Berkabung Saat perayaan Gawai di Kampung Iban, Kalimantan Barat

Apa yang terjadi di lapangan, selalu tidak pernah ideal. Itu pengalaman yang saya alami. Entah pengalaman orang lain. Sebagai peneliti, saya sering keluar masuk komunitas. Entah lokasi mudah dijangkai, banyak pula lokasi yang sulit. Bisa saja komunitas yang berada di kota, tidak jarang komunitas yang homogen berada di lokasi yang terpencil. Kadang sudah mempersiapkan segala keperluan dari mulai alat rekam audio sampai yang video, sampai di lokasi, ternyata tidak ada peristiwa yang mesti direkam. Kadang karena satu dan lain hal sebuah upacara dibatalkan karena salah satu dari warganya meninnggal dunia.

Begitulah yang terjadi harapan dan kenyataan tak sama, rencana dan fakta berbeda.
Harapan dan kenyataan berbeda ini saya alam ketika datang ke sebuah kampung di hulu sungai di Kecamatan Putusibau. Di kampung itu akan diselenggatakan sebuah Gawai atau upacara atau perayaan yang bukan saja menjadi milik orang Iban yang berada di Sungai Utik, tetapi perayaan yang menjadi milik rakyat Kalimanta Barat dan Serawak, Malaysia.

Bagi orang Iban, baik yang berada di Kalimantan Barat maupun di Sarawak, Gawai merupakan hari perayaan panen, bisa sebuah perayaan yang sederhana bisa pula sebuah perayaan yang besar besaran, bergantung hasil panen dan juga bergantung dari dukungan pemerintah daerah.

Gawai Dayak mempunyai beberapa upacara yang dijalankan di kota dan Betang atau rumah panjang. Persembahan pelbagai makanan dari tuan rumah di rumah Panjang itu kepada para tamu, kerabat jauh dekat, mereka yang dihormati, dan juga persembahkan kepada para dewa yang telah memberi hasil panen yang melimpah. Para tetua adat dan mereka yang biasa membaca doa membaca mantra yang khusus untuk upacara ini dan melumur darah ayam jantan pada bahan persembahan. Bukan Cuma itu, dia pula yang menerima para tamu yang satu per satu masuk ke rumah Panjang. Dia yang memberi se cangkir minuman beralkohol kepada tamu tamunya.

Saya kurang beruntung, dalam upacara syukuran Gawai tidak ada tarian yang meriah, Biasanya tarian bagian dari sambutan terhadap tamu tamu yang datang ke kampong ini. Sebabnya tidak ada tarian meriah karena Ini salah seorang nenek, seorang yang amat sangat dihormati meninggal dunia saat Gawai berlangsung.

Dengan adanya kedukaan, pesta perayaan yang seharusnya meriah semerah meriahnya, jadi dibatasi. Tarian dilakukan seadaanya, demontrasi gendang dikurangi. Dalam keadaan normal tarian dari berbagai jenis, dan dimainkan oleh laki perempuan tua muda, dengan diiringi gong dan gendang yang juga dimainkan oleh lelaki perempuan tua muda. Tarian belakangan ini menjadi bagiian dari paket wisata berkunjung ke Kampung ini. Sehingga seharusnya menjadi atraksi yang menarik. Katanya ada sepuluh penari remaja, 4 lelaki dan 6 perempuan, setingkat SMP menyambut setiap wisatawan yang masuk Betang (rumah panjang) Mereka memang disiapkan sebagai penari, berlatih di sekolah sesuai belajar. Diasuh oleh gurunya yang paham gaya tari tradisional sekaligus dicampur unsur gerak modern. Dalam kenyataannya mereka dengan pakaian aneka warna berdiri dan menari seadanya , sekedara menyambut tamu dengan hormat. Padahal para remaja itu bukan saja piawaian sebagai penari, tetapi juga harus luwes bergaya depan kamera. Ini katanya antisipasi wisatawan yang suka memotret penari saat penyambutan. Gawai atau acara persembahan banyak dilakukan dengan ekspresi tarian music dan nyanyi.

Semuanya jadi dibatasi oleh karena kedukaan. Harapan melihat Tarian, music dan nyanyi yang katanya digerakan oleh roh sebab tarian itu adalah ekspresi persembahan kepada roh atas ucapan terima kasih diberi keselamatan dan panen yang berlimpah yang membuat seluruh warga Iban yang bersebarannya sampai ke Serawak diberi hidup yang berkesinambungan dari generasi ke generasi.

Comments

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini