Pantaskah Tiga Jenderal Jadi “Tumbal” Drama Djoko Tjandra?

Sebagian besar masyarakat Indonesia mungkin sudah mulai lupa dengan mega skandal Bank Bali yang mencuat tahun 1999 lalu. Ya, dalam kasus ini negara merugi sebesar Rp 940 miliar dengan tersangka utama Djoko Tjandra yang dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam perkara pengalihan hak tagih piutang (cessie) Bank Bali.

Pada kasus ini, Djoko sempat lolos dari jerat hukum Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, sebelum akhirnya Makamah Agung menjatuhinya hukuman 2 tahun penjara pada Juni 2009 lalu. Tapi sebelum vonis diekeskusi, yang bersangkutan malah buron hingga akhirnya beredar kabar bahwa Djoko Tjandra berada di Papua Nugini dan menjadi warga negara di sana.

“Yang bersangkutan (Djoko S Tjandra) berada di luar negeri dan pindah kewarganegaraan. Tentu akan ditindaklanjuti proses meminta pertanggungjawaban yang bersangkutan terkait dengan kasus yang sekarang dihadapinya,” ujar Juru Bicara Kepresidenan Julian Pasha ketika itu seperti dikutip Harian Kompas, 19 Juli 2012.

Kasusnya pun jadi simpang siur, tak ada yang tahu secara pasti dimana Djoko Tjandra berada. Apa di Papua Nugini atau di Singapura seperti yang diyakini beberapa kalangan?

Setelah keberadaannya seperti menghilang “ditelan bumi” selama beberapa tahun, pada Juni 2020 tiba-tiba drama kasus Cassie Bank Bali seperti dirilis ulang kehadapan publik tanah air. Djoko Tjandra tiba-tiba muncul di tanah air untuk mengajukan Memori Peninjauan Kembali (PK). Ini sebuah langkah berani, karena dengan mengajukan langkah hukum ini, otomatis “Joker” (biasa Djoko disebut kalangan media) harus muncul ke permukaan. Resikonya jelas, sebagai buronan tentu jika sistem negeri ini bagus, dengan mudah Djoko bisa ditangkap.

Tapi nyatanya tidak, Djoko bisa bebas berkeliaran di tanah air dengan berbekal dua surat sakti yakni “surat jalan” dan “Surat Bebas Covid” yang justru dikeluarkan lembaga penegakan hukum sekelas Mabes Polri. Padahal sebagai buronan, Polri jelas berwenang untuk menangkap dan memenjarakannya.

Usut punya usut, Djoko nyatanya tak hanya berbekal dua surat sakti tadi, dia ternyata juga mendapatkan rekomendasi (lagi-lagi dari Polri) tentang pencabutan status “red notice” miliknya dari catatan interpol. Itu artinya, Djoko Tjandra bukan buronan interpol lagi. Direktur PT Era Giat Prima ini bisa bebas keluar masuk beberapa negara tanpa khawatir diciduk Interpol.

Ini tentu membuat Kapolri Jenderal Idham Azis dan Kabareskrim Komjen Listyo Sigit berang. Pasalnya lewat kasus ini kepercayaan publik yang mulai tumbuh kepada korps Bhayangkara ini bisa merosot tajam. Buntutnya reputasi Polri pun akan “jeblok” di mata publik.

Melalui Surat Telegram (TR) Kapolri bernomor ST/1980/VII/KEP./2020 tertanggal 15 Juli 2020, Brigjen Prasetyo Utomo sebagai oknum pemberi surat jalan dicopot dari jabatan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (Karo Korwas) Bareskrim Polri. Bahkan yang bersangkutan juga harus menjalani sidang etik dan kemungkinan bisa dijerat secara hukum.

Langkah Kapolri tak sampai di situ, Mabes Polri pun melakukan investigasi lanjutan termasuk soal hilangnya catatan “red notice” milik Djoko Tjandra pada lembaga interpol. Hasilnya, dua jendral lain yakni Brigjen Nugroho Slamet Wibowo yang menjabat Sekretaris National Central Bureau (Ses NCB) Interpol Indonesia dan Irjen Napoleon Bonaparte sebagai Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadivhubinter) Polri dicopot melalui Surat Telegram Kapolri dengan nomor ST/2076/VII/KEP/2020 yang dikeluarkan Jumat (17/7/2020).

Bagi saya pribadi langkah Kapolri mencopot tiga jenderal ini adalah sebuah langkah “berani”, apalagi jika nanti sampai memproses ketiganya lewat jalur hukum yang resmi. Mungkin Pak Idham Azis akan tercatat sebagai Kapolri yang rela mengorbankan tiga jenderal demi menjaga marwah institusinya. Paling tidak, usaha Kapolri ini bisa “mengikis” satir publik yang menyebutkan hanya ada tiga polisi yang baik, yakni Hoegeng Imam Santoso (Kapolri kelima yang terkenal bersih), polisi tidur dan patung polisi.

Namun yang jadi pertanyaan apakah ketiga jenderal pantas menjadi “tumbal” bagi seorang buronan macam Djoko Tjandra? Berapa besar kerugian negara yang disebabkan oleh buronan kasus Cassie Bank Bali ini?

Secara materiil, Djoko Tjandra memang hanya merugikan negara sebesar Rp 940 miliar dan mungkin ratusan juta untuk biaya “subsidi” pemerintah bagi pendidikan ketiga jenderal ketika masih duduk di bangku perkuliahan Akademi Kepolisian (Akpol). Tapi ironisnya, apa yang dilakukan Djoko Tjandra justru telah menginjak-injak martabat lembaga Polri pada khususnya dan lembaga penegakan hukum tanah air pada umumnya. Sehingga kerugian negara secara imaterial jauh di atas nilai tersebut.

Maka saya menilai pencopotan ketiga jenderal ini adalah sebuah keniscayaan yang harus dilakukan. Sehingga harkat dan martabat Polri tetap baik di masyarakat. Jangankan hanya tiga jenderal, separuh jumlah jenderal yang ada di Polri pun harus bisa ditindak jika hal itu mencoreng wajah korps baju coklat ini. Sebab jangan sampai lembaga Polri mengalami nasib seperti pepatah karena “nila setitik, rusak susu sebelanga”. ()

About the Author

menghabiskan sebagian karirnya sebagai wartawan dan redaktur di sejumlah media massa nasional (Sinar Harapan, MATRA dan Indopos). Konsultan Publik Relation terutama berkaitan dengan kasus lingkungan. Pemerhati dan penggiat sastera Melayu Tionghoa.

Author Archive Page

Comments

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini