Kata Siapa Jakarta Tak Punya Tujuan Wisata

Begitu yang sering diungkapkan oleh teman teman, rekan kantor, handai taulan tentang Jakarta. Entah karena tinggal di Jakarta, entah karena nggak sadar bahwa banyak tempat yang bisa dikunjungi, sebagai hiburan ringan, sedang maupun berat. Sewaktu kecil, tahun 60 an, Jakarta tak sepadat sekarang. Jalan jalan ke mana saja bisa dengan lancar dan tanpa stress. Baru Ancol, Kota Tua, Pelabuhan Sunda Kelapa, Stasiun Tanjung Priok, Museum, Pasar Minggu, Ragunan, banyak lagi tempat wisata. Sampai sekarang tempat tempat itu masih ada. 

Saya menelusuri salah satu tempat wisata yang terkenal karena bangunan tua, jaman hindia belanda masih berdiri kokoh. Baru satu tempat saja, saya sudah kecapean. O ya, sebaiknya gunakan transportasi umum daripada bawa mobil pribadi. Ceritanya tentang jalan jalan sebagai wisatawan, saya mulai dari Kota Tua. Ceritanya seperti di bawah ini.

************

Dengan menenteng kamera, saya menuju ke Kota Tua, daerah tujuan wisata di Jakarta yang amat popular, Bangunan peninggalan Hindia Belanda masih kokoh berdiri di sana, tambah lagi ada sepeda sewaan yang warna warni, orang di cat warna tembaga, penjaja, pedagang kaki lima, belum lagi turis wisnu dan wisman, saling foto, selfie. Pokoknya ramai, saling melihat sesama wisatawan. Ada museum, bangunannya bekas kantor Gubernur Jendral zaman Hindia Belanda yang selalu jadi objek foto. Bukan tak pernah kesana, tapi tak bosan bosan jadi wisatawan tujuan kota tua.

Kamera saya menggunakan lensa manual 35mm f2 yang sudah terpasang di kamera. Ada satu lensa standar portrait yang persediaan di tas. Lensa ini untuk memotret orang yang saya anggap penting dalam cerita tentang perjalanan wisata di Kota Tua.  

“Kok lu demen banget pake 50mm, lensa fixed, alias tidak bisa zoom kalo diperlukan.”

Enteng saja dia jawab “kalo mau zoom, objeknya deketin aja. Kalo nggak zoom ya menjauh.” Jadi inget kata kata fotografer perang yang terkenal itu.

Trans Jakarta, bis transportasi umum yang populer di jakarta, selain murah, melalui berbagai jalur seluruh jakarta, Asal tak keluar dari halte, ongkosnya hanya 3,500 rupiah. TJ sudah sampai dukuh Atas, belum ada obyek yang menarik difoto. Padahal duduk samping jendela bersih yang besar. Mau motret bangunan, sudah sering. Sudah banyak stok di laptop, mau cari obyek yang belum ada stok. “Nah ini dia, ada kerumunan orang, menutupi sebagian jalan depan HI”. Rupanya demo. Berantas Korupsi. Hukum berat koruptor.” Begitu tulisan di spanduk di mobil maupun yang dibawa para demonstran yang jalan kaki. Makin lama makin jelas bahwa pemerintah tidak memihak ke rakyat kecil.” Kata penumpang yang duduk di belakang. “Ah nggak juga” kata sebelahnya.” Apanya yang nggak memihak ke rakyat”. Itu buktinya korupsi nggak diberantas.?”

“Sudah banyak yang ditangkap tangan mau sogok pejabat.”

“tapi buktinya hukumannya ringan, dihukum tapi penjaranya beda, lebih enak, pake ac, kamar mandi pake air panas, mewah. Padahal dia sudah ketahuan korupsi milyaran rupiah.” Kata yang pertama nggak mau kalah.

“Ya, yang didemo harusnya hakim yang kasih hukuman terlalu ringan. Bagian hukum kan beda dengan eksekutif. Kata temannya berusaha menjelaskan.

Saya nggak kepengen nguping lagi. Biar saja mereka berdebat soal itu. Saya asik mengambil gambar kerumunan yang demo. Hanya berdoa semoga jalur busway tetap lancar. Seringkali kerumunan demo meluas sampai memakai jalur busway sehingga menghambat gerak TJ. Kawan saya pernah cerita dia sampai rumah tengah malam, gara gara jalur busway dipakai untuk kerumunan, akhirnya jalur dialihkan. Pengalihan jalur tidak menjadikan jalanan lancar sebab semua kendaraan juga dialihkan ke jalur yang sama.

Syukur, akhirnya TJ melewati bundaran HI. TJ langsung lancar. Pemberhentian di halte sarinah, motret motret orang orang yang jalan di trotoar. Laki dan perempuan berjalan beriringan, ada yang satu satu, ada yang bergerombol. Saya menghabiskan puluhan jepretan. Untungnya teknologi kamera sekarang berkembang cepat. Kamera tidak menggunakan roll film tetapi kartu memori, nggak suka gambar tinggal dihapus saja. Membayangkan kalau masih menggunakan roll film, sudah tiga roll minimal saya habiskan untuk memotret orang berjalan di trotoar.

Mau turun di harmoni, ragu ragu. Lanjutkan saja sampai pemberhentian terakhir di stasiun kota. Kembali motret para pedagang kaki lima di sepanjang jalan Hayam wuruk. Ada jualan makanan, kelontong, koper tas. Bosan motret, simpan kamera di tas, siap siap turun di halte terakhir.

Di trotoar depan museum Bank, saya.ambil.beberapa foto pedagang kaki lima, sambil jalan, terus motret. Pedagang batu cincin, menarik perhatian. Warna warni batunya menarik untuk difoto. Penjualnya seorang ibu.

“Tumben kok jualan batu cincin bu.” Saya menyapa sambil foto penjualnya. Dia menutup wajahnya, “saya jangan di foto. Jelek.”

“Suami lagi pergi, saya jagain saja. Bentar lagi juga datang. Mau ketemu temennya, ada bisnis baru.” Katanya.

“Bagus bagus batu cincinnya, kata saya basa basi.

Itu suami yang pilihin. Mau beli Om?

Nggak, saya sudah banyak di rumah.

“Om wartawan? Mau dimasukin koran?”

“Nggak saya cuma hobi motret saja, dan sedang jalan jalan di Kota Tua untuk memotret bangunan tua”

Saya permisi, bilang terima kasih, mau lanjut ke kota tua.

This is what every female deserves from wholesale cialis her partner. With a proper faith and teaching generic viagra sale methods, we can improve them much batter. Therefore, patients should take a timely and proper blending of the on line levitra robertrobb.com medicine. Love levitra fast shipping making would feel like a curse when impotence triggers a person.

“Iya di sana banyak tukang foto kayak om.”

“Iya, saya mau lihat lihat tukang foto itu.” Sambil jalan menjauh dari pedagang batu cincin.

Sambil jalan lihat gelaran pedagang. Lalu menengok ke pinggiran jalan, ambil gambar pedagang batagor dengan gerobaknya. Ada tiga gerobak dagang di situ. Gerobak gorengan, keripik kentang dan siomay. Mau beli, tapi belum terlalu lapar. Nanti saja kalau ada soto tangkar. Salah satu favorit makanan Jakarta.

Menelusuri trotoar kota tua, penjajahnya lebih variatif. Ada jasa tato, lukis cepat, foto bersama, ada band, main musik keras, bikin suasana panas di cuaca mendung.

Cari tempat duduk di luar di salah satu cafe di situ. Tak jauh ada kelompok fotografer sedang diskusi soal hasil pemotretan model. Modelnya juga ikutan diskusi, dua perempuan masih muda. Samar samar ada yang ngomong, angle nya mesti geser geser. Kalo nggak pas rada geser kiri kanan Maunya begitu, tapi tadi banyak banget yang motret, ruang motretnya jadi desek desekan. Mesti gantian.

Saya perhatikan, kameranya rata rata bagus, lensanya semua pake lensa baru, zoom. Rasanya pengen ikutan nimbrung dan lihat hasil bidikan mereka. Ah biarlah, toh saya nggak terlalu tertarik dengan potret foto model. Saya lebih tertarik motret candid, di jalanan. Fotografer bilang itu street photo.

“Mau pesan apa om?”

Ada kopi robusta?

Di sini kopi nya, dia menyebut istilahnya, tapi saya nggak ngerti. Lalu menegaskan lagi. Ada robusta? Nggak ada om. Di sini arabica campur, lagi dia sebut istilahnya, tapi gak jelas, jadi diam saja. Nanti saja cek di google siapa tau ketemu istilah itu, walaupun nggak penting amat tahu.

Warung kopi di jakarta tumbuh dengan cepat. Masing masing warkop punya ciri sendiri, dengan gaya promosinya. Ada soal biji kopi yang organik, sampai pengolahan dengan mesin pembuat kopi yang canggih agar mampu mempertahankan aroma dan rasa kopi original. Temanku yang ahli kopi bilang air panasnya 90 derajat, tidak boleh pake gula, atau campuran apapun, lalu minumnya dihirup, sruup, di situ ketahuan kopi enak atau tidak. Apapun yang diceritakan temanku itu, rasanya hebat sekali. Buat saya kopi biasa saja, bubuk saja sudah cukup, diguyur air mendidih, pake gula secukupnya, sudah nikmat. Lebih nikmat lagi dengan jajanan pisang atau singkong goreng. Kalau saya lebih suka dengan jajanan wajik atau cucur.

“Jadi nggak ada robusta?”

“Apa om mau americano, biasanya banyak yang suka.”

Nggak usah deh. Saya cek harga americano 20 ribu plus plus. Lebih baik ngopi di angkringan. Tiba tiba teringat kota Yogyakarta. Ngopi di angkringan rasanya nikmat. Kopi robusta di toples, dua sendok Kecil, sendoknya bengkok, supaya lebih cepat menyerok kopi dalam toples. Biasanya ditanya penjualnya, “kopi manis mas?”

“Sedeng aja pak?”

Masukan dua sendok kecil gula, lalu tuang air dari teko yang selalu dirajang di atas bara api.

“Monggo mas?”

Satu gelas kecil kopi dengan lepek, sudah ada di meja panjang depan saya. Sambil makan gorengan yang bertumpuk depan saya. Ada tempe goreng tepung, bakwan, tahu isi, ubi singkong goreng. kalau pagi ada jajanan pasar, titipan orang, biasanya ada tahu dan tempe bacem, ada nasi kucing isinya ada ikan ada daging. Tak banyak nasi nya tak banyak pula daging atau ikannya. Nikmat.

Mungkin saya termasuk kategori orang yang sulit berubah. Dari dulu kalo ngopi yang senangnya di warung kopi yang rasanya seperti kaki lima. Biar tidak menggunakan gerobak dan pedagang kaki lima, tapi rasa dan jajanan mesti seperti itu. Di warteg ada yang menjual kopi dengan jajanan. Makanya lebih suka warteg daripada cafe. Jajanan cafe tidak mengundang selera.

Terpaksa meninggalkan cafe. Rasa sungkan duduk di situ tanpa pesan. Mungkin pelayannya juga disuruh supaya terus tanyakan pesanan. Duduk di situ tanpa pesan, akan merugikan. Harusnya ada orang lain yang seharusnya duduk di situ, tapi nggak jadi, karena ada saya. Bayangkan seandainya orang itu, katakan berempat pesan kopi atau lainnya lalu pesan makanan, berarti cafe akan lebih untung berkali lipat.

Jalan menyusuri kota tua, mengambil jalan arah asemka, foto sana sini para pedagang, orang bergerombol, mengelilingi penjual obral pakaian, ada pula sepatu, aksesoris handphone, tas belanja yang super besar dengan lukisan kota tua, ada pula yang jualan kalender, buku alat tulis, aksesoris perhiasan, kalung cincin gelang aneka warna.

Mendekati petugas kebersihan yang sedang menggali, katanya mau mengganti gorong gorong. Hanya dua orang yang bekerja, sisanya duduk menikmati rokok dan kopi. Ambil beberapa gambar di situ, foto yang sedang bekerja dan foto pekerja yang duduk santai. Berapa lama bekerja bongkar ganti gorong gorong, sambil membayangkan seperti apa China membuat rumah sakit dalam tempo sepuluh hari.

Lelah jalan keliling, memutuskan kembali ke halte TJ, menunggu tak lama, lalu naik, hanya kurang dari sepuluh menit, turun di halte harmoni, naik. jurusan UKI lewat kampung melayu, turun di UKI, pindah TJ lalu turun di Halte BKN. Nunggu cukup lama, TJ yang jurusan ke cibubur jarang, padahal penumpangnya banyak. Dengan desak desakan akhirnya naik. Nggak dapat tempat duduk. Kalau normal, hanya butuh waktu 15 menit paling lama sampai halte cibubur.

Hanya mengunjungi satu tempat wisata Kota Tua saja mendapat banyak cerita. Dari Kakilima, sampai gedung tua. Siapa bilang Jakarta tak ada wisata. Benar kata banyak orang, Jakarta tak ada matinya.

Comments

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini