Memahami Kontroversi Tengku Zulkarnain Dalam sudut pandang Postkolonial

While it is still safer than levitra prescription on line in the past. These FDA approved medications have a strict quality control buy viagra process to ensure and maintain industry grade quality and performance. Many men suffer from erectile dysfunction pill sildenafil and cannot perform in bed. A poor sex drive is the single biggest complaint by females, and up to 40% of them complain about it. cialis without rx

Kontroversi Tengku Zulkarnain dengan tweet offensif berikan kesan memusuhi kelompok di luar golongannya. Tapi itulah kurang lebih yang jadi gambaran muslim kolot atau islamist, pada sesama anak bangsa di Indonesia. Permusuhan itu muncul dari insecuritas, minim dialog, kalah persaingan.

Lebih nahas lagi dalam cara islamist, mengejar kekuasaan selalu mengandalkan kredo satu agama =satu suara. Kenyataan tidak demikian, mayoritas muslim menganggap suara = masa depan. Atau stidaknya suara = better life. Dimenangkannya Jokowi, merupakan satu jawaban bahwa demokrasi ini masih memakai rasio dibandingkan proksimitas agama.

Insecurotas juga pandangan bahwa muslim harus memilih muslim membuat para islamist ini miskin gagasan, miskin breakthrought, minim leadership untuk akhirnya kembali termarjinalkan bahkan walau Indonesia mayoritas muslim, mereka tidak pernah memenangkan Indonesia kecuali pada sebagian wilayah yang terkena bencana dashyat, seperti Aceh, Palu, Lombok atau Sumatera Barat. Karena bencana masih digambarkan sebagai murka Tuhan alih-alih fenomena alam rutin.

Berharap Tsunami Semua?

Sehingga ada kredo setengah seloroh jika islamist ingin menang pilpres maka berharaplah seIndonesia merata terkena tsunami semuanya. Tapi siapa juga yang mau memimpin di atas puing-puing. Pada  lautan onggokan mayat. Lalu membangun dari hutang bantuan luar negeri karena bencana?

Sebaliknya mendasarkan diri pada kredo tersebut di mana hanya segelintir wilayah Indonesia yang “diuji” Tuhan, memberi arti bahwa Tuhan lebih merestui kepemimpinan sekuler di tanah air dibandingkan yang Islamist. Tuhan menyukai Jokowi oleh karenanya seluruh Indonesia tidak ditenggelamkan ke dasar laut seperti nasib atlantean.

Bahkan di tengah pandemi ini keajaiban Tuhan sellau menaungi pemerintah, betapa rakyat yang sangat tidak disiplin seperti di Amerika Serikat tidak lantas menjadikan Indonesia bergelimpangan korban Corona seperti di nega Donald Trump itu. Atau mungkin belum, atau pemerintah tetap bergerak cepat, kita tetap berharap yang terbaik.

Selalu Terjebak Ke Lubang Yang Sama Seperti Dhab

Kembali ke laptop Banyak yang menyatakan bahwa perubahan watak umat Islam dari kelompok religius yang dominan menjadi kelompok marjinal yang tidak mampu berdiri sendiri karena ketergantungan pada konsep khalifah trah atau lebih tepatnya daulah.

Padahal khilafah sebagai suatu sistem bersifat tambal sulam sehingga tidak ada satu patron pun yang meninheritensi sebagai suatu pakem. Masa khulafaur rasyidin misalnya, sistem yang digunakn slealu berbeda, dari mulai oligarki kecil, delegasi, permufakatan, hingga suara terbanyak, sementara suara yang mangkir memberontak. Setelahnya digunakan sisitem daulah atau kerajaan di mana kepemimpinan turun temurun berdasarkan trah.

Dari mulai  Muawiyah, Abbasiyah, Seljuk, Fathimiyah, Ayubiyah, lalu Usmaniyah di Konstantinopel berbarengan dengan Timuriyah di Samarkand. Daulah beakhir dengan runtuhnya usmaniyah. Apa yang membuat runtuh Usmaniyah masih kontroversial, ada yang bilang semata pemberontakan, tapi bagaimana mungkin semata pemberontakan Turki muda bisa didukung oleh hampir seluruh povinsi dalam kekuasaan Usmaniyah? Menyalahkan pihak luar tidak melihat kapasitas diri sendiri itulah yang menjadikan Islamist tetap menjadi penonton di pinggirann kekuasaaan.

Kolonialisme mata uang

Menilik lebih ke dalam sisi korup kesultanan pada abad 20 tidak terselamatkan lagi, karena Usmaniyah menggunakan mata uang asing di wilayah  kekuasaannya. Yang digunakan adalah ducat atau florin sebagai bagian dari upeti agar Venezia dan wilayah Florence pada umumnya tidak dijajah. Banjir upeti dalam bentuk mata uang asing memenuhi kesultanan, sehingga tidak ada kemandirian mata uang lagi.

Venezia merupakan kota lahirnya bank, pusat dagang dunia dari masa pertengahan, rennaissance, hingga menjelang abad modern. Kota tersebut teramat sangat kaya sehingga bisa menentukan mata uang dunia. Florin setidaknya digunakan hampir dua pertiga eropa pada masa rennaissance. Florin turut juga membanjiri Turki Usmani mengalahkan qirsh, awalnya upeti berakhir dagang yang menguntungkan.

Pada saat florin berubah menjadi lira, mata uang Usmaniyah juga ikut berubah jadi lira Italia. Saat Italia memihak Inggris pada perang dunia pertama, Doge Italia membekukan aset keuangan Turki di bank-bank yang ada. Kas negara kosong, daerah kekuasaan Turki tidak lagi menerima uang pembangunan, masyarakat resah. Akhirnya memberontak, tanpa ada barisan yang mendukung kesultanan kembali.

Wilayah kekuasaan dunia Islam paska usmani secara menyedihkan dikotak-kotakan juga bukan oleh kolonialisme semata tetapi oleh mata uang. Di Maroko aljazair hingga tunis, umum digunakan franc.  Sementara di wilayah Arab pusat, dari Mesir, mesopotamia, hingga hijaz awalnya gunakan florin dengan cap Inggris, lalu poundstering, shilling, dari pound berubah menjadi riyal.

Kebangkitan Turki Erdogan

Islamis lalu jengah dengan situasi serba marjinal, mereka lantas menunggangi isu tidak kompetennya pemerintahan sekuler sejak Tansu Ciller naik kekuasaan di akhir abad 20. Gelombang islamisme menyambut fajar baru umat Islam dan keberanian Iran menghadapi embargo AS dipimpin pemimpin muda Ahmadinejad. Turki sebagai negara tetangga tidak mau kalah, ingin sodorkan versi islamist muda dalam bentuk Erbakan. Tetapi Erbakan terlalu lugu, tidak merangkul sekulerisme.

Akhirnya tidak mau jatuh dalam perangkap lubang dhab, islamist turki merangkul semua golongan termasuk kaum transgender yang sempat dimarjinalkan, kekuasaan dan kepercayaan militer sekuleris di dapat. Karena Erdogan juga ingin sekuleris tetapi jadi pandangan utama bangsa Turki. Erdogan menolak menjadi kadal gurun atau Dhab.

Di Indonesia fenomena turki tidak akan pernah terjadi sekeras apapun mereka mencoba. Karena (patut disyukuri), para pemukanya menunjukkan kebencian terang-terangan pada perbedaan, konrtoversi Tengku Zulkarnain yang sekarang dipanen di sosmed menunjukkan bahwa Islamist masih jauh dan sangat jauh untuk bisa memerintah di negeri ini.

Jurus Dewa Mabuk Rocky Gerung

Kemunculan orang seperti Tengku Zulkarnain, atau kelompok 212, yang dikompori dengan cendikia oleh Rocky Gerung menumpulkan gerakan islamist itu sendiri. Gerung mungkin akan terlihat sebagai orang bingung. Tapi seorang ahli filsafat seperti dirinya mampu menyelamatkan sekulerisme yang dia nikmati dengan caranya sendiri, yakni terus mengompori kelompok Islamist agar terus salah paham, seta tidak menjadi Erdogan Erdogan berikutnya.

Dengan kata lain, dari sudut pandang postkolonialis, kontroversi tengku zulkarnain itu bagian dari proses dekoloniasi yang sukses. Bagaimanapun walau sekian banyak orang menjadi pengikutnya, mereka seperti pengikut sultan terakhir Usmani, hanya didorong oleh emosi sesaat. Mereka mudah patah jika pembangunan makin berhasil, karena tidak ada alasan untuk discontent lagi dengan pemerintahan sekuler.

About the Author

Jurnalis asongan, pengais setiap rizki halal, penitip setiap doa baik di dunia. Politisi yang menunggu dikarbit. Kyai kantong bolong. Lahir di dusun kecil Jalancagak, tinggal di dusun kecil Jalancagak. Berharap menutup hari tua di dusun kecil Jalancagak.

Author Archive Page

Comments

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini