Belajar Jarak Jauh di Kampung Terpencil

“Jangankan internet, listrik aja nggak ada. ” begitu kata petugas pemerintah yang dapat kesempatan menjelajah pegunungan tengah di Papua. Dapat kesempatan. Ya, itu kesempatan yang tidak setiap tahun terjadi. Kenapa demikian? sebab menjelajah pegunungan tengah itu butuh dana yang besar. dari satu desa ke desa yang lainnya, membutuhkan transportasi udara. Kalau tidak ada pesawat, berarti harus menggunakan helikopter. Bayangkan untuk kunjungan dinas ke kampung kampung yang terpencil, betapa besarnya dana yang dibutuhkan. Kalaupun dengan pesawat, itu bukan pesawat besar yang muat banyak orang, ini hanya pesawat mesin tunggal, yang paling banter mampu mengangkut delapan penumpang. Bayangkan betapa mahalnya perjalanan dinas dan barangkali pengangkutan barang yang harus dibawa dengan pesawat dan bukannya dengan kendaraan darat.

Sebelum pemekaran disebut wilayah pegunungan Jayawijaya. Kemudian pada sepuluh tahun terakhir ada pemekaran, dengan munculnya kabupaten kabupaten baru di sekitar pegunungan Jayawijaya. Pemekaran itu membawa kemajuan terutama akses transportasi. Mulai ada titik terang di mana akses prasarana jalan sudah sampai ke pedalaman. Belum seluruhnya selesai, tetapi arahnya sudah menggembirakan dengan adanya pemekaran daerah pegunungan itu menjadi beberapa kabupaten.

Bagaimana dengan kebijakan pengajaran jarak jauh yang diusulkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim? Dalam konteks mengatasi bahaya penularan covid 19 pada anak anak murid dalam proses belajar mengajar, tentu saja ini adalah hal yang bijak. Namun pelajaran jarak jauh itu membutuhkan perangkat infrastruktur yang harus disiapkan secara matang. Anggap saja bahwa apa yang dilakukan oleh menteri adalah keputusan atau kebijakan yang darurat atau emergensi. Peserta didik harus tetap belajar, menerima ilmu pengetahuan dari jenjang yang paling rendah sampai yang paling tinggi. Di sisi lain pemerintah harus memperhatikan protokol kesehatan yakni dengan memastikan bahwa peserta didik harus cuci tangan dengan sabun, menggunakan masker, dan menjaga jarak. Tiga hal itu yang wajib dilakukan oleh anak anak murid. Siapa yang memantau itu? Kalau itu terjadi di sekolah. Tentu saja guru guru dan kepala sekolah. Apakah mereka mampu? Itu yang menjadi bahan diskusi, pertimbangan sana sini, bukan saja anak di sekolah, tetapi juga perjalanan anak dari rumah dan pulang ke rumah, selama di sekolah. Siapa yang bisa menjamin anak anak sadar harus cuci tangan, bermasker dan mengambil jarak dengan anak atau guru. 

Digodok, dikaji dan pikir matang berdasarkan pengalaman, pengamatan wawancara dan diskusi selama PSBB, akhirnya diputuskan bahwa sekolah jarak jauh. Artinya anak murid, peserta didik belajar di rumah, menggunakan internet dengan dibimbing oleh guru secara jarak jauh. Anak di rumah didampingi oleh orangtua. Itulah yang terjadi dalam sebulan terakhir. Apakah ada keluhan? Ya, pasti ada. Di kota, para ibu yang penghasilan pas pasan, mengatakan bahwa pengeluaran sehari 13,000 untuk beli pulsa, kadang kadang nggak sampai sehari, terasa berat. Satu anak 13,000, padahal anaknya tiga orang dan ibu karena harus mendampingi, tidak bisa bekerja dan ini artinya penghasilan tambahan tidak ada. Liku liku persoalan belajar jarak jauh membawa pengaruh pada ekonomi keluarga. 

Bagaimana dengan belajar jarak jauh di luar Jawa, atau di daerah daerah yang terpencil? Seperti gambaran yang diuraikan di atas jangankan ada internet, listrik saja tidak ada. Kampung kampung di lembah lembah gunung terpencil, di perbatasan satu kabupaten dan kabupaten lain, daerah yang jauh dari keramaian kota. Jauh dari berita terkini dari situasi di kota besar atau bahkan tentang Indonesia. Tidak ada berita, tidak ada makanan yang bisa dibeli. Semua mengandalkan ekonomi subsistens, semua yang ada disitu dipenuhi oleh makanan lokal yang tersedia di situ. “Kalau sudah di kampung kampung itu, mesti siap makan makanan lokal. Tak ada warung di situ. Bermalam di honai, atau di rumah pendeta.”

prescription du viagra Two controversial therapies include Yohimbine, whoseefficacy is based solely on what we call the kamagra placebo effect, and androgen therapy, which is the injection or topical application of the male hormone replacement industry has been hit hard recently by continued scandal in professional sports. A lot of research confirms certain health benefits that generic viagra from india have been mentioned below. We continue listening to persistently that free viagra for women the exploration for a cure is just on the race of faster and faster. There are of course ways to get around unwanted childlessness. Going Here purchase generic viagra

Gambaran proses belajar dan mengajar yang normal saja, merupakan hal yang mewah. Kehadiran guru, rata rata hanya satu bulan dalam setahun. Sebab daerah itu bukan daerah yang disukai oleh guru. Kabarnya guru yang ditugaskan ke sana artinya dibuang”. Kata banyak orang Papua daerah “merah” seram berbahaya. Geografisnya, terjal, jalan setapak terbatas, kadang lebih banyak panjat daripada daki. Daerah terisolir. Jalur yang sering dilalui Kelompok Bersenjata. Kelompok yang justru menganggap daerah terisolasi lebih aman dari hadangan tentara. Intinya guru yang bersedia ditempatkan di sana, memang berjiwa pengabdian. 

Membayangkan kampung kampung di lembah terjal, pembelajaran jarak jauh bakalan sulit, kalau tak bisa disebut tak mungkin. Lalu seandainya ada pembelajaran jarak jauh dengan fasilitas listrik dan internet yang memadai, siapa yang akan membimbing dan mengawasi sebab guru enggan ke sana.

Di harian kompas di bahas soal pembelajaran jarak jauh yang sulit dilakukan daerah terpencil. Harian itu menampilkan keadaan di kepulauan Aru, yang tak ada internet dan listrik. Para murid di sana lebih beruntung karena guru guru masih bersemangat mengunjungi murid walau harus mendayung. Lebih beruntung dibanding mereka yang bersekolah di pucuk pucuk kampung di lembah pegunungan tengah papua.

Walau arah pendidikan ke pengenalan teknologi informasi internet, namun jelas butuh infrastruktur yang terus menerus mendukung teknologi dunia maya. Infrastruktur bukan cuma jalan dan jembatan, air strip, pelabuhan, perahu kapal, dan yang penting dalam konteks belajar jarak jauh adalah akses wifi yang terus menerus.

Arah dari pendidikan nasional sekarang sudah jelas dengan cara belajar jarak jauh adalah untuk mengurangi gap pendidikan daerah pusat dengan pinggiran. Karena itu harus menyediakan fasilitas yang relatif sama antara pusat dan pinggiran. Salah satunya adalah menempatkan guru bermutu di daerah daerah terpencil. Kebijakan itu akan ideal untuk memperkaya pendidikan di daerah terpencil yang tersebar di Indonesia. Tapi siapa guru yang mau begitu? Apakah harus ada kebijakan reward and punishment? 

Comments

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini