Masalah Pada Era Jokowi, Enak Diteruskan Dan Perlu

26 April 1986, pukul  01:23 detik ke 40, reaktor nuklir Chernobyl di Ukraina (yang pada saat itu masih Uni Sovyet) meledak. Radiasi terbang ke udara. Dalam bahasa ilmuwan Sovyet, radiasi itu akan menghancurkan sebagian besar populasi bumi. Pada akhirnya kebocoran ditangani dengan spekulasi besar dan kontroversi akan keberhasilannya. Puluhan ribu korban jatuh. Korban sia-sia.

Korban menyetor nyawa percuma karena kanal kritik macet pada pemerintahan Uni Sovyet. Karena bucin bucin komunis merajalela. Saling mengawasi kepada mereka yang ingin kritik Kremlin atau pemerintah. Bagi bucin komunis, negara komunis jangan terlihat murahan walau memakai bahan murah untuk mendirikan reaktor nuklir. Keberadaan bahan murah itu ditutupi, karena bisa jadi aib besar.  Aib politik, is no good kata mereka.

Padahal, setiap pemerintahan dari konsep filosofisnya muncul jadi kubangan kritik abadi. Diharamkan bagi mereka puji-puji penuh cinta kasih, tanpa batas, dengan kegombalan tanpa nalar. Jangan sampai suatu negara jadi club chiklit, yang bucin mampus pada presidennya, bagai kecintaan gadis remaja pada artis Korea. Kritik pada pemerintahan akan menjadikannya kuat. Disklaimernya, kritik harus tepat sasaran, dan bernalar. Kritik juga mesti memiliki pijakan dan dasar yang jelas.

Siapapun Presidennya, Yang Salah Bukan Rakyat

Sejatinya, cukup mudah mengkritik presiden. Dengan seloroh, dirinya kan ngurusi negara, maka sudah jelas, kesejahteraan harus sampai hingga rakyat bisa hidup layak. Salahkah itu? Tidak. Kamu sudah benar. Ada rahasia dibalik mengapa rakyat jangan sampai berhenti kritik pada presiden dan menteri-menterinya.

Sebagian besar dari jangan bungkam. Kita mesti tahu negara ini dibangun. Kita wajib paham arus barang masuk keluar, perimbangan defisit transaksi berjalan. Kita harus mengerti kekuatan SDM, SDA, dan industri kita. Kita bisa mengukur, sejauh mana korupsi menganulir keberhasilan di beberapa lini, atau membusukkan suatu lini stategis, agar yang lost itu bisa tergantikan demi kepentingan nasional.

Pemahaman tiap-tiap kita memang sangat basic. Apalagi saat ingin menunjuk hidung, cari kambing hitam, ingin menuding suatu rezim, kadang kala tudingan itu berisi hal-hal yang tidak kita pahami, karena kita tidak paham siklus. Misalkan realitas siklus dunia? Apakah dunia sedang gandrung gorengan, sehingga produksi CPO harus digenjot tinggi. Apakah era 50, 60, 70, era untuk ekspor pangan, rotan, emas, perak, bauksit, timah? Jadi.

Dengan strategi perimbangan, ada sebagian masyarakat yang “puasa” ada yang dapat surplus. Negara ini faktanya berdagang. Banyak barang dagangan digelar, tapi sedikit dari pasar yang menginginkan semua dagangan dari Indonesia. Hal inilah yang mesti dipahami masyarakat yang menginginkan komoditasnya laku di pasar dunia.

Dengan demikian, jangan pula jatuh pada nihilisme kritik, kenali juga latarnya. Tapi inipun dipahami. Karena pada era Orde Lama, masyarakat belum terdidik memahami arti anggaran pembangunan. Sementara era Orde Baru, masyarakat masih sudah mengerti tapi belum berpikir strategis. Pada era reformasi sudah mengerti strategi dengan munculnya UU Keuangan, UU Perencanaan Pembanguan, walau masih gagap dalam pelaksanaan.

Era Jokowi Ekonomi Nyungsep?

Apabila ada yang menyatakan bahwa pada era Jokowi ekonomi makin nyungsep. Kamu jangan terlalu cepat untuk membantahnya. Termasuk melalui data-data pertumbuhan GDP, GNP, dan tetek bengek lain. Karena ketahuilah, negara yang usianya masih muda, itu seperti orang berpengetahuan. Makin tahu, makin berilmu, makin sadar diri ini bodoh, begitupun dengan negara, makin maju, makin paham adanya kekurangan sana sini, akan makin maju.

Jadi, secara ekonomi, pemerintahan Jokowi bisa saja diklaim mengalami kemajuan, cukup tunjukan angka-angka pertumbuhan atau rasio gini. Tetapi secara ekonomis, nilai keekonomian, suatu perimbangan pencapaian, mempertemukan strategi dengan fakta agar semakin inheren, tidak pernah makin ekonomis. Malah nyungsep.

Tapi. Semakin nyungsep semakin bagus. Karena borok, rusak, inefisien, bobrok, lemah, yang muncul adalah buah dari membaiknya pengawasan birokrasi. Makin sering pemerintahan ini menemukan kegagalan baru, makin penuh daftar how to nya. Makin gagal makin bagus, makin ketahuan borok makin maknyus. Itulah makna pemerintahan era reformasi yang tengah melakukan transisi dan transformasi.

Inilah juga prinsip Kanzen, selalu membuka ruang untuk mencari kesalahan. Agar kesalahan itu bisa ditangani baik oleh suatu pemerintahan, maupun penggantinya. Prinsip ini tetap diterapkan di negara maju. Demokrasi harus mampu menemukan kegagalannya sendiri agar bisa semakin kuat. Negara ini ibarat hamster dalam lab ujicoba. Yang hendak dicari adalah yang salah, sehingga masa depan bisa diselamatkan.

Kegagalan Adalah Bentuk Pujian

Jadi sebelum darah bucin mu pada pemerintah mendidih. Jangan menolak anggapan pemerintah gagal. Justru dirimu yang harus bantu pemerintah yang kau dukung, sayangi, untuk mencari lebih banyak kesalahan dan kelemahannya. Prinsip dalam kanzen, semakin mampu mengindentifikasi kegagalan, atau potensi gagal semakin baik suatu pemerintahan.

Perlu dicatat. Bahwa semua yang dinamakan berhasil di dunia ini telah melewati ribuan gagal ujicoba. Bangsa ini jangan alergi pada kegagalan. Jangan merasa aib lalu berenti, karena kesalahan atau kenistaan. Apakah dirimu tumbuh besar tanpa terluka, jatuh, korengan, patah hati, diputus cinta, di kejar hutang? Tidak ada yang bisa lepas dari nestapa dalam hidup.

Ada yang mengatakan bahwa keberhasilan adalah duduk sejenak istirahat, sebelum kembali ke life pit (kolam kehidupan) menyelam dalam perjuangan mengatasi kegagalan. Michael Foucault pernah menyatakan disiplin manusia, ada pada rasa sakit.  Marquis de Sade juga menyatakan, rasa nikmat paling utama adalah ketika sakit perlahan berkurang (relieve).

Kegalan Orde Lama beri pijakan pada Orde Baru, kegagalan orde baru beri pijakan pada Orde Reformasi. Hingga akhirnya kita pada saat menjabat, akan benar-benar mengutuki pemerintahan yang lama, jika mereka tidak atau belum melaporkan adanya jenis kegagalan yang malah di derita oleh pemerintahan baru.

Masalah warisan suatu pemerintahan lama ibarat bahan untuk memulai dan melakukan govern, do the govern thing. Sementara, Jokowi, harus juga mampu lakukan identifikasi pada masalah besar yang ada di pemerintahannya, untuk jadi bahan govern pada pemerintahan yang baru kelak. Tidak peduli apa pendapat bucin.

About the Author

Jurnalis asongan, pengais setiap rizki halal, penitip setiap doa baik di dunia. Politisi yang menunggu dikarbit. Kyai kantong bolong. Lahir di dusun kecil Jalancagak, tinggal di dusun kecil Jalancagak. Berharap menutup hari tua di dusun kecil Jalancagak.

Author Archive Page

Comments

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini