Walau Terbelah, Menyatu sebagai Warga Kampung

Jalan bebas hambatan itu membelah kampong. Ketika itu tahun 1974 atau 1975, namanya jalan bebas hambatan itu adalah Tol. Tol adalah jalan yang dibangun untuk membuat jarak jakarta Bogor menjadi lebih cepat. Jalan Tol Jakarta–Bogor–Ciawi atau Jalan Tol Jagorawi adalah jalan tol pertama di Indonesia. Makanya orang orang di kampung ini sering menganggap jalan yang super licin itu menjadi tontonan. Setiap sore selalu ramai orang di pinggiran jalan itu.

Semula satu kampung yang menyatu, tiba tiba kampung itu terbelah. Terbelah karena adanya jalan bebas hambatan. Jalan yang lebar, dan adanya peraturan yang tegas bahwa rumah harus berjarak paling dekat dua puluh meter dari pinggir jalan tol. Peraturan yang mengharuskan pemukiman paling dekat berjarak dua puluh meter dari bibir jalan tol, membuat pemukiman seberang sini dan seberang sana berjauhan. 

“Waktu dulu peraturannya ketat.” kata Pak Tua pensiunan RW di kampung ini. Yang jaga bukan saja orang orang dari Dinas Jalan, tetapi dibantu oleh Tentara. “Kami di sini tidak ada yang berani melanggar. Karena sering ada pengawasan. Paling yang dilakukan warga sini adalah berjualan, dengan membangun warung temporer buat para pekerjanya. Selesai pembangunan, tidak ada lagi warung.”


Sungguhan waktu itu sangat disiplin, bahkan warga kampung di sini tak ada yang berani mengganggu pekerjaan pembuatan jalan. Warga kampung ada yang senang dengan adanya pembangunan jalan, seolah kampungnya berada di tepi jalan yang lebar. Ada yang tak senang sebab kampungnya menjadi terbelah. Apapun itu, orang orang dari kelurahan, kecamatan tetap menggunakan nama kampung Kalidukuh. 

Oleh karena Kampungnya terbelah, maka dibuat nama kampungnya menjadi Kampung Kali Dukuh Satu dan Kampung Kali Dukuh Dua. Kampung Kali Dukuh Satu berada di Barat, Kampung Kaliduku Dua berada di Timur. Lalu ada peremajaan administrasi. Kampung ini tidak lagi bagian dari Kabupaten Bogor, melainkan masuk Walikota Depok. Status Desa berubah menjadi Kelurahan. Pak Lurah adalah ASN, berbeda dengan status Desa di mana Kepala Desa dipilih berdasarkan pemilihan warga. Seiring dengan itu, Kampung Kalidukuh Barat berubah menjadi wilayah administrasi RW 08, Kalidukuh Timur menjadi RW 09. Sejarah status kampung Kali dukuh tidak mengubah solidaritas warganya. Walau warga sudah banyak yang bukan lagi warga “asli” yang mobilitasnya makin lama makin cepat; lahir, meninggal, pindah, tetapi ikatan sebagai satu warga tetap terjalin. Cukup menakjubkan. 

Walau dibelah jalan bebas hambatan. Dua kampung itu masih saling berhubungan. Ada terowongan di bawah jalan tol sebagai salah satu media yang bikin warga di dua kampung bisa saling berhubungan. Artinya masih ada akses fisik yang membuat mereka terhubung. Akses fisik berupa jalan itu mulanya jalan tanah, lalu jadi jalan sirtu (Pasir Batu), lalu beton, terakhir aspal. Dua kampung hanya beda RW, pemisahan fisik tak membawa impak signifikan. Misalnya menjadi dua kelompok yang saling bersaing, saling bermusuhan akibat pemisahan. Tidak. Tidak demikian. Kenapa?

Atherosclerosis is the accumulation of plaque present on http://appalachianmagazine.com/2017/06/17/a-mission-to-save-the-churches-and-souls-of-appalachia/ cialis no prescription the artery walls. However buy generic viagra these pills should be taken with water on an empty stomach or after a few decades after surgery. Some men best prices on cialis may also suffer from impotency if they have a mental disorder that may or may not be acted upon by the cranial brain. The Canadian government enables pharmacies to give free or low cost medicines because of the government permitting free and low-cost health cialis on line purchase care.

Kali Dukuh barat, itu ada warung soto mie legendaris. Enaknya tak ada duanya. Risoles, tetelan, ada gajih, kalo doyan, plus bahan yang standar, kuahnya selalu mendidih, mangkok ukuran besar. Warung itu sudah terkenal sekitaran Cimanggis Cisalak. Dulu pakai merek dagang Soto Mie Bogor, tapi sekarang nggak lagi. Lagi pula ngapain pake nama Bogor, kalau yang buat asli orang Kalidukuh Barat, Cimanggis.

Warung yang sudah ada sebelum ada jalan bebas hambatan sudah keburu melegenda, berakar kuat di cita rasa warga Cimanggis dan sekitarnya, termasuk warga RW 09 atau Kalidukuh Timur. Ngapain juga bermusuhan dengan kampung yang punya warung sotomie enaknya sampai langit ke tujuh.

Buka jam 10 pagi. Biasanya sudah habis. Baru buka lagi jam 5 sore, sampai jam 8 atau 9. Nggak pernah sepi. Bagian barat memang dikenal karena soto mie. Orang orang di Barat beruntung punya soto mie.

Orang di barat juga pada berdatangan ke timur, karena nasi uduk yang tiada duanya. Buka jam 6 jam, jam 8 sudah habis. Tidak buka lagi sampai esok pagi. Hanya menyediakan limapuluh piring sehari. Bayangkan hanya dua sampai tiga jam nasi uduk sudah ludes. Si Mpok yang semenjak masih gadis sudah ber berjualan nasi uduk, sekarang usia nya sudah hampir 70 tahun, kadang masih melayani tapi kebanyakan hanya menonton melihat anak dan cucu perempuannya yang melayani. Makan di tempat atau bungkus. Ada lima orang yang melayani, semua kait mengkait secara kekerabatan. Bukan sekedar nasi uduk tapi jajan pasar tersedia, gemblong, ketan, lopis, cucur, wajik.

Orang di barat dan di timur terikat kuat, kalau bahasa premannya terintegrasi karena Soto Mie dan nasi uduk. Apakah mereka saling terkait kekerabatan? Iya, begitu kisah Pak RW. Sebelum ada jalan bebas hambatan, kakek kakek mereka adalah pemilik tanah yang luasnya hektaran. Beranak pinak, mendapat warisan. Pak RW yang sering sarapan nasi uduk sebelum ngantor cerita bahwa dia adalah salah satu cicit tuan tanah di Kalidukuh.

Comments

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini