Wahyu Setiawan Emang Bisa Jadi Whistle Blower?


“Plt Jubir KPK Ali Fikri menyarankan agar mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan Menjadi Whistle Blower bila permohonan Justice Collaborator nya ditolak oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Namun dalam SEMA seorang Whistle Blower bukanlah pelaku tindak pidana.”

Apakah anda termasuk yang menantikan babak baru kasus dugaan suap mantan calon anggota legislatif dari PDI-Perjuangan, Harun Masiku? Jika yah mungkin anda orang yang penasaran apakah proses Pemilihan Umum (Pemilu) di negeri ini dijalankan secara akuntabel ataukah sekedar seremonial belaka.

Bila tidak, tentu bukan sesuatu yang bermasalah. Karena keputusan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan Pemilu sudah final dan mengikat. Apalagi, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah mengetuk palu akan hasil Pemilu. Baik itu, Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden.

Tetapi bila ada yang berpikir bahwa perkara Harun Masiku telah berubah jadi gimmick belaka. ‘Saya sependapat dengan anda’.

Karena baik itu, mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan dan sebagian besar jajaran petinggi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) boleh jadi adalah pihak yang kadang-kadang berbudaya ‘penegakkan keadilan’ dan ‘kejujuran’ bisa ditawar-tawar.

Apalagi baru-baru ini, Wahyu memecat kuasa hukumnya yang bernama Saiful Anam. Tetapi, bukan karena Saiful mengucapkan, Wahyu siap membongkar berbagai kejahatan di Pemilu. Melainkan Saiful sibuk mengurus perkara di luar kota. Loh kok bisa?

KPK sendiri melalui Plt Juru Bicaranya, Ali Fikri, berharap Wahyu bisa menjadi
whistle blower kalau pengajuan justice collaboratornya ditolakMajelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun, apakah Wahyu mau atau bisakah Wahyu jadi Whistle blower?

Baik Whistle Blower dan Justice Collaborator telah menjadi hukum positif di negeri. Sebagaimana, telah keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.

SEMA ini adalah turunan dari Undang-Undang nomor 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption 2003 atau dalam bahasa Indonesia nya Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Anti Korupsi. Serta Pasal 10 UU nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Yang membedakan Whistle Blower dan
Justice Collaborator dalam SEMA tersebut adalah, Whistle Blower adalah pihak di luar tindak pidana terorganisir terjadi. Artinya bukan lah pelaku. Baik pelaku utama kejahatan (pleger) maupun yang turut serta melakukan kejahatan (medepleger).

Sedangkan Justice Collaborator adalah pihak yang ikut serta melakukan kejahatan (medepleger) namun telah mengakui melakukan kejahatan dan bersedia membongkar kejahatan secara signifikan. Hal itu pun harus diakui oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagaimana point 9 huruf b dalam SEMA tersebut.

Wahyu sendiri didakwa menerima suap senilai Rp600 juta secara bertahap dari Harun Masiku dan Saeful Bahri. Suap tersebut ditunjukkan agar Wahyu dapat meloloskan keputusan DPP PDI-Perjuangan agar menjadi Harun sebagai Caleg pengganti Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia di tengah prosesi Pemilihan Legislatif.

Harun Masiku dan Nazarudin Kiemas sama-sama Caleg  PDIP Dapil I Sumsel.

Namun, KPU menolak permohonan PDIP dengan alasan suara Riezky Aprilia lebih banyak ketimbang Harun. Riezky pun ditetapkan sebagai anggota DPR terpilih pada 1 Oktober 2019.

Wahyu Setiawan juga disebut menerima Rp 500 juta dari Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan. Uang yang diserahkan oleh Sekretaris KPU Provinsi Papua Barat, Rosa Muhammad Thamrin Payapo bertujuan untuk meloloskan jagoan Dominggus dalam proses seleksi calon anggota KPU Daerah Provinsi Papua Barat periode 2020-2025.

Ketika menerima uang tersebut, Wahyu Setiawan melakukan proses Layering sebagaimana tahapan proses Tindak Pidana Pencucian Uang. Yakni, meminjam rekening istri dan sepupunya bernama Ika Indrayani.

Yang menjadi pertanyaan apakah Wahyu Setiawan bisa disebut sebagai pihak yang turut serta (medepleger)? Sebagaimana, ia ingin menjadi Justice Collaborator ?

KPK sendiri mendakwa Wahyu dengan Pasal 12 huruf a dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.

Does the studio specialize in hair restoration, or is it an add-on service to general hairstyling? There is no right or wrong scenario as to whether a generic type is accessible. super cialis professional Erectile dysfunction is the inability to get or keep an overnight cialis soft erection for longer time during an intercourse activity. The most effective herbal erectile levitra fast delivery recommended for you dysfunction remedies should begin working within 15 minutes after they are taken into the body. So parents and teens bit the bullet and paid personal corporations to show youngsters a way to drive. cost of viagra pill secretworldchronicle.com

Perbedaan antara Pasal 11 dengan Pasal 12 huruf a lebih kepada pemikiran sang pemberi suap. Di Pasal 11 pemberi suap berpikiran bahwa si penerima suap dengan jabatannya dapat membantu kepentingannya. Padahal, lembaga yang dinaungi penerima suap keputusan harus bersifat kolektif kolegial (keputusan secara bersama).

Sehingga, ancaman pidananya adalah 1 tahun hingga 5 tahun dengan denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.

Sedangkan, Pasal 12 huruf a penerima suap tergerak melakukan melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan
kewajibannya; Tak heran ancaman hukumannya lebih berat dari Pasal 11 yakni, paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dengan denda paling sedikit Rp200 juta paling banyak Rp1 miliar.

Sedangkan pihak yang menyuap Wahyu Setiawan seperti Saeful Bahri didakwa dengan Pasal 5 ayat 1 huruf a
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.

Pasal 5 ayat 1 huruf a ancaman hukumnya paling sedikit satu tahun dan paling lama lima tahun penjara. Serta denda paling sedikit Rp50 juta paling banyak Rp250 juta.

Dari sini dapatkah kita simpulkan apakah Wahyu Setiawan pelaku utama ataukah pelaku turut serta?

Mungkin Ini Yang Dimaksud Plt Jubir KPK

Kiprah Ali Fikri dalam dunia penegakan hukum tidak bisa dikatakan anak kemarin sore. Artinya, Ali Fikri sudah banyak mengenyam asam manisnya dunia peradilan.

Sebagaimana, sebelum menjabat sebagai Plt Jubir KPK bidang penindakan, Ali Fikri adalah Jaksa karier yang diperbantukan untuk menuntut penggarong uang negara.

Berdasarkan catatan CNNIndonesia.com, Ali Fikri menjadi JPU beberapa kasus korupsi seperti Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, kasus auditor BPK Sigit Yugoharto terkait PT Jasa Marga cabang Purbaleunyi, dan kasus Dirut PTPN III Dolly Parlagutan Pulungan.

Sehingga tidak mungkin, pernyataan agar mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan menjadi Whistle Blower bila permohonan Justice Collaborator ditolak Majelis Hakim adalah perkataan asal ngecap.

Dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, syarat WhistleBlower bukanlah pelaku tindak kejahatan tidaklah berlaku absolut.

Sebagaimana point 8 huruf b ‘Apabila pelapor Tindak Pidana dilaporkan pula oleh terlapor, maka penanganan perkara atas laporan yang disampaikan oleh pelapor Tindak Pidana didahulukan dibanding laporan terlapor.’

Kemudian ada ketentuan Pasal 41 ayat (5) dan Pasal 42 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Pasal ini menjadi konsideran dari Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Aturan yang ditandatangani pada 17 September 2018 tersebut, sempat menjadi kontroversi karena hadiah bagi masyarakat yang melaporkan adanya kasus korupsi maksimal Rp 200 juta.

Apakah ini yang dimaksud Whistle Blower oleh Ali Fikri untuk Wahyu Setiawan?



















Comments

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini