Mengapa Kita Tahu Sedang Diadu Domba Tapi Malah Menikmatinya

Adu domba istilah itu telah digunakan dalam berbagai konteks perselisihan selama berabad-abad di dunia.  Orang barat menyebut istilah ini dengan makna double cross. Atau salib yang bersilangan ganda pada abad pertengahan setelah perang salib. Sebuah ‘silang ganda’ menggambarkan penipuan di mana dua pihak berkolusi dalam penipuan itu.

Adu domba mirip-mirip dengan kasus ‘agen ganda’, agen yang menjual dua cerita kepada dua klien yang berbeda demi melemahkan kondisi mereka. Di masa abad kegelapan, biasanya agen ganda disusupkan para jenderal ke tentara musuh musuhnya, agar di antara mereka saling menyerang.

Di Indonesia setidaknya kita sebagai bangsa, pernah merasakan pahitnya istilah adu domba. Adu domba pernah dilakukan penjajah kolonial Belanda, untuk melemahkan kekuatan suatu kerajaan di Nusantara, lantas kemudian hari mereka akan menganeksasinya. Adu domba dilakukan karena merupakan tindakan yang murah meriah dalam menguasai dengan cepat wilayah yang dahulu di kenal sangat kuat, dan tidak pernah di jajah oleh bangsa besar, dari China hingga India.

 Namun orang kulit putih Eropa, yang datang dengan beberapa Caravel (kapal layar), dan beberapa ratus personel mampu mengacak-acak kekuatan bangsa ini. Bukan karena kecanggihan senjata mereka. Bukan karena keahlian mereka dalam perang (mengingat para tentara sewaan Belanda/VOC itu merupakan veteran perang 80 tahun), melainkan karena mereka gunakan taktik divide it impera, alias adu domba membagi-bagi dan mengompori raja dan rakyat, untuk saling memberontak.

Dari Eropa Ke Asia Lewat Rumor

Mengapa Belanda melakukan itu? Karena mereka juga korban dari hal demikian. Sejarah peperangan Eropa tidak lepas dari taktik kotor adu domba selepas perang salib. Sebelumnya, perang memerangi antara bangsa satu dengan bangsa lainnya, berjalan tradisional. Datang rempug atau pillaging, praktik datang rempug itu hal biasa, Romawi kuno pun menggunakannya dengan istilah Veni, Vidi, kami datang lalu taklukan.

Praktik kuno pillaging berubah sejak perang salib. Atau lebih tepatnya, dihentikan dengan jalan perang salib, pada saat Pope Urbanus II ingin menghentikan pillaging antar sesama Eropa, lalu membuat praktik itu berjalan di Timur Tengah.

Selepas perang salib, para tentara Salib belajar saling mengkhianati dan saling menikam dari belakang, sebagaimana kebiasaan di Timur. Pengkhianatan orang dekat, adu domba, adalah hal normal di Timur Tengah. Orang Eropa medieval lantas mempelajari taktik baru. Tidak perlu menggelar tentara besar untuk menguasai suatu negara. Cukup menggelar para agen ganda saja, dan coba buat perpecahan dan keributan, membuat banyak negara saling serang, dan hal itu akan menjadikan Anda semakin kuat sementara lawan semakin lemah.   

Dapat dikatakan Roman Three Musketeers, menjelaskan lebih gamblang tentang adu domba sebagai permainan konflik. Lord Buckhingham, mengadu Kardinal vs Raja.  Perancis perang saudara, Inggris reguk keuntungan. Kemudian di era Napoleon, Fouche mengadu domba Talleyrand dengan Napoleon, mengakibatkan jatuhnya kaisar pendek itu.

Adu domba di Tengah orang Biasa

Adu domba bukan hanya permainan para elite medieval. Adu domba juga berlangsung di kalangan orang biasa pada era merkantilis dan victorian kira-kira pada 1870, di Inggris. Terjadi praktik umum untuk menang perlombaan dalam bentuk merusak usaha orang lain, dan penipuan agar pengusaha konflik dengan pegawainya, atau pelanggannya. Perang adu domba modern itu di adaptasi dalam komunikasi politik (Dan Nimmo 1970) sebagai strategi Black Campaign.

Mencoba memenangkan perang, membuat perselisihan yang menguntungkan, terjadi di level koorporat vs warga. Para pemasar real estate di Amerika Serikat misalnya ikut-ikutan menggunakan taktik adu domba, untuk membuat harga properti menjadi sontak murah meriah. Caranya, dengan membayar satu agen ganda, agar terjadi perang antar geng dalam suatu lingkungan.

Perang antar geng yang berlarut-larut akan menjadikan warga sekitar lingkungan itu resah dan tidak betah. Akhirnya akan melepas properti dengan harga murah meriah. Karena nilai mahal suatu lingkungan, yakni ketenangan dan kedamaian tidak mereka dapati. Adu domba memang taktik kejam, brengsek, dan mengerikan.

Mengapa Kita Menikmati Adu Domba

Peter Beilharz, hingga J. Augusteijn, menyebut bahwa keserakahan  adalah jalur bebas hambatan menuju konflik. Imperialisme di satu sisi memegang peranan penting untuk konflik antar peradaban yang akhirnya memanjang pada konflik antar ras, kebencian kesukuan, SARA dan agama. Globalisasi melalui perdagangan dunia telah menempatkan pondasi awal bagi struktur konflik tanpa henti, dengan atau tanpa adanya adu domba. Hal itu berlangsung sejak lahirnya pelayaran antar benua dengan kapal-kapal besar.

Adu domba bukan dinikmati tapi tidak bisa dielakkan. Pada akhirnya, kita live with it. Hidup di tengahnya tanpa ada tombol on/off konflik yang dekat dengan jari kita. Peradaban manusia yang ingin memenangkan semua hal, atau glory, menjustifikasi penggunaan adu domba. Cara itu taktik murah meriah. Tapi masih saja terus dipraktikan, dan korbannya termasuk kita, masih saja mau jatuh terus menerus ke dalamnya.

Orang menikmati adu domba, karena perasaan menantang. Thrill, perasaan adrenalin yang muncul. Dari sebelumnya tidak punya alasan konflik, jadi nagih dan menginginkan konflik terjadi.

Menghindari Adu Doma Ala Zhuge Liang

Di tanah China sebelum masehi. Di era samkok tiga negara. Kisah adu domba merupakan makanan sehari-hari para warlords, dan menjadi penyulut perang tanpa henti di tanah cina. Sampai akhirnya datang satu tokoh hebat bernama Zhuge Liang yang menghentikan perang dan membabat habis kemungkinan taktik adu domba, dengan menggunakan prinsip tiga negara kuat yang saling mengawasi.

Taktik itu berhasil jika masing-masing juru taktik suatu negara tidak gegabah untuk menyerang satu negara saja, karena jika mereka gegabah menyerang, maka negara lain akan membokongnya. Dengan kredo anti adu domba yang terkenal. “Anda menyerang negara mereka kami akan menyerang Anda semua. Anda menyerang kami, mereka akan menyerang kita semua.”  

Sehingga setiap pihak tidak akan begitu bodoh untuk saling menyerang. Jika lantas ada yang beralasan. Mudah saja, serang saja dua negara sekaligus. Hal itu sudah dilakukan oleh Cao Cao, dan sejuta tentaranya berhasil dihancurkan pada pertempuran Tembok Merah. Setelah kematian Zhuge Liang, double cross atau adu domba kembali mewarnai sejarah China.  

Tentu saja, mereka  yang waras tidak akan jatuh pada perangkap adu domba. Mereka yang waras tidak menyukai konflik, tidak mendapatkan rasa nikmat ketegangan karena konflilk. Yang menyukai konflik, ingin mengawetkannya segera periksa ke dokter.

About the Author

Jurnalis asongan, pengais setiap rizki halal, penitip setiap doa baik di dunia. Politisi yang menunggu dikarbit. Kyai kantong bolong. Lahir di dusun kecil Jalancagak, tinggal di dusun kecil Jalancagak. Berharap menutup hari tua di dusun kecil Jalancagak.

Author Archive Page

Comments

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini