Konservasi Alam Adat

Tidak jauh dari rumah Panjang, rumah khas dari orang Dayak di daerah pedalaman, atau biasa disebut orang hulu. Di sebut demikian karena prasarana satu satunya untuk mencapai daerah ke pedalaman adalah melalui sungai. Jadi perjalanan dari satu daerah pesisir ke daerah pedalaman ditempuh dengan perahu. Perahu besar kecil bergantung tersedianya, lebih besar lebih muat banyak penumpang dan barang, lebih lama, lebih makan waktu. Demikian sebaliknya.

Kalau dulu disebut bahwa mengendarai perahu dari ibukota propinsi ke ibukota kecamatan di hulu makan waktu sampai satu minggu, orang akan percaya. Perahu minyak tenaga uap yang biasa disebut perahu klotok, hanya akan mencapai daerah hulu sebulan sekali, itu artinya dengan tenaga seperti itu hanya dapat memuat orang atau barang terbatas. Pergerakan orang waktu itu hampir tidak ada. Kontak kontak kebudayaan pesisir dan hulu hampir tak pernah, pihak pihak perantara antara hulu dan pesisir juga tak banyak mengubah gaya hidup orang hulu. Makan minum orang hulu terpenuhi dari makanan dan minuman yang tersedia dari alamnya. Semua tersedia, tidak terlampau penting konsep menabung sebab semuanya ada. Ikan, dan segala makanan dari sungai mudah didapat.

Bagaimana dengan sekarang? Saya bertanya kepada seorang bapak tua yang menjadi salah satu tokoh di komunitas itu. Bukan Cuma itu, dia praktisi pencari ikan di sungai. Saya tidak menggunakan kata nelayan, sebab bisa rancu seolah hidupnya hanya mencari ikan dan menjual. Padahal tidak demikian. Ia mencari ikan kalau memang dibutuhkan untuk makan, jadi sering dua tiga hari dia turun ke sungai, ikan yang didapat satu keranjang, kemudian diasap atau diasinkan sehingga awet, dapat dimakan sampai dua atau tiga hari.

“Di sini untung saja tidak mengizinkan orang luar untuk masuk ke wilayah hutan adat kami…” begitu katanya dia membuka percakapan. Ia setuju dan mendukung serratus persen ketua adatnya dalam pemeliharaan dan perlindungan lingkungan alam dan komunitas untuk mencegah kerusakan dan kemusnahan.

Ambil secukupnya lalu mengawetkan, itu membantu melestarikan lingkungan” begitu dia menambkankan sambil memperbaiki jaring dan bubu untuk menangkap ikan.
“ Lalu, apakah masih banyak ikan di sungai dekat sini? “ tanyaku sambil ngobrol hal lain.

Tidak sampai satu jam ke arah hulu banyak ikan….juga banyak buaya, jadi mesti hati hati. Tidak sembarang orang bisa masuk ke hutan itu. Harus ada orang di sini yang mengawani.

“Bagaimana kita tahu ada buaya atau tidak, di hutan kan buaya sembunyi dan seringkali tidak kelihatan, tidak terdengar gerakannnya, tidak terbedakan warnanya dengan warna daun, batang pohon dan bahkan air yang berlumut. “ Tanya ku
“Itulah yang aku bilang, harus ada orang di sini yang mengantar, sebab orang sini sudah biasa, dan sudah tau ada atau tidak ada buaya..” kata bapak tua itu.
“pernah ada buaya yang ngambang diam di sisi kiri sungai, artinya buaya itu sudah mau mati, dan artinya kalaupun manusia membunuhnya, dia tidak akan melawan….jadi ada berjenis sifat dan sikap buaya yang mesti kita kenali. “
“O jadi tidak mudah mengenali buaya, dan lebih tidak mudah mengenali lingkungan hutan ya Pak….” Kataku seolah paham betul isi hutan dan cara cara pelestariannya. “
“Lebih tidak mudah adalah melestarikan hutan itu, kata orang sekarang conservasi hutan dan sungai..ini jauh lebih susah, sebab orang orang di luar sana kepengen menguasai hutan yang kaya aneka ragam hasil hutan…bahkan kemungkinan besar ada hasil tambangnya….itu yang harus kami jaga, dan itu adalah kewajiban kami untuk mewariskan ke anak cucu.” Begitu kata pak tua dengan Bahasa yang bijak.
Lalu aku bertanya kapan biasanya pergi ke hutan?
Berangkat pagi sekali, supaya tengah hari sudah kembali ke rumah. Mencuci ikan bersih kemudian Ikan biasa diasapi dulu sampai kering, lalu ada yang langsung digoreng atau dimasak dengan mencampur dengan sayur upak (isi pelepah dari pohon keluarga sagu), atau gambas.
Boleh saja menjala ikan dari hutan kemudian dijual, istilah pak tua itu sebagai ganti uang Lelah. Ikan dijual hanya untuk kalangan sendiri. Sesungguhnya ikan yang kita dapat hanya untuk keperluan sendiri. Sebab semua orang di sini juga mampu mencari ikan di hutan, asalkan tidak malas. Seberapa tahan komunitas daya Iban menjaga alamnya, seberapa kuat ketahanan komunitas ini dari serbuan orang luar. Ini seperti pertaruang ekonomi subsisten melawan ekonomi pasar.

Comments

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini