Visum et Repertum dan Informed Consent Keluarga dalam Autopsi Jenazah Korban

Akhir-akhir ini kita disuguhi oleh isu dugaan adanya penyimpangan dalam kematian Brigadir J atau Brigadir Novriansyah Joshua Hutabarat. Masyarakat dikejutkan dengan fakta bahwa keluarga tidak diizinkan untuk membuka peti jenazah sama sekali oleh salah satu perwira penegak hukum dan keluarga juga merasa tidak dilibatkan (tidak diberitahukan atau dimintakan izin) dalam proses Autopsi dan tidak di-mintakan izin terlebih dahulu. Sehingga dugaannya informasi terkait dengan kematian hanya diperoleh dari sepihak semata tanpa adanya keterlibatan keluarga. Bagaimana bisa demikian? dan apakah memang dalam membuat Visum et Repertum Penyidik dan ahli forensik waib mendapatkan Informed Consent dari Keluarga dalam Autopsi Jenazah Korban?

Namun disini Penulis ingin menekankan bahwa sebagai pengamat hukum penulis tidak akan membahas kejanggalan-kejanggalan dalam kasus ini. Melainkan hanya membahas dari penerapan prosedur dari perspektif peraturan perundang-undangan dan menghubungkannya dengan fakta yang tertulis di berita- berita online. Disini juga penulis tidak akan mencoba mengambil alih kewenangan penyidik apakah prosedur sudah dilakukan dengan benar atau tidak. Jadi pembahasan kali ini murni kajian singkat dan edukasi saja tanpa harus menyinggung pihak manapun. Karena kita harus menerapkan asas praduga tak bersalah dan penerapan Pasal 6 ayat (2) Undang – Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa: “Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut Undang – Undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.”

Apa sih Visum et Repertum itu?

Uniknya pengertian visum et repertum ini tidak diatur dalam atau tidak didefinisikan oleh KUHAP ataupun KUHP. KUHAP hanya mengatur dalam Pasal 133 ayat (1) bahwa penyidik berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainya. Namun Staatsblad 1937 Nomor. 350 (Undang-Undang zaman Hindia Belanda) mengatur pengertian ini, dimana berdasarkan peraturan tersebut diatur bahwa Visum et Repertum (V.e.R) adalah:

suatu keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter atas sumpah atau janji tentang apa yang dilihat dan ditemukan pada hendak yang diperiksanya, yang mempunyai daya bukti yang sah di pengadilan,
dan dibuat berdasarkan pengetahuan sebaik baiknya.

Staatsblad 1937 No.350

Pada dasarnya Visum et repertum atau bahasa inggrisnya disebut dengan post-mortem forensic merupakan dokumen resmi yang berisi laporan singkat penyidik tentang apa saja yang didapatkan dari pengamatan terhadap jenazah korban. Visum et repertum merupakan laporan resmi penyidik tentang keadaan jenazah korban dan hasil pemeriksaan serta perawatan suatu tempat. Visum et repertum dilakukan oleh dokter ahli, termasuk penunjung forensik dokter gigi untuk memeriksa kerusakan gigi sebagai upaya untuk mengidentifikasi korban. Pada visum et repertum dicantumkan identitas, kekerabatan orang yang dimintai izin oleh polisi, serta identitas pelaksana otopsi Hak keluarga dalam autopsi korban adalah hak akan informasi tentang apa saja yang terjadi saat proses visum et repertum.

Visum et Repertum itu tujuannya apa?

Jadi Autopsi atau juga sering disebut dengan Bedah mayat forensik perlu dilakukan untuk pengungkapan suatu perkara pidana yang melibatkan terjadinya kematian terhadap korban yang disebabkan karena pembunuhan, pemerkosaan, penganiayaan dan sebagainya. Sehingga perlu dilakukan Bedah mayat forensik atau visum et repertum dalam rangka mencari kebenaran materiil, sehingga membuat terang dalam pemeriksaan disidang pengadilan. Tujuannya untuk mengetahui apakah kematian korban disebabkan adanya tindakan kekerasan dari orang lain atau mati karena alamiah (natural death), sehingga kematian atas korban tersebut menjadi terang demi tercapainya kebenaran materiil. Jadi kata kuncinya adalah mencari kebenaran materil dengan menggunakan media bedah forensik yang dilakukan oleh ahli bedah forensik.

Apa Perlu Mendapatkan Izin (Informed Consent) dari Pihak Keluarga Korban Untuk Dilakukan Bedan Mayat Forensik?

Nah ini memang masih menjadi perdebatan tergantung interpretasi masing-masing pihak. Tapi penulis hanya akan membahas dari perspektif penulis. Menurut penulis dengan menyadur peraturan perundang-undangan, Keluarga wajib diberitahukan oleh Penyidik jika autopsi dilakukan, tapi jika keluarga menolak penyidik hanya wajib memberi keterangan secara jelas. Sehingga consent keluarga untuk penyidik dalam melakukan bedah forensik terhadap jenazah hanya sebatas pemberitahuan kepada keluarga dan jika tidak ada tanggapan sekalipun tetap bisa diteruskan namun harus menjelaskan secara alasan dilakukannya bedah forensik kepada keluarga korban. Sebagaimana diatur dalam pasal 134 KUHAP yang berbunyi:

  1. Dalam hal sangat diperlukan dimana untuk keperluan pembuktian Bedah mayat forensik tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban;
  2. Dalam hal keluarga korban keberatan, penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukan pembedahan tersebut;
  3. Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang perlu diberitahu tidak diketemukan, penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat (3) undang-undang ini.

Akan tetapi untuk dokter ahli forensik yang membedah tetap harus mendapatkan consent informed dari keluarga. Apa lagi untuk korban yang meninggal secara tidak wajar, jika tidak mendapatkan informed consent tersebut, maka akan ada konsekuensi yuridis akan ditanggung oleh ahli forensik tersebut.

Padahal berdasarkan Pasal 133 KUHAP, dokter forensik berkedudukan sebagai ahli terhadap pihak penyidik dan di depan persidangan mengenai sebab-sebab kematian korban. Sehingga Penyidik disini bukan sebagai posisi sebagai pihak ahli dalam melakukan bedah forensik, tapi diberikan kewenangan oleh peraturan perundang-undangan untuk tetap menyelanggarakan bedah forensik terhadap jenazah tanpa harus mendapatkan informed consent terlebih dahulu dari pihak keluarga.

Akan tetapi apabila dokter melakukan tindakan bedah mayat tanpa adanya informed consent sebelum pihak keluarga memberikan persetujuan, secara hukum tindakan dokter tersebut dapat dikenakan sanksi hukum. Hal ini berdasarkan Pasal 1 Permenkes RI No. 585/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik, yang menyatakan persetujuan tindakan medis atau informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Dari ketentuan Permenkes tersebut jika dihubungkan dengan proses Bedah mayat forensik, maka dokter ahli forensik dalam melakukan tindakan Bedah mayat forensik haruslah mendapat persetujuan dari pihak keluarga terlebih dahulu.

Selain itu, consent tersebut juga diwajibkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004, tentang Praktik Kedokteran, dimana dalam pasal 45 ayat (1) ditentukan bahwa dokter yang melakukan tindakan kedokteran harus mendapatkan persetujuan dari yang berhak memberikan persetujuanyakni pasien yang bersangkutan atau keluarganya (Penjelasan Pasal 45). Persetujuan ini penting karena informed consent merupakan hal mendasar yang harus dilakukan dokter sebelum melakukan tindakan medis khususnya dalam melakukan tindakan Bedah mayat forensik.

Dalam pasal 45 ayat (3) dokter harus memberikan penjelasan tentang tindakan medis. Dihubungkan dengan Bedah mayat forensik, maka dokter sebelum melakukan tindakan Bedah mayat forensik harus memberikan penjelasan dan pengarahan bersama penyidik terhadap pihak keluarga tentang pentingnya tindakan Bedah mayat forensik guna kepentingan penyidikan dalam mengungkap suatu perkara pidana.

Nah, apabila dokter dalam melakukan tindakan Bedah mayat forensik ini tidak mendapatkan persetujuan dari pihak keluarga, maka secara yuridis dokter ahli forensik tersebut melanggar pasal 45 Undang- Undang Nomor. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Maka pihak keluarga yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan dapat mengadukan dokter ahli forensik tersebut ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia untuk selanjutnya diperiksa dan diputuskan untuk diberikan sanksi disipilin yang salah satunya adalah rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik (Pasal 69 ayat 3).

Semoga bermanfaat!

Ada Pertanyaan Sehubungan dengan Visum Et Repertum?

Jika Anda menginginkan pendampingan untuk melakukan Visum et Repertum atay hanya ingin berkonsultasi sehubungan dengan Visum et Repertum, jangan sungkan sungkan menghubungi kantor hukum kami dengan menghubungi nomor handphone 08118887270 (juga nomor whatsapp). Kami bersedia membantu anda dengan setulus hati.

About the Author

Obbie Afri Gultom, SH, MA, LLM, CHFI, is the Editor-in-Chief at "Gultom Law Consultants", now a part of Gading and Co, a leading firm in corporate management and consulting. A graduate of Erasmus University Rotterdam in 2019 through the StuNed scholarship program, he completed his Master of Law at the University of Auckland in 2022. With four years of experience in Corporate Business Law, including two years in the private sector and two years in a law firm, along with nine years in State Financial Law and Public Audit as an Auditor, Obbie possesses deep expertise in contract writing and review, legal research, merger and acquisition processes, corporate management, Good Corporate Governance (GCG), and public auditing. Additionally, he has three years of experience as a Development Policy Researcher at Erasmus University Rotterdam. For professional services, Obbie Afri Gultom can be contacted via WhatsApp at 08118887270.

Author Archive Page

Comments

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini