itu atau tepatnya ditugaskan ke tempat itu. karena di situ terkena dampak gempa bumi dan likuifaksi atau pergeseran permukaan tanah, dan ambles atau anjlok. Bangunan rumah berpindah akibat pergeseran itu, sebagian rumah ambles dan hilang dari permukaan.

Seorang warga mencari barang di salah satu bangunan yang rusak akibat pergerakan atau pencairan tanah (likuifaksi) saat gempa di Petobo, Palu, Sulawesi Tengah, Senin (8/10). Kementerian PUPR menyatakan kawasan permukiman Petobo tidak dapat dibangun lagi sehingga warga yang tinggal dikawasan tersebut harus direlokasi. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/pras/18.

Saya dan tim emerjensi respons sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat membantu komunitasnya agar bersemangat dan kembali beraktivitas seperti sebelumnya. Beberapa kegiatan yang kami lakukan adalah pemberdayaan remaja dan pemuda yang terkenal trauma akibat gempa tersebut.

Kami membangun rumah atau tenda rama remaja, membuat kegiatan yang dapat menyemangati kegiatan mereka, membuat sandiwara atau teater, nonton filem layer tancap Bersama, menciptakan kegembiraan di setiap training atau pelatihan yang berkaitan dengan emerjensi respons dan pengurangan resiko bencana.

Dalam suatu kesempatan santai ngobrol dengan para pemuda di teras salah satu tokoh masyarakat di situ.
“Petani angin?. Apa itu?”. Percakapan dengan pemuda di situ di Desa Baluase. Lama dan akrab bicara dengannya walau tak mengenal identitasnya. Namun akhirnya lawan bicara saya ini mengenalkan diri, dia adalah ketua pemuda se kecamatan. Sungguh saya tak menduga penampilannya yang bersahaja.

Ternyata Firdaus adalah tokoh muda di kampong situ. Ia baru saja dilantik beberapa hari lalu oleh Pak Camat di kantor Kecamatan. Tiba tiba diskusi “petani angin” menjadi tidak penting. Sebab cerita Firdaus tentang pemuda lebih menarik.

“problem utama pemuda di sini adalah tawuran” cerita dia.
“kenapa kok tawuran? siapa dengan siapa? Persoalan apa?” Tanya saya pengen tahu.
“pemuda itu bertengkar hanya soal sepele saja pak. Saling liat-liatan dalam pesta, sudah memicu perkelahian. Yang satu kalah berkelahi satu lawan satu, memanggil temannya di desa, lalu dating bergerombol, mengeroyok. Tak terima dengan pengeroyokan, yang dikeroyok memanggil pula kawan kawannya yang se desa.

Akhirnya jadi tawuran antardesa.” Begitu ceritanya kata Firdaus.
“ini akibat mabuk-mabukan” kata Firdaus menambah ceritanya.
“CT ya”. Kata saya menanggapi mabuk mabukan. CT adalah singkatan dari Cap Tikus, minuman beralkohol yang sangat popular di Sulawesi Tengah.
“Iya. Orang yang sedang mabuk, tak bisa tersinggung. Tatapan mata saja membuat orang marah. Padahal kalau normal saja tidak begitu.” “masa sih”.

Bukannya orang yang saling tatap menatap tanpa menyapa bisa menimbulkan pertanyaan dan bahkan menimbulkan pertanyaan dalam hati, kenapa menatap. Apalagi melotot.” Pancing saya.
“sebenarnya perkelahian bukan saja soal mabuk, tapi banyak hal. Pertandingan bisa berakhir tawuran. Adik atau pacar diganggu, berakhir tawuran. Mengendarai sepeda motor melewati jalan desa dianggap tidak sopan. Saya tidak mengerti apa sepeda motor harus dituntun biar dianggap sopan.? Kata Firdaus.
“apa saja bisa jadi pemicu perkelahiaan dan tawuran.” Katanya.

Sejak dilantik, Firdaus sudah mempunyai rencana, akan melakukan pendidikan non formal di seluruh desa. Tidak terlalu jelas apa maksudnya dengan pendidikan non formal itu. Ia menambahkan bahwa para pemuda perlu mendapat pendidikan agama dan moral. Ini pun terasa masih di awang awang, istilah sekarang tidak membumi.

“saya senang sekali ada program dari LSM yang memberi pelatihan soal kegiatan pemuda dan remaja paska bencana. Saya berpikir bahwa program seperti ini bukan saja untuk antisipasi paska bencana, malahan menjadi program membangun desa melalui cara pemuda.” Lanjutnya.

O, baru saya sedikit mengerti kata kata Firdaus soal merencanakan kegiatan non formal itu.
“berdiskusi dan menyatakan gagasan antarpemuda patut untuk dilanjutkan. Kami sanggup melaksanakan itu. Pemuda di sini sudah biasa melakukan diskusi dan merencanakan. Kami punyai organisasi Kelompok Pecinta Alam atau KPA yang biasa merencanakan sewaktu mau kegiatan naik gunung”. Tegasnya.

“Pelatihan ini punya nilai tambah, yakni memperkenalkan pembangunan mental. Saya senang, dan temen temen semua di sini juga senang. Ini adalah pengetahuan baru yang menyadarkan kita. Pembangunan bukan saja fisik. ” katanya.

Rupanya setelah dua hari ikut pelatihan dari tim LSM LSM lainnya yang bertugas di situ. Firdaus sudah banyak tahu dan paham arti pentingnya mentalitas. Pelatihan yang mengutamakan semangat membangun tak mudah putus asa. Tak percuma para LSM yang berdinas melewati jalan tak mulus ke desa Baluase, mengadakan sosialisasi psiko social buat para remaja dan pemuda. Selamat.

Lalu kembali pada obrolan awal, apa arti “petani angin” bang Firdaus? ah itu bang, petani yang nunggu nunggu angin kencang supaya kelapa jatuh, lalu tinggal pungut. Ah ada ada saja. Kami mengakhiri percakapan karena sudah saatnya pelatihan berikutnya dimulai.

Comments

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini