Jeruji Netizen Pada Hukum Dan Ham

Malang melintang bersama berdirinya Republik Indonesia sepanjang 74 tahun, Departemen Hukum dan HAM merupakan departemen yang paling misterius dari semua departemen portofolio di Indonesia. Departemen Hukum dan HAM, sepanjang masa pengabdian itu di pimpin oleh 30 Menteri, dan yang setingkat menteri. Artinya setiap rata-rata 3.5 tahun sekali terjadi pergantian menteri.

Inilah satu-satunya departemen di mana menteri yang rata rata pekerjaanya paling singkat  di republik ini. Menarik kan? Tentu saja menarik, karena orang sepanjang ingatan mereka selalu mengenal menteri kehakimannya. Salah satu dari lima jabatan eksekutif populer yang barangkali disebut untuk kali kelima setelah menteri dalam negeri, luar negeri, keuangan, pertahanan, lalu menkumham.

Kementeriannya Peradaban

Pada Departemen Hukum dan HAM, kepentingan yang digoreskannya merupakan garda depan dari titik balik peradaban bangsa ini. Mau ke mana Indonesia berada? Maka perhatikanlah departemen yang menaungi para hakimnya. Seorang presiden pasti akan bergantung dan memastikan orang yang menguasai dan memperkarakan para pelaku kriminal adalah sosok yang tepat di mejanya.

Terlebih ketika pelaku kriminal merupakan orang terkuat dari sisi bisnis maupun politik. Presiden yang baik akan menganggap bahwa ‘menikahi’ seorang Menteri Hukum dan ‘menggaulinya’ dengan baik, akan mensuksesan termnya. Tentu saja idiom itu hanya berlaku bagi seorang presiden yang visioner yang memahami bahwa hukum setipis apapun pilarnya, dan selemah apapun penjaganya harus tegak.

Jika Departemen Hukum dan HAM ternyata bisa di gadaikan dan bisa dibeli, maka itulah saat kehancuran suatu negara. Hukum di remehkan, orang tidak percaya aparat, mereka pun tidak percaya pada negara. Lalu apa pentingnya bernegara dan patuh pada aparat nir wibawa yang mau berdiri seenaknya di atas hukum?

Oh tentu saja Departemen Hukum dan HAM masih berwibawa, kita masih punya hakim yang pemberani, kita masih ada KPK, dan tidak semua jaksa bisa di beli. Namun, bila mencermati dari sudut pandang politik saat ini, orang wajib cemas terhadap apa yang terjadi. Sehingga ungkapan negeri ini negeri hukum, kita ucapkan dengan bibir bergetar, tanpa senyum.

Politik dalam Departemen Hukum dan HAM

Waktu muda saya membayangkan bahwa departemen Hukum dan HAM  adalah entitas yang menjaga agar entitas kementerian lain tidak bocor. Barangkali inilah departemen yang dipandang paling tidak menarik. Yang tidak berkaitan dengan pembangunan. Tidak basah seperti departemen lain, kurang ramai dengan obyekan yang bersifat membangun sesuatu atau berbau investasi.

Anehnya, setiap membaca kolom demi kolom koran, kadangkala saya jadi bodoh sendiri. Betapa banyak kasus suap terungkap melibatkan jasa dan hakim. Betapa marak kisah penegakkan hukum yang digambarkan timpang. Betapa perih masa muda lugu saya dikoreksi, dipreteli keyakinan lugu itu oleh kasus-kasus yang menyeruak. Belum lagi, soal dualisme partai, yang ujungnya adalah Kemenkumham.

Pada era jokowi menteri hukum lebih dipandang sebagai posisi politis dibanding hukum. Ada ranjau distrust, orang tidak berpikir lagi bahwa ini tentang hukum dan keadilan. Tapi tentang tatanan politik yang ikut menerpa hukum dan keadilan. Siapa yang dikurung, bukan lagi kriminal umum, tapi lebih pada kriminal politik. Termasuk yang tawuran politik berebut kursi petinggi partai.

With respect to individual state, the dosage can be increased to a maximum recommended dose of 100 ,g, or decreased to 25 mg. ask your health care provider any questions may have about how to viagra sales uk use the Amazon superberry. It may not be obvious to buy line viagra the individual. The term ‘sclerosis’ levitra from canada actually means scarring, and ‘multiple’ relates to the fact that the scarring can occur in many different places in the site. All above, don’t worry if you affect IC, take diuretic anti-inflammation pill or some other the buy cialis medicine under doctor’s guidance, and be more careful about reaching out for their glasses.

Harapan kita, Kemenkumham bisa berdiri netral dan melihat bagai dewi keadilan, pada kisruh politik yang menguntungkan suatu golongan dan menyisihkan yang lain. Dengan demikian wibawa jabatan yang kental birokrasinya seperti menteri kehakiman, berkurang afirmasi politisnya.

Hukum vs Sosial Media

Tapi ada lini yang sangat menyebalkan yang selama ini telah menggantikan peran pengadilan. Yakni sosial media. Kita semua sudah memahami bahwa komentar orang di sosial media tidak terlepas dari hukum dengan adanya UU ITE.  Ajaibnya, banyak permasalahan pidana dan perdata (yang kebanyakan juga politis) terungkap di sosial media dan bisa diselesaikan stalmate antara dua pihak yang bertikai, di sosial media juga. Ngakak hard.

Pada porsi macam itu, kemenkumham berhenti pada mitos baba yaga, atau sesuatu yang dimitoskan menakutkan bagai hantu. Tidak jarang juga para aktivis sosmed, buzzer, dan netizen saling serang dengan menitip tagar:

@divisihumaspolri

Tagar di atas, memberi arti perkelahian sosial media ini harus berakhir di meja pengadilan. Tapi diyakni meskipun ada perangkat hukumnya, Kemenkumham, tidak ingin terbelenggu oleh kekonyolan para netizen yang norak itu.  Yang dengan mudah lapor melaporkan pada urusan sama-sama konyol. Walau melanggar hukum.

Netizen sering mengatasnaman akyat berharap hukum tegak di tegakan, hukum harus bisa digiring, didaring, memberikan tanggapan, melibatakan aparat negara lewat saluran yang MESTI dan wajib memberikan kolom komentar. Facebook, twitter, memang mengharpkan bahwa aparat hukum ikut berkomentar dengan galak. HEI INI LANGGAR HUKUM. Agar satu dan dua pelaku kriminal ITE jerih.  

Tapi sekali lagi, netizen adalah netizen. Mereka bukan rakyat umum yang butuh perlindungan karena situasi tidak normal. Netizen kebayakan menciptakan normalitas perkara mereka sendiri. Hasil adu mulut yang berakhir pada “kelepasannya” orang-orang yang melanggar UU ITE atau KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan. Netizen membuat perangkap laba-laba antar sesama, di mana aparat diminta jadi laba-laba yang menerkam hasil tangkapan itu.

Haruskah menjadi Departemen Kepuasaan Hukum? Ya Tapi Tidak Untuk Netizen

Jelas sama sekali itu tidak benar. Aparat hukum bukan gojek, Kemenkumham bukan admin gojek. Bisa dipesan kapanpun mau. Walau tugas kemnenterian dan aparat hukum adalah to serve, to protect. Tapi bukan untuk netizen yang cari kelahi.

Departemen Hukum dan HAM, harus lepas dari ketidakpercayaan masyarakat, tentang apa yang tersisa dari mereka di mata harapan keadilan, tapi juga tidak harus memperturutkan nafsu mereka yang terpolar dan bipolar. Aparat hukum dan parat pengadilan harus mampu mendudukan netizen yang bodoh. Menghukum kriminalitas kecil, seperti menghina presiden dan lambang negara dengan mendidiknya lebih baik.

Sehingga diharapkan sikap warga kepada hukum kembali tumbuh cinta bagaikan cinta platonik. Tegaknya keadilan membuat departemen ini jadi departemen kepuasan hukum. Aparat dan warga bisa bersama-sama, walau tidak selalu satu hati, tapi saling menjaga dan mengabari, dan membisiki: “Ada UU nya, jangan dilanggar yo cak”.***

About the Author

Jurnalis asongan, pengais setiap rizki halal, penitip setiap doa baik di dunia. Politisi yang menunggu dikarbit. Kyai kantong bolong. Lahir di dusun kecil Jalancagak, tinggal di dusun kecil Jalancagak. Berharap menutup hari tua di dusun kecil Jalancagak.

Author Archive Page

Comments

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini