Mau Jadi Presiden? Ikuti Dulu Rumus Jokowi: Proses Di Daerah

“Jika tujuan kapten kapal hanya untuk melayani kapalnya saja, dia akan tetap selamanya berada di pelabuhan dan tidak mengarungi lautan”

(Sir Thomas Aquinas)

Mengapa Ridwan Kamil begitu terkenal dan popular? Mengapa Risma begitu dirindukan? Mengapa Ahok sangat disegani? Mengapa Yoyok selalu disebut-sebut namanya? Mengapa Dedi Mulyadi jadi dambaan media nasional? Mengapa Asafri selalu banjir pujian oleh pusat? Dan mengapa seorang Joko Widodo bisa menjadi presiden? Jadi kepala daerah konon hanya cukup berbekal uang banyak. Tapi dari kepala daerah menjadi presiden, hanya Jokowi pelakunya.

Jokowi meresapi dengan sangat ungkapan filsuf Thomas Aquinas di atas. Kepala daerah yang disebutkan, ibarat kapten yang berlayar dan jauh melaut mengarungi bahaya, mengambil risiko. Di saat yang lainnya tertambat di pelabuhan terjebak rutinitas yang sama.

Para pemimpin yang melaut, siap menaklukan tantangan, dan akhirnya mendapat spoil, rampasan perang,  manfaat, sumber-sumber kesejahteraan dan kejayaan baru untuk dirinya dan masyarakatnya.

Menangkan Minset Rakyat

Kejayaan, nama besar, popularitas, disukai semua orang, dicintai rakyatnya, kesemuanya berada pada faktor mindset. Cara berpikir, cara memahami, cara menyimpulkan, dan cara menjalankan suatu periode kepemimpinan bertransformasi. Dari rutinitas kantoran menuju kepemimpinan modern, yang tidak lagi bisa dipoles lewat wibawa atasan bawahan.

Kenali zaman, zaman juga berubah lebih cepat dari apa yang diperkirakan. Tuntutan dan beban kepada daerah, juga bertambah kompleks dari waktu ke waktu. Semua ini membutuhkan solusi kepemimpinan yang handal, yang benar-benar memilih untuk menyelami, mengalami, mengatasi, dan memenangkan segalanya.

Jangan khawatir. Para pemimpin kini tidak berjuang sendiri, ada 250 juta orang di Indonesia yang siap memback-up pemimpinnya. Segala segala rencana-rencana hebat untuk perubahan daerah dan negara yang lebih baik akan mudah dicapai.

Siap Di Hina-dina

Bagaimanapun, fenomena Joko “Jokowi” Widodo, yang promosi. Dari posisi Wallikota kota kecil di Jawa Tengah, menuju kursi tertinggi hirarki politik Indonesia. Hal ini jelas tidak bisa diabaikan dan tinggalkan. Seberapa hebat polesan-polesan tim pemasar pada pilkada, tentunya didasarkan pada seberapa butuh pasar yang ada.

Terkadang ada yang mencibir dan tidak sigap melihat situasi tentang bagaimana seorang dengan penampilan kurang fotogenik seperti Jokowi bisa maju? Jokowi juga tidak memperlihatkan aura kegagahan seperti lawannya. Bahkan lawannya telah mengiklankan diri dengan segala pesona politik belasan tahun di TV.

Bukan sekedar pesona politik, lawannya, juga telah menjual mitos-mitos yang laku di masyarakat. Mitos macan Asia, mitos pemimpin kuat, mitos pemberani, wibawa, dan tangguh. Akan halnya, sebagian besar masyarakat tidak membelinya. Pilihan dijatuhkan pada Jokowi, untuk satu alasan besar: perubahan manajerial terhadap penggunaan anggaran.

Karena sejak di sekolah, rakyat Indonesia selalu diajarkan bahwa Indonesia negara kaya SDM dan SDA. Tapi statistika kekayaan tersebut tidak selalu tergambarkan melalui pencapaian pembangunan. Dan ini membuat rakyat jengah, menuntut jawaban kepada otoritas politik tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Ciptakan Viral Baru

Sejauh jawaban yang rakyat coba pahami sendiri. Permasalahan utama ada pada titik kemampuan otoritas politik untuk melakukan manjerial fiskal, termasuk di daerah. Sehingga, pada saat Jokowi memperlihatkan efektifitas pengelolaan keuangan di daerahnya. Media massa tersihir akan apiknya pengelolaan keuangan di Solo.

Bahkan menjadikan anak-anak SMK mampu merakit mobil sendiri, cukup dijadikan entry point awal bahwa Jokowi memenej keuangan daerah dengan benar.  Pemimpin daerah, sudah harus jadikan dirinya sebagai bagian dari manajemen fiskal yang wajib viral, karena unik, karena tidak lagi sekedar program tok.

Jokowi mengibaratkan dirinya, bagai kepala proyek, seorang CEO, seorang pengarah pembangunan, untuk membangun watak-watak pembangun dari warganya. Dan pemimpin macam itu, jelas harus menanggalkan filososfi lama kepemimpinan politik yang semata mengandung paradigma kekuasaan.

Yakni sekedar sosok pemimpin era lama demi melanggengkan kekuasaan berupaya memberikan apa yang diinginkan pengikutnya, selama para “followers”. Ini mengikuti perintah sang pemimpin. Padahal, di era modern saat ini, kepemimpinan politik tidak dapat dilepaskan dari kepentingan organisasi yang kompleks. Baik itu organisasi sektor publik maupun privat.

Pemimpin menjadi saluran sibuk yang menghubungkan satu sama lain. Memang ada bawahan yang mengerjakan banyak hal. Tapi pimpinan mesti mengetahui visi nya sendiri, agar bawahan tetap bergerak atas dasar visi tersebut.

Leadership Adalah Senjata Pamungkasnya

Terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah, khususnya dalam pengelolaan fiskal daerah, kepemimpinan menjadi faktor penentu keberhasilan implementasi otonomi daerah. Dengan demikian, fungsionalitas kepemimimpinan dan respon masyarakat terhadapnya, juga merupakan langkah langkah solutif.

Kerap juga ditemukan aspek kepemimpinan justru sering kali menjadi momok sebab terjadinya kelemahan suatu daerah. Sementara justru selalu tersedia pula inspirasi-inspirasi kepemimpinan yang diperlihatkan oleh beberapa kepala daerah lain. Aspek kepemimpinan faktanya ada dalam konteks yang lebih luas. Kepemimpinan memegang perananan penting dalam menyukseskan reformasi bidang fiskal atau pengelolaan keuangan daerah.

Pengelolaan keuangan merupakan salah satu aspek penting dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah demi keberhasilan pencapaian tujuan kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan keuangan daerah yang baik akan berdampak pada dan langsung menjawab tantangan masyarakat yang selama ini skeptis terhadap pemerintahan daerahnya.

Jalan Pendek Menuju Kekuasaan

Dari pengertian ini, dalam hubungannya dengan reformasi pengelolaan keuangan daerah. Keberadaan seorang pemimpin yang mumpuni memiliki peranan yang sangat besar untuk mengarahkan agar pengelolaan APBD dapat menjadi lebih baik. Karena kepala daerah mengerti bahwa segala lini membutuhkan kreatifitas. Juga strategi yang tidak pernah terpikirkan orang pusat saat sentralisasi dilakukan, atau desentralisasi masih setengah matang.

Seperti yang Joko Widodo sering katakan, “cukup seminggu dengan aplikasi”. Maka cukup satu masa jabatan untuk bisa naik pangkat ke tantangan berikutnya. Dari bupati ke walikota, dari walikota ke Gubernur, dari Gubernur menuju presiden. Menariknya Jokowi mengatakan pakai apliksi, memang semestinya demikian. Pakai sesuatu yang sangat aplikatif di mana masyarakat langsung mendapatkan hasilnya.

Program-program aplikatif, kelak akan viral, akan menarik perhatian buzzer. Juga akan membawa pers Ibu kota mengetuki pintu pejabat tersebut, dan menyebarluaskan kesuksesan program daerahnya. Negeri ini tidak pernah kehabisan permintaan untuk stok calon presiden yang bagus.

Entah apakah Anda anak seorang jenderal. Cucu tukang asongan. Bandar beras. Jika telah melewati proses dan mengabdi kepada rakyat sebagai kepala daerah yang sukses, Anda berhak mencalonkan diri jadi presiden. Netijen juga akan serta-merta memberikan approvalnya. Rakyat atau petinggi partai politik pada gilirannya, hanya tunggu sinyal dari para netizen kebanyakan.

About the Author

Jurnalis asongan, pengais setiap rizki halal, penitip setiap doa baik di dunia. Politisi yang menunggu dikarbit. Kyai kantong bolong. Lahir di dusun kecil Jalancagak, tinggal di dusun kecil Jalancagak. Berharap menutup hari tua di dusun kecil Jalancagak.

Author Archive Page

Comments

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini