Mengapa Bangsa Ini Tidak Mudah Memaafkan Masa Lalu?

Sejak 2014 kehidupan demokrasi kita berubah. Dukungan pada politisi yang mengejar kekuasaan menjadi semacam urusan “domestik” yang patut diperjuangkan hingga titik darah penghabisan. Pada lain sisi, tumbuh pula semangat profan sebagian yang lain, yang membuat dukungan pada politisi yang mengejar kekuasaan seolah jihad yang berhadiah surga.

Dukungan pada dua politisi yang saling bersaing di tingkat pemilihan presiden pada akhirnya menghasilkan clash, pertentangan, polarisasi, yang tampaknya sulit disembuhkan kecuali dua politisi tersebut sebut saja, Jokowi dan Prabowo Subianto selesai hajat politiknya, atau dua-duanya mundur dari politik demi persatuan dan kesatuan bangsa.

Tentu saja pilihan agar keduanya mundur tidak akan diterima oleh para pendukungnya. Keduanya sudah berada kondisi post-totem, simbol yang tidak bisa diganggu-gugat, disepelekan, apalagi dilecehkan dan dihinakan. Sudah sering kita lihat, orang rela dipenjara, berurusan dengan polisi, dijemput tengah malam, rusak rumah tangga dan kehidupan sosialnya, demi mendukung politisi yang dia jadikan simbol atau post-totem.

Polarisasi atau Holiganisme Politik

Gejala ini sulit dihentikan, karena masing-masing pihak yang terpolar saling melapor agar lawannya terkena hukuman, dengan semangat untuk meniadakan, menghabisi, bahkan hingga menghilangkan eksistensi.

Lalu apa yang bisa kita lakukan dalam kondisi yang makin lama, makin mengkhawatirkan, dan menunggu momentum lanjutan hingga dapat meledak pada perang saudara?

Jawabannya sudah tersedia pada kisah-kisah sejarah lampau, hikmah yang dapat dipraktikan agar masing-masing dari kita tidak jatuh dalam permusuhan abadi. Janganlah kita bermusuhan hanya karena dukungan politik, yang tampaknya terlalu kebablasan, karena lebih memfigurkan sosok manusia pengambil keputusan yang bisa salah, dibandingkan fokus pada membangun negaranya, membangun masyarakat, dan generasi muda nya.

Apa jawaban dan pelajaran dari sejarah tersebut?

Pertama bermurahhatilah pada masa lalu.

Jangan tumbuhkan dendam pada masa lalu, maafkanlah masa lalu. Sebagaimana Jengis Khan mau menerima istrinya Boke dan anaknya Jochi padahal istrinya dicurigai dihamili orang lain, sehingga Jochi bukanlah anak kandungnya. Tapi Jengis Khan demi menaklukan dunia rela memaafkan kesalahan masa lalu yang barangkali tidak termaafkan.

Lalu apa musuh kita di masa lalu yang sulit di maafkan? Ada yang tidak mau memaafkan PKI, ada yang tidak mau memaafkan ORLA ada yang tidak mau memaafkan DI/TII, Permesta, atau tidak mau memaafkan ORBA. Kebencian pada peristiwa masa lalu terus dibangkitkan, menjadi momok yang menakutkan, sehingga tidak ada pembeda jelas antara waspada dengan paranoid. 

Tentu saja kita tidak mau hidup di zaman ORLA, PKI, zaman kerusuhan di era DI/TII, Permesta, atau mengulang sejarah ORBA yang korupsinya memusat serta nepotisme ada di mana-mana. Tetapi menolak praktik, bukan berarti membenci pelaku.

Tolak praktiknya, maafkan pelakunya. Sekali lagi, tolak praktik yang buruk dan tidak berkesesuaian dengan semangat perbaikan, namun terimalah para pelakunya dengan tangan terbuka, berikan kesempatan untuk tidak mengembalikan era yang telah lama.

Bahkan lebih baik lagi, berikan kesempatan mereka yang menjadi bagian kelam, untuk redemption menembus kesalahan yang telah dilakukan dalam kapasitas masing-masing di masyarakat. Jangan bully mereka yang pernah lakukan kejahatan di masa lalu, dan sekarang melakukan darma serta menebar kebaikan. Doakan yang terbaik, dan terimalah orang yang bertaubat.

Sebagaimana hikmah dalam roman perjuangan Indonesia “Suro Buldog” karya Pandir Kelana. “Mengapa mertuamu itu menerima kamu yang mantan narapidana dan bajingan tengik?” Dijawab. “Justru mertuaku menerimaku karena aku mantan bajingan tengik dan narapidana. Mantan penjahatlah yang aku cari, katanya, dan bukan malah orang baik-baik tapi calon penjahat.”

Maafkan masa lalu, terimalah taubat para pesakitan yang ingin kembali ke masyarakat, ingin membangun Indonesia bersama-sama.

Kedua, bermurahhatilah pada kesalahan saat ini.

Manusia tidak sempurna. Kadang orang salah ucap dan bicara. Kadang orang khilaf namun tidak mau kehilangan martabatnya di mata orang lain, hingga dia tutupi kekhilafannya dengan kekhilafan yang lain. Apa yang dilakukan pada orang yang “kesusu” terburu-buru hingga melakukan kesalahan berulang-ulang?

Jika kesalahannya mengakibatkan kerusakan yang besar maka perlu ada yang maju membereskan kerusakan itu tanpa menyorakinya. Jika kesalahannya tidak membawa akibat kecuali hanya pada dirinya sendiri maka nasihati baik-baik lalu tinggalkan, biarkan nasihat itu diproses dalam dirinya, karena setiap orang berbeda dalam menyerap nasihat. Ada yang bisa detik itu sadar, ada butuh berbulan-bulan, bertahun-tahun hingga akhirnya nasihat itu sampai dalam bentuk teguran Tuhan. 

Juga sebelum mencemooh orang lain, pada saat dia salah mengetik, kurang ilmu, salah ucap, salah tanda baca, salah mengartikan, salah menyulih, salah memproses, ingat kembali apakah diri kita bebas dari kesalahan yang sama?

Jangan Begitu Mudah Membuli

Setiap kita tidak beruntung satu sama lain, ada yang ngerti ekonomi, ada yang ngerti agama, ngerti fisika, kimia, dagang, dst karena fokus belajar satu dua hal hingga paham, maka akan mudah jatuhlah seseorang dalam kesalahpahaman saat membincangkan hal yang tidak dia kuasai. Pada saat itu, janganlah dibuli, membuli, karena siapapun dari kita tidak ada yang super human mampu mengerti semua bidang.

Baru-baru ini ada ustadzah yang dibuli karena khat tulisannya salah. Semua orang membagikan bulian hingga menggeneralisir, “dia orang partai anu, wajar banyak salah” dst. Lalu ada pelawak yang dibuly karena diundang sebagai ustad, saat ditanyakan pernah melihat pelawak itu memberikan taushiyah dalam kapasitas sebagai “ustad”, jawabannya belum? Lalu di mana adilnya Anda menilai praktik yang tidak pernah dilihat praktiknya?

Sama halnya dengan membuli presiden sholat bacaannya kurang bagus, kurang fasih, tentu saja dia presiden bukan imam atau ahli agama? Dia ahli yang lain, ahli manajerial, ahli dalam memilih sosok birokrat. Jika Anda memilih presiden tentunya Anda lihat rekam jejak birokrasinya, apakah cakap memimpin birokrasi?

Jika Anda memilih penceramah agama tentunya dilihat jejak rekam pendidikannya dari ponpes mana, mahad mana, kampus islam mana? Dunia ini dibentuk oleh keahlian masing-masing. So mengapa Anda ngotot mengejar kesempurnaan padahal yang semacam itu tidak pernah ada di dunia ini?

Ketiga, jangan hantui dirimu dengan masa depan.

Ada yang ketakutan saat negara ini neolib, ada yang ketakutan saat negara dibawa ke zaman khilafah, ada yang ketakutan saat negara mau dibawa ke arah sekulerisme. Masing-masing orang takut bahwa jika yang berkuasa para neolib, para sekuler, para khilafah, mereka diberangus, dihabisi, hingga keturunan terakhir.

Masa depan kekuasaan dengan pernik ideologi tunggal, digambarkan sangat despotik, membawa ketakutan dan kehancuran bagi suatu kelompok. Karena itulah sejatinya yang terjadi di feodal, atau ribuan tahun sejarah manusia hingga dunia akhirnya mengenal : DEMOKRASI dan NEGARA BANGSA.

Ambil jalan tengah agar lepas dari pertarungan untuk saling menghabisi perbedaan lewat cara saling menghancurkan. Gunakan demokrasi. Melalui demokrasi orang bergantian memimpin. Melalui demokrasi hari ini si PKS mimpin, besok si PDIP, besoknya si PKB, si PPP, si Gerindra, dst, semua kebagian memimpin, semua kebagian unjuk gigi.

Yang menurunkan masing-masing golongan adalah ketidakpuasan rakyat, rakyat itu artinya kita semua. Jika kita tidak puas akan kepemimpinan si fulan, maka si fulan akan jatuh, digantikan yang lebih baik. Jika penggantinya tidak lebih baik, maka pastikan pengawasnya atau yudikatif serta legislatifnya yang sangat baik.   

Yang Tidak Sabar Tidak Bersama Tuhan

Memang terkadang ketidaksabaran membuat orang berkampanye lebih awal. Simpatisan ingin agar calonnya bertahan lalu mati-matian membela, simpatisan lain agar incumbent jatuh lalu merongrongnya agar nama incumbent jelek. Sejatinya itu sah-sah dilakukan, asalkan berbasis fakta, dan jangan sampai di bawa ke ranah pribadi. Seperti merongrong keluarga si pemimpin, agama si pemimpin, sepatu pilihan si pemimpin, gaya tengil, ngaco, ndeso, gedongan si pemimpin dst. Berkampanye lah dari sisi Anda dirugikan atau diuntungkan oleh kebijakan si pemimpin.

Jika Anda tidak sabar, maka Tuhan tidak akan bersama Anda, sebagaimana dalam firmannya Tuhan Ada bersama orang-orang yang sabar. Mereka yang tidak sabar berkawan dengan setan, sehingga cenderung memfabrifikasi atau membuat cerita hoax agar lawan politiknya jatuh. Atau saling berseteru, saling memaki, mencaci, di sosial media, setiap kita bisa tidak sabar. Dan setiap kita bisa memilih sabar. Jika menginginkan kemenangan bagi calon Anda, maka bersabarlah dan ikuti jalan demokrasi yang tidak rusuh dan merusak capaian pembangunan selama ini.

About the Author

Jurnalis asongan, pengais setiap rizki halal, penitip setiap doa baik di dunia. Politisi yang menunggu dikarbit. Kyai kantong bolong. Lahir di dusun kecil Jalancagak, tinggal di dusun kecil Jalancagak. Berharap menutup hari tua di dusun kecil Jalancagak.

Author Archive Page

Comments

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini