Mengapa BUMN Harus Membuat Kebijakan Internal Terkait TKDN?

Pada kesempatan kali ini saya akan membahas kewajiban BUMN untuk membuat kebijakan interlan terkait dengan TKDN. Berdasarkan hasil olah data yang pernah saya lakukan, banyak perusahaan bahkan sekelas BUMN belum memiliki kebijakan/pedoman/aturan internal perusahaan terkait implementasi, pelaksanaan dan penghitungan TKDN. Adapun selama ini proses penghitungan dan pelaksanaan TKDN masih bersifat self assessment oleh vendor, mitra dan dan supplier yang sudah bersertifikasi TKDN seperti contohnya oleh PT Surveyor Indonesia.

Meskipun dalam prakteknya, tanpa keberadaan kebijakan internal tersebut, TKDN untuk pengadaan barang/jasa dimana perusahaan sebagai Pengguna Barang/Jasa (Pemilik) telah dilaksanakan oleh banyak perusahaan, namun mereka mengacu pada peraturan-peraturan umum seperti Permen BUMN No.8 Tahun 2019 dan Permenperin Nomor 3 Tahun 2014 Pedoman TKDN Yang Tidak Dibiayai Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Selain itu, untuk Perhitungan TKDN sendiri, sebagian besar perusahaan mengaku masih mengacu pada Permenperin 16 Tahun 2011 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penghitungan Tingkat Komponen Dalam Negeri.

Salah satu faktor yang menyebabkan sulitnya menghitung TKDN karena tidak ada Peraturan yang mengatur secara spesifik tentang Ketentuan dan tata cara penghitungan tingkat komponen dalam negeri untuk beberapa produk misalnya Produk/Jasa Konstruksi. Seperti halnya pada produk Farmasi, Produk Telematika dan Elektronika, Produk Tata Surya yang telah memiliki peraturan tersendiri terkait tata cara penghitungan TKDN nya. Untuk menghitung TKDN Produk/Jasa seperti Konstruksi masih mengacu pada peraturan umum yakni Permen Perindustrian No. 16 Tahun 2011 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penghitungan Tingkat Komponen Dalam Negeri yang mana kurang relevan dengan industri konstruksi.

Hal itu karena Pada Permen No.16 Tahun 2011, TKDN barang dihitung berdasarkan perbandingan antara harga barang jadi dikurangi harga komponen luar negeri terhadap harga barang jadi. Padahal tata cara penghitungan barang manufaktur dan barang pengembangan itu tidak bisa disamakan dan tidak semua badan usaha mempunyai aspek manufaktur yang memerlukan bahan baku yang diimpor dari luar negeri sehingga akan sulit melakukan penghitungan TKDN untuk produk/jasa konstruksi.

Kondisi tidak adanya kebijakan internal TKDN ini tidak sesuai dengan Pasal 19 ayat (1) Permen BUMN No.1 Tahun 2011, yang mengatur bahwa Direksi perusahaan harus melaksanakan tugasnya dengan itikad baik untuk kepentingan BUMN dan memastikan agar BUMN melaksanakan tanggung jawab sosialnya serta memperhatikan kepentingan dari berbagai Pemangku Kepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Salah satu itikad baik tersebut adalah dengan menyusun kebijakan perusahaan untuk pengurusan perusahaan yang mengutamakan penggunaan produksi dalam negeri, serta perluasan kesempatan bagi usaha kecil sebagaimana dipersyaratkan dalam Pasal 7 ayat (1) Permen BUMN No.8 Tahun 2019. Kewajiban ini juga tercermin dari adanya kewajiban untuk Direksi perusahaan agar membentuk Tim Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) guna memonitor dan memastikan penggunaan komponen dalam negeri dalam Pengadaan Barang dan Jasa (Pasal 8 Permen BUMN No.8 Tahun 2019).

Terkait dengan kendala pembentukan kebijakan internal TKDN ini, beberapa BUMN menjelaskan bahwa hal tersebut dikarenakan sebagian besar penghitungan TKDN dilaksanakan oleh vendor, mitra atau supplier sebagai owner atau pemilik pekerjaan. Sehingga posisi BUMN disini bukan sebagai pemilik pekerjaan melainkan hanya sebagai penyedia pekerjaan barang/jasa dan kewajiban untuk menghitung dan menerapkan kebijakan TKDN tersebut melekat pada owner atau pemilik pekerjaan yang bersangkutan. Meskipun begitu, sebagian BUMN menjelaskan bahwa terdapat juga kegiatan atau barang/jasa dimana perusahaan sebagai owner atau pemilik pekerjaan seperti Jalan Tol dan produk/jasa bangun konstruksi lainnya. Terkait dengan monitoring TKDN itu sendiri masih dilakukan secara manual dengan memonitoring sistem informasi berbasis web yang terdapat dalam situs kemenperin dan penghitungan TKDN itu sendiri akan dilakukan oleh vendor maupun mitra dengan menunjukan sertifikat TKDN yang membuktikan bahwa barang atau jasa yang diproduksi telah memenuhi syarat dan penghitungan TKDN yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.

About the Author

Obbie Afri Gultom, SH, MA, LLM, CHFI, is the Editor-in-Chief at "Gultom Law Consultants", now a part of Gading and Co, a leading firm in corporate management and consulting. A graduate of Erasmus University Rotterdam in 2019 through the StuNed scholarship program, he completed his Master of Law at the University of Auckland in 2022. With four years of experience in Corporate Business Law, including two years in the private sector and two years in a law firm, along with nine years in State Financial Law and Public Audit as an Auditor, Obbie possesses deep expertise in contract writing and review, legal research, merger and acquisition processes, corporate management, Good Corporate Governance (GCG), and public auditing. Additionally, he has three years of experience as a Development Policy Researcher at Erasmus University Rotterdam. For professional services, Obbie Afri Gultom can be contacted via WhatsApp at 08118887270.

Author Archive Page

Comments

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini