Sulitnya melakukan peradilan AD-HOC Di Indonesia

Proses pembentukan hukum pidana nasional yang sekarang terus berlangsung, terutama dalam bentuk legislasi undang gundang di luar KUHP maupun Rancangan KUHP, tidak bisa dilepaskan dari alasan alasan yang bersifat ideologis, politis dan sosiologis. Disamping alasan tersebut, bedasar kajian yang komprehensif, terdapat pula alasan-alasan lain yang juga cukup penting seperti alasan adaptasi bahwa hukum pidana nasional masa datang harus menyesuaikan dengan perekembangan-perkembangan baru di dunia internasional yang sudah disepakati oleh masyarakat internasional.

Permasalahan internasional yang sangat menonjol pada dekade terakhir ini mengenai masalah hak asasi manusia (HAM). Di Indonesia penegakan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia di nilai telah mencapai kemajuan berdasarkan telah disahkannya undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Dengan di buatnya undang- undang ini Indonesia berwenang untuk mengadili para pelaku pelanggaran HAM dan juga pengadilan HAM ad hoc.

Kedua pengadilan tersebut sebenarnya masih sama-sama merupakan pengadilan untuk perkara HAM yang berkedudukan didalam lingkungan Peradilan Umum. Namun tentunya Pengadilan Khusus HAM dan Pengadilan HAM Ad Hoc memiliki wewenang atau kedudukannya masing-masing. Perbedaan yang mendasar dari kedua pengadilan tersebut adalah dari jenis perkara yang di tangani.Perbedaan yang pertama dapat dilihat dari jenis perkara yang ditangai, walaupun memang keduanya sama-sama menangani perkara HAM berat. Pengadilan Khusus HAM di Indonesia yang diselenggarakan dalam lingkungan Peradilan Umum diadakan untuk pelanggaran HAM berat yang terjadi setelah berlakunya UU No. 26 Tahun 2000. Sedangkan untuk Pengadilan HAM Ad Hoc yang diselenggarakan adalah untuk pelanggaran HAM berat yang waktu terjadinya sebelum mulai berlakunya UU No. 26 Tahun 2000.

Dalam prakteknya, pengadilan HAM ad hoc ini mengalami banyak kendala terutama berkaitan dengan lemahnya atau kurang memadainya instumen hukum. UU No. 26 Tahun 2000 ternyata belum memberikan aturan yang jelas dan lengkap tentang tindak pidana yang diatur dan tidak adanya mekanisme hukum acara secara khusus. Dari kondisi ini, pemahaman atau penerapan tentang UU No. 26 Tahun 2000 lebih banyak didasarkan atas penafsiran hakim ketika melakukan pemeriksaan di pengadilan. Selain itu terdapat  kesulitan dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu dalam pencarian bukti untuk meningkatkan penanganan kasus hingga ke tahap penuntutan.

faktor yang mempengaruhi mengenai sulitnya dalam Melakukan  Pengadilan Ad-hoc di Indonesia

Membicarakan Hak Asasi Manusia (HAM) berarti membicarakan dimensi kehidupan manusia. HAM ada bukan karena diberikan oleh masyarakat dan kebaikan dari Negara, melainkan berdasar martabatnya sebagai manusia (Franz, 2001). Kini HAM diperbincangkan dengan intens seiring dengan intensitas kesadaran manusia atas hak yang dimilikinya. Ia menjadi actual karena sering dilecehkan dalam sejarah manusia sejak awal hingga kurun waktu kini (Abdul, 2002). Bila dikaji secara etimologi, hak merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman perilaku, melindungi kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjaga harkat dan martabatnya.Sedangkan yang dimaksud dengan asasi berarti yang bersifat paling mendasar atau fundamental. Dengan demikian maka hak asasi berarti hak yang paling mendasar yang dimiliki oleh manusia sebagai fitrah, sehingga tidak satu pun makhluk atau siapa pun dapat mengitervensinya apalagi mencabutnya. Misalnya hak hidup, yang mana tak satu pun manusia memiliki kewenangan untuk mencabut kehidupan manusia lain.

Berbagai pelanggaran HAM yang terjadi belum pernah terselesaikan secara tuntas sedangkan gejala pelanggaran kian bertambah. Penyelesaian kasus Tanjung Priok, DOM Aceh, Papua dan kasus pelanggaran HAM berat di Timor-timur selama pra dan pasca jajak pendapat belum ada yang terselesaikan. Atas kondisi ini sorotan dunia internasional terhadap Indonesia sehubungan dengan maraknya pelanggaran HAM yang terjadi kian menguat terlebih sorotan atas pertanggung jawaban pelanggaran HAM yang terjadi di Timor-timur selama proses jajak pendapat.

Dalam prakteknya jika melihat bekerjanya sistem peradilan pidana dinegara hukum Indonesia ini, belum mampu memberikan keadilan yang subtansial. Keterkaitan dengan kebijakan yang formal/legalistic seringkali dijadikan alasan. Peradilan sering kali memberikan toleransi terhadap kejahatan-kejahatan tertentu, dengan konsekuensi yuridis pelaku kejahatannya harus dibebaskan. Termasuk terhadap kejahatan atau pelanggaran HAM berat ini (Krist 2000). Ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia yang berkaitan dengan pelanggaran HAM yang berat juga mengatur tentang jenis kejahatan yang berupa pembunuhan, perampasan kemerdekaan, penyiksaan/penganiayaan, dan perkosaan. Jenis kejahatan yang diatur dalam KUHP tersebut adalah jenis kejahatan yang sifatnya biasa (ordinary crimes) yang jika dibandingkan dengan pelanggaran HAM yang berat harus memenuhi beberapa unsur atau karakteristik tertentu yang sesua idengan Statuta Roma 1999 untuk bisa diklasifikasikan sebagai pelanggaran HAM yang berat.

Bahwa pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat telah diupayakan oleh Pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang dinilai tidak memadai, sehingga tidak disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menjadi Undang-Undang, dan oleh karena itu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut perlu dicabut. Berdasarkan pertimbangan diatas maka Pengadilan HAM perlu dibentuk. Undang-undang No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan ini memberikan 2 mekanisme untuk penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat. Pertama adalah mekanisme pengadilan HAM ad hoc untuk pelanggaran HAM masa lalu sebelum adanya undang-undang ini, artinya untuk kasus-kasus yang terjadi sebelum tahun 2000 maka akan dibentuk pengadilan HAM ad hoc. Kedua adalah pengadilan HAM yang sifatnya permanen terhadap kasus setelah terbentuknya UU No. 26 Tahun 2000.

Adanya pengadilan HAM ad hoc didasarkan pada Pasal 43 UU No. 26 tahun 2000. Ayat (1) menyatakan bahwa pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh pengadilan HAM ad hoc lalu diperjelas di Ayat (2) pada pasal yang sama bahwa pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan presiden. Dan pada ayat (3) menyatakan bahwa pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada dalam pengadilan umum. Dalam penjelasannya, Dewan Perwakilan Rakyat yang juga sebagai pihak yang mengusulkan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc mendasarkan usulannya pada dugaan terjadinya pelanggaran HAM yang berat yang dibatasi pada locus delicti dan tempos delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini.

cialis on line As mentioned earlier, timing is a critical factor. Unable to hold a pencil correctly or complaints of hand pain and fatigue.Unable to use utensils to eat, has trouble dressing like others of buy viagra online his/her age.Reacts negatively to stimuli in the environment such as sounds, bright lights. According to the survey close to 60 percent of men took more than three medications, and 25 percent took at least 10 medications. cheapest viagra tabs Why do you think that so many guys are looking for, it leverages literally years and years of order generic cialis research and testing by the world’s top pharmaceutical companies, one would safely assume that both drugs are a bit expensive.

 Ketentuan tentang adanya bebarapa tahap untuk diadakannya pengadilan HAM ad hoc terhadap kasus pelanggaran HAM yang berat yang berbeda dengan pengadilan HAM biasa.. Ketentuan Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000 tidak mengatur secara jelas mengenai alur atau mekanisme bagaimana sebetulnya proses perjalanan pembentukan pengadilan HAM ad hoc setelah adanya penyelidikan dari Komnas HAM tentang adanya pelanggaran HAM yang berat. Pengalaman pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM berat di Timor-timor menjelaskan bahwa mekanismenya adalah Komnas HAM melakukan penyelidikan lalu hasilnya diserahkan ke kejaksaan agung, Kejaksaan agung melakukan penyidikan. Hasil penyidikan diserahkan ke Presiden. Presiden mengirimkan surat ke DPR lalu DPR mengeluarkan rekomendasi. Kemudian Presiden mengeluarkan keppres yang melandasi dibentuknya pengadilan HAM ad hoc.

Lalu pada pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa hukum acara yang digunakan adalah hukum acara yang berdasarkan hukum acara pidana kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. Hal ini berarti hukum acara yang akan digunakan untuk proses pemeriksaan dipengadilan menggunakan hukum acara dengan mekanisme sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) namun terdapat kekhususan dalam penanganan pelanggaran ham berat dalam UU No, 26 Tahun 2000 yaitu seperti diperlukannnya  penyelidik dengan membentuk tim ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut ad hoc, dan hakim ad hoc, diperlukannya  penegasan bahwa penyelidik hanya dilakukan oleh komisi nasional hak asasi manusia sedangkan penyidik tidak berwenang menerima laporan atau pengaduan sebagaimana diatur dalam KUHAP, diperlukannya  ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan, diperlukannya ketentuan mengenai perlindungan korban dan saksi, diiperlukan ketentuan mengenai tidak ada kadaluarsa pelanggaran HAM yang berat.

Pasal 44 UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa pemeriksaan di pengadilan HAM ad hoc dan upaya hukumnya dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini hal ini berarti bahwa hukum acara yang digunakan dalam pengadilan HAM ad hoc sama dengan ketentuan yang digunakan dalam pengadilan HAM yaitu menggunakan ketentuan dalam UU No. 26 Tahun 2000. Seperti halnya dengan Pengadilan HAM, ketentuan mengenai hukum acara yang digunakan juga mengacu pada Pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000 yang mensyaratkan digunakannya ketentuan dalam KUHAP kecuali yang ditentukan secara khusus dalam UU No. 26 Tahun 2000. Hukum acara yang digunakan dalam pengadilan HAM ad hoc dalam prakteknya ternyata juga mengalami beberapa hambatan seperti Jangka Waktu Penyidikan dan Penuntutan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Adanya limitasi jangka waktu untuk proses penyelidikan dan penuntutan menjadi batasan bagi pihak penyidik dan penuntut umum untuk melakukan proses penyidikan dan penuntutan, ketentuan tentang jangka waktu ini terdapat ketidakjelasan mengenai jangka waktu antara penyidikan dinyatakan selesai dan kapan hasil penyidikan itu harus diserahkan untuk dilakukan penuntutan. Dalam UU No. 26 Tahun 2000 hanya dinyatakan bahwa penuntutan harus diselesaikan dalam jangka waktu 70 hari terhitung sejak tanggal hasil penyelidikan diterima. Jadi UU No. 26 Tahun 2000 hanya mengatur tentang lama penyidikan dan lama penuntutan tetapi tidak diatur mengenai kewajiban atau batasan waktu diserahkannya hasil penyelidikan ke penuntutan. Setelah itu Jangka Waktu Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Ketentuan Pasal 31 yang menyatakan pengadilan mempunyai jangka waktu selama 180 hari untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat ternyata juga tidak dapat diterapkan sepenunya dalam proses peradilan HAM ad hoc ini. Beberapa majelis hakim membuat ketetapan-ketetapan untuk adanya perpanjangan masa persidangan ketika melewati masa 180 hari. Alasan perpanjangan ini adalah dikarenakan kurangnya waktu yang diperlukan oleh majelis hakim untuk mencari kebenaran materiil. Dan dalam proses Pembuktian Selama proses pemeriksaan kesaksian terutama terhadap saksi korban mekanismenya menggunakan pemeriksaan biasa dalam artian saksi menghadiri persidangan untuk memberikan keterangannya sesuai dengan ketentuan KUHAP. Mekanisme tentang dapat digunkannya pemeriksaan kesaksian tanpa hadirnya terdakwa juga tidak pernah dipakai selama proses pemeriksaan kesaksian, demikian juga dengan hak saksi dan korban untuk dirahasiakan identitasnya. Proses pemeriksaan saksi yang termasuk progresif adalah diijinkannya videoconference untuk pemeriksaan saksi. Proses pemeriksaan melalui videoconference ini adalah sebetulnya belum diatur dalam hukum acara kita (KUHAP) tetapi majelis hakim yang mengijinkan adanya video conference ini mengacu pada praktek peradilan internasional. Prosedur pembuktian dan alat bukti yang digunakan selama proses peradilan tidak cukup memadai. Dilihat dari alat bukti yang ditampilkan di muka persidangan tidak bisa dilihat atau menunjukkan secara pasti dan detail tentang terjadinya perkara. Demikian pula dengan para saksi terutama saksi korban yang sulit menggambarkan secara detail, jelas dan konkret tentang unit militer ,polisi atau sipil bersenjata, seragam dan siapa yang melakukan langsung. Hal ini pada gilirannya akan sangat sulit untuk mendapatkan bukti tentang adanya “command responsibility”.

Bila menelaah lebih mendalam, ketentuan UU Pengadilan HAM masih teridentifikasi permasalahan. Pertama, dari segi rumusan kejahatan kemanusiaan yang diartikan sebagai salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil dan seterusnya (Pasal 9 UU Pengadilan HAM), ternyata UU Pengadilan HAM tidak mendefinisikan apa yang dimaksud meluas atau sistematis sehingga berdampak hakim harus menginterpretasikan.

Persoalannya, praktik peradilan Nuremberg dalam konteks Peradilan HAM internasional sudah menginterpretasikan hal tersebut, namun apakah hakim Pengadilan HAM Indonesia akan menggunakan yurisprudensi keputusan-keputusan peradilan HAM internasional.

Kedua, UU Pengadilan HAM tidak mengatur hukum acara tersendiri dalam hal penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Sepanjang tidak diatur UU Pengadilan HAM, maka ketentuan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan menginduk pada KUHAP. Padahal, kasus pelanggaran HAM berat memiliki karakter sendiri. Seperti, apakah tepat dalam proses penyelidikan disusun beriata cara pemeriksaan saksi, padahal penyelidik tidak memeriksa melainkan hanya meminta keterangan. Lalu apakah penyelidik harus disumpah dan seterusnya.

Ketiga, tidak diatur prosedur pengusulan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc. Hanya mengatur di UU Pengadilan HAM bahwa prosedur yang harus ditempuh berujung pada tindakan DPR. Belum lagi apakah tepat DPR sebagai lembaga politik terlibat dalam pengusulan pembentukan pengadilan HAM ad hoc yang sarat dengan pendekatan yuridis. Keempat, bagaimana bila terjadi perbedaan pendapat antara penyelidik dalam hal ini Komnas HAM dengan penyidik dalam hal ini Kejaksaan Agung. Tidak ada prosedur penyelesaian perbedaan pendapat tersebut diatur di UU Pengadilan HAM.

Hal lain yang mendesak dibenahi adalah pasca dibatalkannya UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi oleh Putusan Mahkamah Konstitusi maka alternatif bila sebuah perkara pelanggaran HAM berat tidak dapat diselesaikan di Pengadilan HAM menjadi tertutup. Sebab, sebenarnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) merupakan mekanisme yang saling melengkapi dari instrumen penyelesaian pelanggaran HAM berat sebagai refleksi dari pemenuhan keadilan HAM di masa transisi (konsep transitional justice).

https://cerdika.com/pengadilan-ham-ad-hoc/

Comments

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini