Wadah PKL Ramah Razia

Standar minimal seorang pedagang kaki lima musti punya gerobak dorong-tarik. Apa itu gerobak dorong dan kenapa? Maksudnya gerobak dorong, bukan cuma gerobak, bukan berupa pedati, tapi sebuah kota besar beroda dua, jarang beroda empat untuk mengangkut barang dagangan, atau sayur atau yang lainnya yg ditarik atau didorong oleh manusia. Gerobak dorong atau tarik dalam konteks ini adalah tempat berdagang. Sejak adanya peraturan pemerintah daerah yang tidak boleh lagi berdagang di trotoar, para pedagang kaki lima bersiasat untuk menggunakan tempat berdagang yang mudah dipindahkan sana sini. Para pedagang itu tetap berdagang di kaki lima hanya tempat berdagangnya menggunakan gerobak. Yang paling nampak menonjol perubahannya adalah adanya penjual kopi dengan sepeda. Itu salah satu antisipasi razia. 

Tempat berdagang yang menggunakan gerobak, apalagi di daerah yang ramai atau pusat kegiatan dagang, seperti pasar sebagai bentuk antisipasi adanya sidak Satuan Polisi Pamong Praja alias Satpol PP yang amat sangat ditakuti. Kalau sedang sidak berlaku tanpa ampun, barang barang pedagang yang tak sempat dibawa lari, akan diangkut ke truk dan dibawa ke kantor Walikota. Kalau mau ambil harus menebus denda. Kok kejam banget sih Satpol PP. Tidak kejam tapi memang tugasnya menertibkan dalam memelihara ketentraman dan ketertiban umum serta menegakkan peraturan daerah. Mereka yang melanggar akan ditindak, atau istilahnya dikenakan hukuman. Karena pedagang kaki lima ini seringkali dianggap mengganggu ketertiban, berjualan di tempat pejalan kaki, yang menyebabkan pejalan kaki harus berjalan di jalan raya yang rawan keserempet kendaraan bermotor. 

Walau Satpol PP makin lama makin canggih dalam melakukan sidak, para PKL karena pengalaman diciduk, dirazia di “aman” kan yang terus menerus, makin lama makin handal dalam hal antisipasi razia. Dua pihak itu sudah sama sama tahu, Satpol PP adalah satuan yang punya tugas di wilayah tertentu, semua pedagang yang berada di lokasi yang sama dengan satpol pp, akan kenal. Pada dasarnya mereka saling kenal, dan kadang saling bercanda. Tapi kenapa kalau sedang tugas pembersihan, satpol pp berlaku keras? Tidak juga demikian ceritanya. Setiap kali akan melakukan razia, para pedagang sudah tahu, dari ujung blok yang paling jauh dari seorang pedagang, dia sudah tahu satpol pp ada di sana, dan diperkirakan akan sampai di tempatnya satu jam lagi. Baginya cukup waktu untuk siap siap kukut kukut barangnya masukkan ke gerobak, dan menyingkir dari situ. 

Kadang kadang, belum sampai di tempatnya, sudah selesai kegiatan razia satpol pp, jadi tak perlu si pedagang kukut kukut. Kadang yang menyakitkan adalah para satpol pp yang melakukan razia adalah orang baru, atau orang orang yang sebelumnya bertugas ditempat lain, lalu dimutasi ke tempat ini. Karena nggak mengenal, para satpol pp berlaku sesuai aturan, yang berdagang di trotoar langsung barang barangnya dimasukkan ke truk. 

Pasang mata dan telinga, sambil terus ramah dengan pembeli. Itu cara budaya yang sudah dilakukan sehari hari bertahun tahun. Berdagang di kaki lima bukannya nggak dipajakin. Kaki lima itu “milik” seseorang, yang biasa dibilang preman, atau keamanan. Untuk bisa menempati trotoar situ harus memberi kompensasi setiap hari. Tidak resmi karena uangnya tak masuk dalam kas pemerintah daerah. Resmi, karena tanpa itu, si pedagang tak bisa berjualan di situ.

Disadari atau tidak, pedagang kaki lima itu mengembangkan kebudayaan berdagang di kaki lima. Pertama, dia berjualan dengan harga yang relatif lebih murah dibanding harga di toko. Harga barangnya adalah harga tawar menawar. Beruntung kalau harganya masih untung, artinya diatas harga modal. Sering kali harus balik modal daripada tidak laku sama sekali. Pedagang Kali lima, walau dengan gerobak menempati tempat yang ilegal. Tempat yang bukan seharusnya sebagai tempat berdagang. Karena ilegal, dia harus membina hubungan dengan keamanan setempat. Intinya supaya selama berdagang tidak “diganggu”. Pedagang juga harus pasang mata dan telinga menghadapi razia yang mendadak. Setidaknya tiga hal pokok itu yang menjadi sistem pengetahuan pedagang kaki lima. 

But alas! I failed every viagra prices time. brand viagra mastercard Rheumatologists are the doctors who specialize in Rheumatic illnesses. Consequently, increasingly trials result to be able to fully satisfy http://secretworldchronicle.com/tag/dennis-lee/ order viagra prescription your partner and ensure there are no intimacy issues in your relationship. If you are getting older and feeling some erection problems free viagra pills then you should take the one pill of Kamagra Australia.

Kadang ada berita yang sekedar tipu atau hoaks. Misalnya ada berita pembersihan, ternyata berita itu tak selalu menjadi kenyataan. Kadang berita yang meragukan membuat konsentrasi pedagang amburadul. Siasat seperti ini pasti diketahui oleh pedagang. Pengalaman atau tidaknya berdagang diketahui dari caranya mereka menanggapi berita. Misalnya kalau beritanya dari orang yang tak dikenal, bakalan tak digubris. Sulaiman PKL berpengalaman bilang “Mana ada pedagang yang lari tunggang langgang gara gara berita razia yang hoaks. 

Para pedagang itu tidak cemas atau khawatir dengan perilaku satpol pp yang bolak balik lewat depan dagangannya. Itu bagi mereka sudah biasa. Memang tugas satpol pp yang mondar mandir mengawasi ketertiban pedagang. “Mereka itu hanya lewat, tidak melakukan razia.”

“ada waktu tertentu merazia PKL. Kita tidak tahu jadwalnya, karena selalu mendadak. Tapi pas waktunya akan ada berita dari mulut ke mulut. Berita beranting dari ujung PKL di sebelah sana sampai ujung PKL sisi yang berbeda. Berita dari mulut ke mulut itu cepat sekali, dan cukup waktu kalau memang harus membenahi dagangannya. 

Cepat pula antisipasi, seperti terjadi beberapa saat lalu, “di depan bank itu, di dekat stasiun kota sudah ada dagangan yang diangkut truk bak terbuka”, lalu sekejap saja para PKL mendorong atau menarik gerobaknya, menjauh dari jangkauan operasi. “paling sejam dua jam, setelah razia selesai, PKL kembali lagi.”

PKL bakalan kembali lagi ke tempatnya berdagang. “Tidak Kapok” tentu saja tidak akan kapok. Toh razia hanya sebentar saja, selebihnya bisa bebas berdagang. Apakah para pedagang itu mau pergi selamanya setelah pengalaman kena razia? Tentu saja mereka tak mau pergi selamanya. 

Tempat dagang itu  adalah sumber penghasilannya. Walau digusur terus menerus, selagi masih bisa bertahan, gak bakalan pergi. Mereka hanya membenahi alat berdagangnya, jangan sampai kena razia sampai tak berkutik alias alat atau barang dagangannya diangkut truk. Tidak perlu  penjelasan yang rumit kenapa para pedagang itu tidak mau pergi? sebab itu sumber hidup, sebab itu cara membiayai keluarganya..

Comments

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini