HUKUM DAN KETERATURAN: MENGURANGI CORAK MILITERISME DALAM PEMBANGUNAN ERA JOKOWI JILID 2? MUSTAHIL BOENG!

Orang bisa tidur dengan nyenyak di rumah mereka sendiri, karena ada orang kasar yang siap menjaga mereka meskipun melalui jalan kekerasan. Tulis George Orwell. Dari sinilah kita memahami peranan militerisme dalam membangun peradaban. Berkat militer warganegara memahami arti ketundukan. Berkat pentungan, pistol dipinggang, borgol di saku polisi, warga mengenal bahwa menghadapi Negara mereka tidak bisa cengengesan.

Walau begitu, kita tidak bisa selamanya bergantung pada ancam mengancam. Sebagaimana dialog yang terjadi antara Nick Furry dengan Captain America dalam film fantasi, Captain America Winter Soldiers. Prajurit punya batas, mengancam setiap warga Negara agar tidak melakukan kejahatan, adalah bentuk perlindungan nisbi yang berdarah dingin.

Meskipun, Nick Furry kadang menyanggah para pecinta damai, bahwa kedamaian pun butuh “degree of trust” butuh ikatan rasa percaya saling memberi aman. “My granddaddy love peoples, but he doesnt trust they much” ujar Nick Furry. Kakeknya cinta semua orang, tapi tidak begitu saja percaya mereka sepenuhnya, oleh karena itu kakek Furry selalu membawa revolver dibalik kantungnya.

Untuk jaga-jaga.

Negara Dibentuk Lewat Kekerasan

Negara dikatakan berasal dari derap kaki tentara. Negara dibentuk oleh kekuatan tentara dan dijaga lewat senjata dan lebih banyak lagi senjata. Kredibilitas angkatan perang menentukan jaya tidaknya suatu negara. Pemikiran negara kuat karena watak militerisme telah dipraktikan dibanyak peradaban dunia, contoh era warring state di China. Keberadaan suatu negara adalah penaklukan antara satu negara dengan yang lain. Suatu watak di mana negara juga dibentuk oleh pergerakan politik, diplomasi, dan kesempatan.

Artinya, ilmu politik lahir bersamaan dengan penggunaan pedang. Jika pedang merupakan gas, politik adalah remnya.

Politik Rem Yang Menghentikan Perang

Politik mampu menghentikan pertumpahan darah, jika para ahli hukum, para diplomat, dan para petualang politik menghendakinya. Ada hitungan tersendiri, kapan harus berhenti saling bunuh lewat perang, dan kapan tidak. Seperti negosiasi Korea Utara dan Korea Selatan memperebutkan tanah di 38th Pararel, melalui argumentasi bertahun-tahun agar pertumpahan darah dihentikan. Atau keputusan Nixon membom Laos, walau perundingan dengan Vietnam Utara tengah berlangsung.

Politisi memang selalu mengikuti jejak darah. Mereka bisa bicara leluasa saat rakyat frustasi akan penderitaan perang lalu menyerahkan nasibnya di meja runding. Pada titik ini politisi sebenarnya bisa menekankan perlunya pengaruh hukum, demi mewujudkan negara yang kuat dan berdaulat. Daulat di mana hukum dibentuk oleh aristokrasi dan para cendikia, seperti gerak Napoleon dalam membentuk Code Napoleon.

Negara sebelum nyalak senjata, juga bisa dibentuk oleh Pekikan: battle cry, pertarungan dialektika di tengah massa, propaganda dan hasutan-hasutan. Berbentuk orasi dan kata kata. “Berikan aku 10 pemuda niscaya akan kutaklukan dunia.” Ujar Soekarno, presiden Indonesia. Soekarno, Lenin, Hitler, Mussolini, membangun negara berdasarkan nilai “valor” atau keyakinan kuat adanya peratuan ideologis antara suatu kelompok bangsa.

Akhirnya terbentuk ikatan emosi, ikatan imajinasi, ikatan kebangsaan, dengan mengulang kembali proses penyadaran akan “nasionalisme”, melalui bentuk bentuk pendidikan kebangsaan, seperti upacara bendera, baris berbaris, pengayaan ideologi dst.

Lalu Di mana Peran Militer dan Politisi Membentuk Era Jokowi?

Pada kenyataannya di era modern, di Indonesia, di eranya Jokowi, negara tidak bisa berhenti saat negara tersebut telah terbentuk (establish). Sejak era proklamasi Indonesia mengalami evolusi atak yang tidak mudah. Dari militerisme, semi militerisme, kembali ke militerisme. Sejujurnya, debat besar militer vs sipil tidak akan pernah selesai di negara ini.

Karena Indonesia juga mesti waspada, bahwa kondisi konstitusinya, kondisi realitas rakyatnya, tidak bisa, atau belum bisa disipilkan hingga detik ini. Memang ada negara yang semakin lama semakin ideal dan sipil, dalam waktu singkat. Tapi jangan lupa ada juga yang semakin lama memudar saat militer kehilangan peran, misalkan Italia.

Militer dianggap mampu menjaga tujuan dan haluan. Meskipun tujuan bisa berbeda dari setiap generasi. Ambil contoh, ketika suatu generasi merasa sudah pengap, jengah, dengan suatu pemerintahan, mereka membubarkannya dan meruntuhkannya dengan jalan apapun, termasuk revolusi lewat bantuan militer juga.

Maka dari itu kita tidak bisa salahkan Jokowi pada term keduanya saat Andika Perkasa, atau Prabowo Soebianto, hingga Luhut membuat Indonesia lebih bercorak loreng dibandingkan batik. Sekali lagi ada hitungan tertentu, mengapa para militer diminta memegang peranan penting mengendalikan negara. Termasuk saat dokter militer diminta mengurusi kesehatan.

Jokowi memang tidak ubahnya junta tanpa pangkat. Tidak ada yang bisa menyangkal demikian. Tapi jika tidak membentuk junta di tengah masyarkat yang terbelah karena polarisasi politik, negara ini tidak akan kemana-mana terutama di era pandemi saat ini.

Waspadai Penumpang Gelap Kekacauan

Pada saat pandemi akan muncul gejolak ekonomi, sudah barangtentu akan menumbuhkan ketidakpuasan sosial dan serangan terhadap ideologi negara. Akan tumbuh difraksi dan segregasi kelas, penajaman perbedaan antara ras dan golongan, yang mulai dimasuki oleh para avonturir petualang politik, seperti pedagang ideologi khilafah.

Dari mereka akan masuk serdadu bayaran. Masuk senjata dari pasar gelap atau dari pasar terang ke suatu negara, yang pada akhirnya menjadi gerbang awal kegagalan pemerintahan, apakah hal itu yang diinginkan bersama?

Bagi kita, tumbuhnya Jokowi bersama militer dalam suatu corak junta lebih merupakan jawaban, dari kepemimpinan sipil yang dibangkangi terus-menerus.  Era social justice warrior mesti digeser sedikit ke pertarungan kepentingan pembangunan. Memang hal ini lebih menampakkan sisi kembalinya Orde Baru, atau akan ada korban statistik (digaruk). Tapi kadangkala hal itu tidak bisa kita elakkan.

Demi hukum dan keteraturan. Militerisme harus tetap ada. Harus ada yang berkelliling memperlihatkan popor senapan sekali-kali. Pada akhirnya setiap pemimpin Indonesia harus memiliki mentalitas yang juga dimiliki oleh kakek Nick Furry. Presiden yang mencintai semua orang, mencintai rakyatnya, sangat ingin membahagiakan sang rakyat. Tapi jangan terlalu percaya penuh pada mereka.***

About the Author

Jurnalis asongan, pengais setiap rizki halal, penitip setiap doa baik di dunia. Politisi yang menunggu dikarbit. Kyai kantong bolong. Lahir di dusun kecil Jalancagak, tinggal di dusun kecil Jalancagak. Berharap menutup hari tua di dusun kecil Jalancagak.

Author Archive Page

Comments

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini