Benarkah Penyalahgunaan Dana PEN Kebal Jeratan Hukum?

Penulis sangat antusias dengan diskusi mengenai dana Pemulihan Ekonomi Nasional atau yang sering disingkat dengan dana PEN. Hal itu karena ada ketentuan pertanggungjawaban-nya yang sering diasumsikan sebagian pihak sebagai suatu yang tidak transparan dan sulit untuk dijerat dengan hukum.

Jadi sebenarnya terkait dengan penyalahgunaan dana PEN, ada suatu impunitas (kekebalan hukum) bagi pengambil / pelaksana kebijakan PEN yang dilindungi oleh undang-undang yakni diatur dalam pasal 27 ayat (1) UU 2 Tahun 2020 tentang Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Dimana dalam Pasal tersebut menegaskan bahwa segala tindakan berkaitan dengan kebijakan PEN termasuk hal-hal yang merugikan tidak dapat digolongkan sebagai kerugian negara.

Wah Kok Bisa?

Jadi sebenarnya karena situasi pandemik yang sangat tiba-tiba dan genting ini menyebakan penyaluran dana PEN pun disalurkan menggunakan sistem dan infrastruktur keuangan yang ada. Agar penyaluran nya lancar dan para pengguna anggaran yang mendapatkan dana PEN “tidak takut” dalam menggunakan anggaran PEN tersebut, maka diberikanlah keleluasan dalam mengelola dana PEN sedemikian rupa sehingga jika ada kerugian keuangan negara dalam proses pengelolaannya, maka pengguna tidak bisa dijerat.

Pasal 27 ayat (1) Telah Judicial Review

Walaupun sebenarnya Pasal 27 ayat (1) UU No.2 Tahun 2020 ini sebenarnya sudah di uji materil / judicial review melalui Putusan MK No.37/PUU-XVIII/2020. Dimana berdasarkan putusan MK tersebut, membuat Pasal 27 ayat (1) tersebut menjadi berbunyi sebagai berikut:

Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Nah jadi berdasarkan putusan MK tersebut, Pasal 27 ayat (1) UU No.2 Tahun 2020 yang semula mengandung makna atau paling tidak diasumsikan sebagai impunitas (kekebalan hukum), namun dengan adanya putusan MK ini ditambahkan suatu syarat yakni “sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan“. Hal ini berarti setiap tindakan penggunaan dana PEN yang menyebabkan kerugian keuangan negara tetap akan dijerat hukum apabila tidak pengelolaan dan penggunaanya tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan terdapat itikad tidak baik untuk memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi, orang lain atau korporasi tertentu.

Jadi intinya pertanggungjawaban penggunaan dana PEN sama saja dengan sumber dana lainnya. Semua ada konsekuensi apabila terdapat penyalahgunaan dalam pengelolaannya.

Kasus Yang Pernah Terjadi

Namun uniknya, setelah melakukan riset di internet, penulis sangat tercengang kasus dugaan tindak pidana korupsi sehubungan dengan dana PEN sangatlah minim. Tercatat yang terkenal dan diliput media hanyalah kasus suap dana PEN dalam pengajuan pinjaman dana PEN tahun 2021 sebesar Rp 350 miliar untuk Kabupaten Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara. Dengan dugaan tersangka menurut sumber berita nasional yakni Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kabupaten Muna Sukarman Loke dan wiraswasta LM Rusdianto Emba. Kedua dugaan tersangka ini diduga menerima suap dari Bupati Kolaka Timur nonaktif Andi Merya Nur untuk persetujuan pengajuan pinjaman dana PEN. Adapun Jumlah suap yang diterima disebut-sebut mencapai Rp 2,405 miliar. Namun berdasarkan berita terakhir, malah dugaan tersangka menjadi tiga yaitu mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Mochamad Ardian Noervianto (MAN), Bupati Kolaka Timur Andi Merya Nur (AMN), dan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara Laode M Syukur Akbar (LMSA).

Pasal yang dilanggar

Jadi atas perbuatannya, tersangka Mochamad Ardian Noervianto dan Laode M Syukur Akbar sebagai penerima disangkakan dijerat karena melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b (Suap oleh PNS karena jabatannya) atau Pasal 11 (tipikor suap oleh PNS) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP (Pasal mengenai turut serta melakukan tindak pidana dijerat juga sebagai pelaku tindak pidana dan mendapatkan hukuman yang sama dengan pelaku utamanya). Ancaman hukumannya maksimal 5 tahun penjara dengan denda paling banyak 150 juta rupiah untuk Pasal 11, sedangkan apabila terbukti melanggar pasal 12 maka tersangka dapat dijerat dengan ancaman hukum 20 tahun penjara maksimal dengan denda maksimal 1 miliar rupiah.

Sedangkan tersangka mantan bupati yakni Andi Merya Nur sebagai pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 (pihak yang memberikan suap kepada PNS karena jabatannya dan kedudukannya) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Ancaman hukumannya maksimal 5 tahun penjara dengan denda paling banyak 150 juta rupiah.

Apa sih Masalah dalam pengelolaan dana PEN?

Jadi sesungguhnya penyalahgunaan dana PEN sangat menjadi perhatian besar khususnya bagi lembaga anti rasuah. Akan tetapi sayangnya pengelolaan dana PEN masih kurang transparan sampai saat ini. Padahal anggaran dana PEN itu sangatlah besar yakni mencapai Rp 744,77 triliun dengan serapan 88,4% atau Rp 658,6 triliun pada tahun 2021. Sedangkan pada tahun 2022, anggaran PEN turun menjadi Rp 455,62 triliun. Adapun besaran total anggaran PEN diumumkan dalam website Kementerian Keuangan, akan tetapi rincian rencana, penggunaan, pertanggungjawaban, dan evaluasi-nya tidak dipublikasikan. Begitu pula informasi daerah yang mengajukan pinjaman dan mendapatkan pinjaman dana PEN sampai saat ini masih minim informasi.

Selain itu, fakta dilapangan juga tidak ada pedoman dan standar minimal untuk secara periodik memonitor, menilai, dan mengevaluasi implementasi program dana PEN sehingga menyebabkan minimnya pengawasan. Selain itu adanya ketidakjelasan masa pelaporan penggunaan dana PEN juga memberikan masalah. Meski masa pelaporan diatur dalam perjanjian pinjaman, laporan kemajuan program semestinya disampaikan secara berkala dan terbuka dengan waktu yang pasti, misalnya per triwulan, semester, dan sebagainya. Semua serba tidak jelas.

Memang Kementerian Keuangan sudah membentuk PMK No. 75 tahun 2020 tentang Pedoman Pengawasan Pelaksanaan Program PEN sebagai bentuk instrumen pengawasan. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa peran APIP dalam merencanakan, melaksanakan, dan melaporkan pengawasan pelaksanaan PEN kepada Menteri Keuangan c.q Inspektorat Jenderal. Akan tetapi, pengawasan tersebut hanya mencakup pengawasan PEN secara umum, tidak spesifik menyebut atau mengatur mengenai pinjaman PEN ke daerah. Seharusnya Pengawasan pinjaman PEN ini seharusnya dilakukan secara lebih spesifik, sistematis, dan melibatkan pihak lain, seperti Kemendagri misalnya yang harusnya menjalankan fungsi pembinaan pemerintahan dan keuangan daerah dan publik.

Intinya Transparansi penerimaan dan pengelolaan dana PEN daerah dan nasional adalah kunci pelibatan publik dalam pengawasan dan akan menjadikan pemanfaatan dana PEN lebih efektif dan transparan. Untuk mengetahui mengenai permasalahan dana PEN, silahkan baca artikel saya yang berjudul Analisis efektivitas PMN dalam mendorong peningkatan kinerja dan kesehatan keuangan BUMN.

About the Author

Obbie Afri Gultom, SH, MA, LLM, CHFI, is the Editor-in-Chief at "Gultom Law Consultants", now a part of Gading and Co, a leading firm in corporate management and consulting. A graduate of Erasmus University Rotterdam in 2019 through the StuNed scholarship program, he completed his Master of Law at the University of Auckland in 2022. With four years of experience in Corporate Business Law, including two years in the private sector and two years in a law firm, along with nine years in State Financial Law and Public Audit as an Auditor, Obbie possesses deep expertise in contract writing and review, legal research, merger and acquisition processes, corporate management, Good Corporate Governance (GCG), and public auditing. Additionally, he has three years of experience as a Development Policy Researcher at Erasmus University Rotterdam. For professional services, Obbie Afri Gultom can be contacted via WhatsApp at 08118887270.

Author Archive Page

Comments

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini