Gong Dalam Budaya Dayak Iban, Kalimantan Barat

Gong merupakan sejenis alat music, mengambil dari Wikipedia yang mengkatehorikan sebagai alat music ‘idiophone’ yang berasal dari Asia Selatan dan Tenggara. Juga dengan referensi Wikipedia, Gong ada semenjak zaman gangsa lagi dari Yunani. Gong dimainkan mengiringi pertunjukkan wayang kulit di Jawa, Indonesia. Gong merupakan alatan penting dalam setiap pertunjukkan tarian nyanyian tradisional. Gong telah banyak dijumpai di seluruh mulai dari semenanjung Indochina sampai dengan kepulauan Indonesia sebagai alat utama dalam upacara persembahan yang menggunakan music tradisional.

Semasa pemerintahan kerajaan-kerajaan Jawa di kawasan Nusantara dahulu, gong kecil atau Canang akan dikandar oleh pesuruh raja yang akan berkeliling kampong-kampong bagi menyebarkan berita. Gong akan dicanang bagi mengumpulkan penduduk kampung dan titah raja akan dibacakan oleh pesuruh raja.

Di kalangan komunitas Iban dan kompok komunitas Dayak lainnya, di hulu sungai gong yang besar dikenali sebagai “tawak”. Gong yang lebih kecil dan nipis dikenali sebagai “bebendai” dan yang paling kecil ialah “engkerumong”. Gong bukan sekadar alat music tradisional bagi orang Dayak, tetapi mempunyai fungsi-fungsi tertentu. Gong banyak digunakan dalam upacara penting dan besar yang mengandung makna persembahan harapan keselematan seperi perayaan Hari Gawai, perkawinan. Upacara yang berhubungan dengan lingkaran hidup manusia, life cycle. Gong adalah berharga yang sangat berharga.

Gong tak pernah absen dalam upacara komunal Iban. Gong adalah media pengantar antara dunia nyata dan dunia roh. Gong adalah salah satu asset berharga dalam kebudayaan Iban, yakni keseluruhan sistem gagasan dan tindakan hasil karya yang diwariskan dari satu generasi ke generasi. Demikian luasnya kebudayaan yang mencakup hampir seluruh aspeka kehidupan manusia, maka penting membatasi kebudayaan daam arti lebih khusus yang dibutuhkan untuk menjelaskan soal Gong di kelompok Dayak Iban.

Dari pengamatan selama di sana, Gong biasanya disimpan di rumah tokoh adat, atau tokoh yang dituakan yang dianggap maha mengetahui soal adat pemerintahan dan pola bijak dalam mengatur ketentuan interaksi antar semasa warga. Gong di selama masa Upacara berada di tengah ruang, walau tidak digunakan tetapi letaknya tak pernah digeser. Dia akan selalu di tengah, Dia seoleh menjadi lambing pemersatu, sekaligus sebagai benda yang diakui sangat berharga di kalangan warga Iban.

Gong tak pernah absen dalam upacara. Iya, betul, seperti halnya yang saya amati ketika menyaksikan prosesi upacara Gawai di Sungai Utik, di daerah Putusibau kea rah hulu.

Sejak masuk dalam rumah Panjang atau mereka sebut rumah Betang, saya sudah melihat gong di letakan di tengah tengah ruangan.Ketika itu sedang dimainkan oleh kelompok perempuan, ibu ibu yang menyanyi bermusik dan menari. Mereka bukan bagian dari tatacara upacara, mereka sedang beristirahat menunggu kelompok ibu ibu dating dari daerah lain. Seperti biasa rumah Panjang di sungai utik menjadi pusat kegiatan kelompok kelompok Dayak yang tinggal di hulu sungai. Cara main gong dan keahlian atau kegesitan menabuh gendang patut diacungkan jempol. Ternyata perempuan juga belajar menabuh gong, menabuh gendang dan alat music lainnya.

“Ini masih belum terlalu bagus” kata kawanku yang juga menjadi pemandu selama kami berada di rumah Panjang di sungai Utik.

“ooo..kalau yang bagus dimana bisa lihat?” tanyaku penasaran
“nanti malam setelah acara utama, biasanya mereka akan mengisi tarian. Di situ bapak akan saksikan seperti apa perempuan Dayak..”

Uh Gak sabar menunggu malam hari.

Acara berlangsung upacara sambutan demi sambutan bercerita tentang makna Gawai,
Pemandu saya itu tidak bohong, tengah malam selepas upacara selesai, para perempuan memainkan gong dan gendong. Cara mainnya cepat gesit, kadang melamban dan berhenti sama sekali, seolah berhenti tengah jalan. Lalu lambat laun mulai bergerak dan melompat dan meloncat lalu menukik seolah seperti burung memangsa ikan di sungai.

Bau Alkohol di sekeliling ruang dan di antara mereka yang menari. Memang mereka minum dan geraknya seperti setengah melayang akibat pengaruh minuman tradisional. Upacara Gawai yang menjadi inti kegiatan kegiatan terasa sangat hidup di rumah betang itu. Semua warga terlibat, laki perempuan, besar kecil, tua muda ambil bagian dengan fungsinya masing masing. Sungguh seperti pesta demokrasi sebab semua ikut ambil bagian.

Comments

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini