Konstitusi Kita Itu Mengizinkan Iriana Jokowi Jadi Ketua DPR RI

“Di Kutai Timur boleh dibilang sebagai peristiwa sejarah. Karena pucuk kepemimpinan pemerintahan diduduki Suami dan Istri sekaligus. Suami pimpin Eksekutif Istri memimpin legislatif. Namun, bukanlah sesuatu yang salah dalam kacamata konstitusi kita. Sehingga ke depan bisa saja, Bu Iriana Jadi Ketua DPR…”

There are many medical care options for men and women to settle their sexual issues such as premature ejaculation, seminal leakage, nightfall can be removed tadalafil 10mg by giving appropriate potency to the veins, muscles, nerves and penis muscles as well. Hope this article will help young men to know their erectile dysfunction case, and will show them the right direction. prices generic cialis There are specific symptoms and signs which determine whether it is india cialis in fact depression or just a case of a blue mood. It improves testosterone and helps buy cialis online to form healthy sperms.

Pada Selasa (28/7/2020), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan pihaknya melakukan pemeriksaan saksi-saksi atas kasus dugaan suap terkait pekerjaan infrastruktur di Pemerintah Kabupaten Kutai Timur tahun 2019-2020.

Namun, dalam tulisan ini bukan kasus korupsinya yang ingin saya bahas. Melainkan praktek oligarkinya yang cukup membuat saya berdecak kagum.

Karena bisa jadi kerja politik Bupati Kutai Timur Ismunandar melebih ekspetasi penganut konsep kekuasaan Machiavelli. Tentunya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengizinkan anaknya Gibran Rakabuming Raka maju sebagai calon Wali Kota Solo tak sebanding dengan Ismunandar.

Bagaimana tidak, Ismunandar sebagai Bupati yang merupakan kepala pemerintah atau eksekutif. Sedangkan istrinya, Encek UR Firgasih menjabat sebagai Ketua DPRD Kutai Timur.

Padahal dalam Pasal 149 ayat 1 Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 yang sudah dirubah dengan UU nomor 9 tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah, tugas DPRD kabupaten/kota memiliki fungsi membentuk peraturan daerah kabupaten/kota, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.

Jika suatu daerah dipimpin oleh suami yang menjadi kepala eksekutif dan istri adalah yang menjadi kepala legislatif. Bukankah ini seperti menjadikan pemerintah daerah layaknya sebuah rumah tangga?

Saya membayangkan, betapa efisiensinya kerja pemerintahan Kabupaten Kutai Timur dalam membahas berbagai hal. Karena bisa dibahas di rumah dinas Ismunandar.

Dan akhirnya, yang ditakutkan pemerhati sosial terjadi oligarki akan berujung pada korupsi. Ismunandar dan istrinya tertangkap tangan oleh KPK pada Jumat 3 Juli 2020. Karena diduga menerima suap terkait dengan proyek infrastruktur di Kutai Timur.

Namun, kita tidak menyalahkan Ismunandar atas praktek oligarkinya itu. Toh konstitusi mengizinkan kok. Enggak percaya?

Konstitusi Mengizinkan Oligarki

Pada medio 2015, pemerintah dan DPR RI pernah membuat norma yang diharapkan bisa mengakhiri kesempatan dinasti politik tumbuh kembang. Dengan melahirkan Pasal 7 huruf r Undang-undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Pasal ini mengatur, setiap calon Kepala Daerah baik itu, Wali Kota, Bupati dan Gubernur serta Wakilnya tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana.

Lalu apa yang dimaksud dengan ‘kepentingan dengan petahana’? Dalam penjelasan UU itu disebutkan:

Yang dimaksud dengan “tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 kali masa jabatan.

Namun, pada 6 Juli 2015, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan keputusan Nomor 33/PUU- XIII/2015 yang menganulir Pasal tersebut.

MK menilai, ketentuan Pasal 7 huruf r tersebut bertentangan dengan Pasal
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Serta Pasal 28D ayat (3) UUD
1945.

Bagi MK setiap warga negara memiliki hak untuk diperlakukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Sehingga, hak untuk mencalonkan diri sebagai tidak boleh dikurangi.

MK pun tidak memungkiri adanya praktek politik dinasti. Namun, MK menilai hal itu haruslah dicegah dengan kerja-kerja politik bukan dengan hukum.

Seperti, sikap partai politik yang harus memilih calon secara terbuka dan tidak lagi memaksakan diri mengajukan calon yang berasal dari dinasti politik yang miskin kompetensi dan tuna integritas. Karena jika hal itu dilakukan hanya akan mempermalukan partai politik di kemudian hari.

Putusan ini pun, setali tiga uang dengan pernyataan Jokowi dan Gibran Rakabuming Raka. Dalam pemberitaan di Kumparan.com, pada Jumat (24/7/2020). Gibran menyebutkan, ia mengikuti kontestasi sehingga bisa saja menang bisa saja kalah. “Saya kan ikut kontestasi bisa menang, bisa kalah, tidak harus diwajibkan memilih saya. Bisa dipilih, bisa tidak, bisa dicoblos, bisa tidak,” ujarnya.

Namun, pengamat Politik Rocky Gerung menilai, Gibran akan otonom kalau tidak hubungan dengan kekuasaan. Dan karena dia memiliki hubungan dengan kekuasaan makanya  sifat otonomnya putus.

Iriana Pun Bisa Jadi Ketua DPR

Namun, dari keputusan MK tersebut, bolehlah kita memiliki penilaian mungkin suatu saat nanti kita tidak menutup kemungkinan akan memiliki Ketua DPR yang merupakan istri Presiden. Kalau boleh dihiperbolakan, “Kita akan Mengalami masa dimana Iriana Jokowi Jadi Ketua DPR.” Sebagaimana yang terjadi di Pemerintahan Kutai Timur.

Tetapi kok pada 2019 itu tidak terjadi? Padahal, kalau dari populeritas, Bu Iriana tidaklah jauh berbeda dengan Puan Maharani.

Bisa saja pak Jokowi memang tidak miliki niatan untuk oligarki. Atau mungkin pak Jokowi sangat menganut filsafat Jawa.

Dalam artikel beritajowo.com, pada 11 November 2017, disebutkan bahwa Wanita adalah teman di dapur. Sebagaimana, konsep kanca wingking yang berarti bahwa perempuan adalah teman di dapur. Dan harus swarga nunut, neraka katut (ke surga ikut, ke neraka pun turut).

Tetapi, dari kata Wanita sendiri, yang terdiri dari kata wani dan tata. Wanita bisa diatur bisa juga berani mengatur.

Istilah konco wingking pun tidak selalu lebih rendah, tergantung bagaimana perempuan Jawa memaknainya. Sebab bisa saja, wanita menjadi sutradara yang bekerja di belakang layar dan tidak pernah terlihat dalam filmnya tetapi dapat menentukan jalannya film.

Insya Allah Ada Sambungannya

Comments

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini