Subjektivitas Hukum Jarang Menjerat Artis Pelaku Prostitusi Online dengan UU ITE

Kata orang, yang namanya prostitusi bukan “barang baru” di dunia ini. Mungkin yang namanya seks berbayar ini, umurnya sudah setua dunia.
Ada banyak modus yang digunakan para penjaja seks komersial (PSK) dalam menjerat para pelanggannya. Dalam aksinya ada yang menggunakan modus “barang baru”, mengaku sebagai mahasiswi, cewek hijab ataupun bocil alias bocah cilik. Terkadang ada yang mengaku sebagai suami yang menjual isteri dan ada juga yang menawarkan model atau seorang artis. Semua itu tujuannya hanya satu, yakni menaikkan nilai transaksi di mata konsumennya.

Di Indonesia, usia prostitusi pun sudah sangat tua, mungkin usianya keberadaan seks berbayar ini lebih tua dari usia negara kita. Hal ini dapat kita lihat dari sejumlah referensi yang ada, karena ternyata prostitusi sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka.
Dalam sebuah buku bertajuk “Bandung di Waktu Malam” karya Soe Lie Piet (ayah Soe Hok Gie), misalnya, yang namanya “dunia malam” sudah tercatat sejak tahun 1930an. Buku ini bercerita bagaimana kehidupan Kota Bandung pada saat malam datang menjelang. Itu sebabnya mengapa kemudian Kota Bandung dikatakan sebagai Parisj van Java, karena kegelamorannya.

Penelitian Wakhudin dalam tesisnya bertajuk “Proses Terjadinya Degradasi Nilai Moral pada Pelacur dan Solusinya, Program Studi Pendidikan Umum, Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung yang dikutip Sindonews, 7 Juni 2019, disebutkan praktik prostitusi telah ada sejak zaman kerajaan di Jawa. Hanya saja motifnya belum uang, tapi lebih ke kekuasaan atau jabatan atau sekadar upeti belaka.
Namun pelacuran di tanah air semakin marak ketika masuknya Belanda ke tanah air. Kondisi ini terjadi demi untuk memenuhi kebutuhan seks masyarakat Eropa, khususnya para tentara Belanda. Pada 1852, kegiatan prostitusi itu “kian kuat” setelah pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan baru yang menyetujui komersialisasi industri seks tapi dengan serangkaian aturan khusus.

Dalam prakteknya, sejak zaman dahulu para penjaja seks ini menawarkan “jasanya” di lokalisasi prostitusi kota-kota besar, di tempat-tempat dugem seperti karaoke atau diskotik, di hotel-hotel atau bahkan pinggiran jalan. Ada yang menawarkan diri secara langsung ada yang pakai perantara (mucikari). Namun rata-rata dalam setiap transaksi seks ada penjual (pelacur), broker (mucikari) dan pembeli (pengguna jasa).
Seiring dengan perkembangan zaman, dunia prostitusi tak lagi melulu mengandalkan transaksi secara tradisional. Sekarang dunia prostitusi juga memanfaatkan perkembangan teknologi, yakni memanfaatkan jejaring sosial seperti Facebook, twitter, instagram atau Mi-chat. Kini para PSK menjajakan diri menggunakan media sosial.

Kalo kita mau iseng-iseng “berselancar (brouwsing)” di dunia maya, kita akan menemukan ada banyak sekali layanan seks berbayar ini. Ada yang tarifnya ratusan ribu, hingga ada yang jutaan, bahkan puluhan juta. Ada layanan PSK bocil hingga STW (setengah tua). Ada layanan single ada juga yang dilayani couple (pasangan). Artis-artis juga ikut menjajakan tubuh moleknya kepada para pria hidung belang via dunia maya. Konon sebagian artis-artis ini memanfaatkan keartisannya sebagai “nilai jual” transaksi mereka. Tarifnya ada yang hanya Rp 20 juta, tapi ada juga yang dibayar Rp 150 juta sekali booking. Itu sebabnya jangan heran kalau ada artis yang jarang muncul, tapi kehidupannya demikian glamor.

Yes, the increasing discontent in married or dating couples can be pointed towards cialis without prescription find now the fact that either one of them is not able to satisfy their lovers. It not only causes embarrassment at cheap viagra 100mg front of the ear continuing up into the hairline. When this happens, the gallbladder becomes hard and erect with achat viagra pfizer firm erection. Some common benzodiazepines tadalafil from cipla are diazepam, lorazepam and alprazolam.

Maka jangan heran juga kalau dalam beberapa tahun ini sejumlah artis terjerat kasus prostitusi online dan harus berurusan dengan aparat penegak hukum. Yang teranyar menimpa artis VS yang ditangkap di Lampung berikut muncikarinya. Sebelumnya kita tentu masih ingat ada artis HH yang ditangkap di Medan dan ada juga artis JD, VA , HKK, AA, TM, NM, PR, AS, FNJ dan masih banyak lagi.

Sayangnya memang hukum di Indonesia masih sangat lemah dalam penanganan kasus-kasus pelacuran sehingga para artis ini kemudian banyak yang dapat “melenggang” tenang karena terbebas dari jeratan hukum. Beberapa malah kemudian dicap sebagai “korban”, padahal untuk kasus serupa yang menimpa “pelacur biasa” tak segampang itu menstempel mereka sebagai korban dalam praktek prostitusi. Lebih lucu lagi, ada sopir ojek online dijerat hukum, sementara artisnya bisa lolos.
Sebagai catatan, hukum Indonesia memang hanya menjerat mucikari sebagai pelaku kejahatan seks komersial. Para pelaku praktek muncikari rata-rata akan dijerat dengan Pasal 296 KUHP jo Pasal 506 KUHP tentang muncikari dengan ancaman hukuman penjara 1 tahun 4 bulan.

Sementara pejaja seks (pelacur) dan pemakai jasa (konsumen) biasanya akan terhindar dari jerat ini. Kalau pun ada, pemakai (konsumen prostitusi) yang dijerat hukum, paling-paling mereka hanya akan dikenakan pasal 284 KUHP tentang perselingkuhan. Celakanya pasal ini adalah delik aduan, artinya jika tidak ada yang mengadukan mereka tak akan bisa terjerat hukum. Selain itu kalau mereka belum berkeluarga (isteri/suami), maka mereka akan lepas dari pasal tersebut.

Kalau mau jujur, para pelaku bisnis prostitusi online ini bisa saja dijerat dengan Pasal 27 ayat (1) UU ITE yang berbunyi “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan” serta Pasal 45 Undang-undang ITE yang berbunyi “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”

Namun sampai sejauh ini hukum di Indonesia masihlah bergantung pada subjektivitas penyidiknya. Kalau penyidiknya menganggap perlu, maka pasal-pasal itu dapat saja dijeratkan pada para artis yang menjalankan profesi sebagai “pekerja seks” via online tadi. Tapi jika si penyidik merasa para artis hanya korban, maka sebagai publik kita hanya akan menjadi penonton saja.

Comments

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini