MEREKA BUTA, BISU, TULI, AKAN APBD NYA SENDIRI

Pada saat pemerintah pusat kesulitan merumuskan kebijakan moneter atau fiskal secara independen karena tekanan regional. Maka, sangat disayangkan jika pemangku kebijakan publik di daerah (kata mereka: karena dorongan aspirasi masyarakat) melalukan ‘pesta pora’ anggaran. Atau melakukan “konsumerisme domestik”, yang tidak memperlihatkan nilai tambah filosofis pada pertumbuhan nasional.

Maksudnya apa tho nilai filosofis pertumbuhan nasional?  Maksud nya bro, boleh jadi memang ada input data karena kerekan konsumsi. Ada data agregat tumbuh secara nasional di mana anggaran berhasil dibelanjakan/tidak ditumpuk di Bank Daerah. namun sifatnya semu belaka, tidak memberikan suatu giat atau laksana yang menjamin kesinambungan anggaran.

Apa kita lihat sebagai pesta pora di sini adalah cermin dari minimnya pengetahuan umum masyarakat daerah tentang geliat pasar dunia. Atau embuhnya mereka memahami tantangan yang tengah dihadapi oleh negara. Tantangan yang berbusa-busa dibahas di ruang pertemuan dengan menu prasmanan restoran rupanya tidak dibahas konkrit di tingkat bakwan atau gehu warteg.

Lostway APBD

Yang dibahas dalam venue tingkat CEO dengan para Dirjen, rupanya juga tidak diejawantah dalam kelakar warga siskamling sambil main catur. Pendeknya, masyarakat kita belum bisa diajak bicara tentang nilai strategis APBD-nya sendiri.

Yang masyarakat tahu, jalan yang tadinya beraspal lumpur, kini di hotmix, sebagai akibat si hotmix. Pak lurah bisa kawin lagi, sementara ngkoh yang punya toko matrial buka cabang di Kecamatan sebelah.  Jalan jadi lancar, kendaraan tidak gampang rusak, setidaknya ada nilai lebih bagi masyarakat. Mereka masih tidak menyadari bahwa jalan mulus tidak sekedar jalan mulus.

Artinya pembangunan infrastruktur tidak serta-merta di follow up menjadi kegiatan berantai yang menyeret masyarakat untuk mencium peluang atau uang, lebih-lebih mengupgrade kesadaran bahwa dirinya tengah dalam kepungan globalisasi.

Masyarakat belum menyadari bahwa ungkapan “negara dan globalisasi” sejatinya adalah rumah tangga dan dunia internasional. “Meningkatnya persaingan internasional” sebenarnya bermakna meningkatnya persaingan antara seorang warga negara Indonesia dengan warga negara lainnya.

Bandingin Harga Internasional

Saat Anda belanja garam di warung, Anda wajib mempertanyakan harga si garam itu, apakah setara dengan harga di Malaysia, Swiss, atau Zimbabwe, jika lebih mahal mengapa? Jika lebih murah mengorbankan apa? Jika lebih mahal apakah karena kita kurang produksi? Jika lebih murah kenapa kita tidak jual saja ke pasar juga dengan peningkatan produktifitas? Pendeknya, apa yang dihadapan masyarakat bernilai persaingan.

Dus. Setiap warga negara Indonesia tengah bersaing dengan pesaingnya warga negara asing. Entah dalam menyediakan kopi yang enak di warung kopi, menjadi pelayan publik sebagai aparat sipil negara, atau menjadi asisten konsultan di firma konsultasi, masyarakat tengah bersaing dengan pelayan warung, pelayan publik, dan asisten konsultan di negara lainnya.

Makin bagus pelayanan, makin profesional, makin baik tata kelola manajerial, warganegara Indonesia di bandingkan dengan warganegara lain maka akan makin kompetitif posisi Indonesia secara internasional. Lebih kompetitif dapat diartikan memiliki fondasi ekonomi yang lebih mantap. Sanggup tahan guncangan globalisasi apalagi diatur-atur nilai tukar.

Artinya, pelayanan yang baik akan melahirkan inovasi-inovasi yang meningkatkan kapabilitas serta kapasitas yang dan pada gilirannya akan membawa keuntungan-keuntungan kepada kesejahteraan bersama.

Kesadaran untuk menerima dan memanfaatkan peluang globalisasi disuarakan khusus oleh , Presiden Joko Widodo dalam pidato tahunan MPR pada 16 Agustus 2017:  yang menyebutkan bahwa kunci kemajuan adalah pemerataan hingga ke pelosok daerah, dan sebagai penanda jelas dari kemajuan pembangunan infrastriktur adalah pelayanan kepada masyarakat agar masyarakat lebih kompetitif.

Lebih lengkapnya Presiden Joko Widodo menyebutkan:

“Sebagai refleksi bersama kita harus jujur mengakui bahwa tidak mungkin bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju, kalau rumah-rumah rakyat di seluruh pelosok nusatara tidak menikmati aliran listrik.

Tidak mungkin kita menjadi bangsa yang kompetitif, jika biaya logistik kita masih mahal. Tidak mungkin kita menjadi poros maritim dunia, kalau kita tidak punya pelabuhan-pelabuhan yang menjadi tempat bersandar kapal-kapal besar, yang mengangkut produk-produk kita.

Tidak mungkin kita menjadi bangsa yang berdaulut di bidang pangan, kalau jumlah bedugan dan saluran irigasi yang mengairi lahan pertaian di seluruh penjuru tanah air sangat terbatas,”

Emoh Narget, Nunggu Wangsit

Target-target globalisasi tersebut akan tercapai melalui peningkatan kapasitas daerah. kapasitas tersebut mesti dicapai dengan jalan pemanfaat APBD yang lebih bijak. Lebih memiliki filosofi kesinambungan, oleh karena itu lebih mendorong kepada masyarakat yang mau jemput bola, jemput modal, jemput asa dengan lebih berani.

Tentu saja, terkadang masyarakat kita yang masih bermental patron klien lebih senang menunggu adanya wangsit pimpinan. Artinya, untuk jadi pemberani masyarakat butuh contoh. Dalam hal ini khusunya para kepala daerah, yang diharapkan bisa menjadi teladan mereka untuk menerjemahkan ide-ide presiden, membantu diri mereka sendiri menjinakkan globalisasi minimal membuka jalan kepada kemandirian daerah.

Pilkada selalu menjadi momentum terbaik bagi masyarakat daerah untuk menentukan nasib mereka secara riil. Otonomi daerah terlalu nyata untuk disia-siakan. Masyarakat seandainya tidak paham pada APBD nya sendiri, harus lebih mengerti pada keinginan mereka sendiri untuk sejahtera. Di era otonomi ini, sejahtera sudah beririsan langsung dengan kemampuan daerah membangun akses. Sementara akses diciptakan melalui pembangunan infrastruktur.  

Oleh karenanya, masyarakat harus mampu memilih sosok yang memahami pentingnya APBD dan pembangunan infrastruktur daerah. Dari infrastruktur saja, kelak akan tercetus upaya menambah kapasitas, baik produksi atau entitas BUMD baru, yang pada akhirnya memaksa masyarakat untuk punya pekerjaan. Kapan lagi ngganggur itu bukan pilihan, semua orang dikejar-kejar untuk berkerja sebagai abdi pemerintah daerah yang makin maju daerahnya.*** 

About the Author

Jurnalis asongan, pengais setiap rizki halal, penitip setiap doa baik di dunia. Politisi yang menunggu dikarbit. Kyai kantong bolong. Lahir di dusun kecil Jalancagak, tinggal di dusun kecil Jalancagak. Berharap menutup hari tua di dusun kecil Jalancagak.

Author Archive Page

Comments

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini