Perkembangan Aturan Tindak Pidana Kehutanan Yang Bersifat Nasional

Tanggal 17 Agustus 2020 tepatnya hari Senin, Bangsa Indonesia akan merayakan Hari Jadinya yang ke 75 tahun. Selama jangka waktu tersebut, pemerintah telah bekerja semaksimal mungkin untuk mengisi kemerdekaan dengan pembangunan nasional yang bertujan peningkatan kesejahteraan Rakyatnya.

Diperlukan modal untuk membiayai Pembangunan Nasional. Salah satu sumber modal adalah dengan tersedianya  sumber daya hutan yang melimpah sebagai karunia dan anugerah Tuhan Yang Maha yang diamanatkan kepada bangsa Indonesia  untuk dikelola dan dimanfaatkan secara optimal serta dijaga kelestariannya sebagai modal untuk membangun Negara Indonesia yang tercinta ini.

Untuk melakukan kegiatan pemanfaatan sumber daya hutan, maka diperlukan suatu peraturan perundang – undangan yang bersifat nasional  agar berjalan sesuai dengan rel yang telah ditetapkan  dalam Pancasila dan UUD 1945.

Pada tahun 1960 Pemerintah telah menerbitkan UU Kehutanan yang bersifat nasional untuk menggantikan peraturan perundang – undangan yang bersifat Penjajahan  karena tidak sesuai dengan pandangan bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Berlakunya UU tersebut sebagai landasan hukum untuk mengelola sumber daya hutan.

Tindak Pidana Umum

Dalam perkembangan pemanfaatan sumber daya hutan, maka unsur penegakan hukum pidana telah menjadi benteng agar dalam pemanfaatannya tidak bertentangan dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku. Diperlukan aturan hukum pidana kehutanan yang berbentuk UU sebagai payung hukum untuk kegiatan pemanfaatan hutan yang  memuat materi perbuatan yang digolongkan sebagai kejahatan dan pelanggaran kehutanan beserta sanksinya, dalam rangka penegakan hukum kehutanan(Hukum Materil).

Untuk menegakan UU Kehutanan (hukum meteril) tersebut, diperlukanlah hukum pidana formil yang terdapat dalam  Undang – Undang  Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau biasa disebut dengan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP ). Menurut KUHAP proses pidana kehutanan, dimulai dari : 1).penyidikan yang dilakukan penyidik baik dari  aparat kepolisian maupun dari PPNS Kehutanan 2).Penuntutan terhadap Pelaku Kejahatan Kehutanan yang dikerjakan oleh Jaksa sebagai Penuntut Umum dan 3).Proses Pengadilan terhadap Kejahatan Kehutanan.

Tindak Pidana Kehutanan yang telah diatur dalam suatu UU Kehutanan, bila dikaitkan dengan tindak pidana umum, maka ada pasal-pasal dalam KUHP yang dapat menjadi landasan hukum bagi pihak peyidik untuk menjerat pelaku perusakan hutan  dengan memakai pasal – pasal dalam KUHP.

Dalam pasal 406 sampai dengan  pasal 412 KUHP, merupakan pasal yang mengatur tentang perusakan. Pasal tersebut digolongkan sebagai kejahatan dan dapat diterapkan terhadap pelaku perusakan hutan.Bunyi pasal 406 adalah :” Barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hak membinasakan, merusak, membuat hingga tidak dapat di pakai lagi atau menghilangkan sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya kepunyaan orang lain, dihukum penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.4500,- (empat ribu lima ratus rupiah)”. Pelaku Kejahatannya melanggar izin yang telah diberikan dapat berupa over atau penebangan diluar areal konsesi yang dimiliki.

 Dalam Pasal 372 KUHP yang menyatakan : “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima Tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”. Kegiatan penebangan kayu diluar konsesi yang dimilikinya yang dilakukan dengan sengaja dan tujuuan dari kegiatan tersebut untuk dimiliki .

Pasal 263 KUHP yang mengatur tentang pemalsuan surat atau pembuatan surat palsu. Bunyi pasal tersebut  : 1) “Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun”. Misalnya : melakukan kegiatannya  pemalsuan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH).

Pembangunan hukum kehutanan khususnya Tindak Pidana kehutanan, juga telah mengalamai perkembangan sejalan dengan perubahan UU yang mengatur sumber daya hutan tersebut. Perubahan tersebut pastinya didasarkan pada pengalaman Pemerintah dalam melakukan kegiatan pengurusan hutan.   

UU Nomor 5 tahun 1967.

Sejak berlakunya UU Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang – undangan, pasal 14 nya mengatakan : “materi muatan yang mengatur ketentuan pidan hanya boleh diatur dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah”. Dalam perkembangannya UU tersebut telah mengalami pergantian dengan  UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang – undangan. Ketentuan yang diatur dalam pasal 14 UU yang terdahulu, masih diberlakukan, yang diatur dalam  Pasal 15 (1) Nomor UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang – undangan, yang mengatakan :“Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam: a.Undang – Undang; b.Peraturan Daerah Provinsi; atau c.Peraturan Daerah Kabupaten/Kota”.

Dalam kaitannya dengan Tindak Pidana Kehutanan, maka UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dapat di bagi 2 (dua) masa, yaitu : sebelum berlakunya UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dimana Tindak Pidananya masih dapat diatur dengan Peraturan Pemerintah dan setelah berlakunya UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,wajib diatur dengan UU dan Perda, seperti di jelaskan dibawah ini.

Tindak pidana kehutanan yang pertama kali diatur kedalam UU yang bersifat nasional dan ketentuan pelaksanaanya diatur dalam suatu Peraturan Pemerintah, yaitu UU Nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Kehutanan.

UU tersebut merupakan suatu usaha dari Pemerintah Indonesia untuk menerbitkan landasan hukum bagi kegiatan kehutanan yang bersifat nasional untuk meggantikan Peraturan Perundangan di bidang Kehutanan yang Sebagian besar berasal dari pemerintah jajahan, bersifat kolonial, dan beranekaragam coraknya, telah terpenuhi dengan diterbitkannya UU Nomor 5 tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan.

UU tersebut, telah mengatur perbuatan – perbuatan yang dapat menyebabkan    kerusakan hutan, yang diatur dalam pasal 15 UU Nomor 5 tagun 1967 yang mengatakan :  

(1).Hutan perlu dilindungi supaya secara lestari dapat memenuhi fungsinya sebagaimana tersebut dalam pasal 3.

(2).Perlindungan hutan meliputi usaha – usaha untuk:

a.Mencegah dan membatasi kerusakan-kerusakan hutan dan hasil hutan yang    disebabkan oleh perbuatan manusia dan ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit.

b.Mempertahankan dan menjaga hak – hak Negara atas hutan dan hasil hutan

(3).Untuk menjamin terlaksananya perlindungan hutan ini dengan sebaik – baiknya maka rakyat diikutsertaka.

(4). Pelaksanaan ketentuan – ketentuan pasal ini diatur lebih lanjut dengan  Peraturan Pemerintah.

PP Nomor 28 Tahun 1985.

Pada tanggal 7 Juni 1985,Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 Tentang Perlindungan Hutan. PP tersebut telah menetapkan perbuatan-perbuatan yang dapat dikatagorikan sebagai Tindak Pidana Kehutanan, yaitu :    a.Yang Di Golongkan Sebaga Kejahatan : mengerjakan atau menduduki Kawasan hutan dan hutan cadangan tanpa izin Menteri; Penggunaan Kawasan hutan yang

menyimpang dari fungsi dan peruntukannya; Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi dalam Kawasan hutan yang menyimpang dari izin yang diberikan; Melakukan pemungutan hasil hutan dengan menggunakan alat-alat berat yang dapat merusak tanah dan tegakan; Melakukan penebangan pohon-pohon dalam hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang.

b.Yang Di Golongkan Sebagai Pelanggaran :Setiap orang dilarang memotong, memindahkan, merusak atau menghilangkan tanda batas kawasan hutan; Tiap orang dilarang mengambil/memungut hasil hutan lainnya tanpa izin dari pejabat yang berwenang; Penggembalaan ternak dalam hutan, pengambilan rumput, dan makanan ternak lainnya serta serasah dari dalam hutanhanya dapat dilakukan di tempat-tempat yang ditunjuk khusus untuk keperluan tersebut oleh pejabat yang berwenang.

 c. Ketentuan Pidana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) s/d ayat (7) PP Nomor 28 tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan.

 PP Nomor 60 tahun 2009

Dalam perkembangannya PP Nomor 28 tahun 1985 tersebut telah mengalami perubahan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan. Melalui Pasal 56 Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan (Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun 1985 Nomor 39, Tambahan Lembaran NegaraNomor 32), dinyatakan tidak berlaku lagi.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan, telah mengatur bentuk pelanggran kehutanan, sebagaimana termuat dalam UU Nomor 4 tahun 1999 tetang Kehutanan.

UU Nomor 41 tahun 1999

UU Nomor 5 tahun 1967 telah diganti dengan UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Perbuatan yangdikatagorikan sebagai Tindak pidana Kehutanan, telah dirumuskan kedalam Pasal 50 dan ketentuan pidana diatur dalam Pasal 78.

Perbuatan yang dilarang dalam Pasal 50, yaitu : berupa merusak sarana dan prasarana perlindungan hutan serta menimbulkan kerusakan hutan; Mengerjakan dan menduduki Kawasan hutan secara tidak sah:Merambah Kawasan hutan; Melakukan penebangan pohon dalam Kawasan hutan yang tidak sesuai dengan radius atau jarak yang telah ditentukan; membakar hutan; menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin; memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah; melakukan eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin; memiliki hasil hutan tanpa surat keterangan; menggembalakan ternak dengan sengaja di kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus oleh pejabat yang berwenang; membawa alat-alat berat tanpaijin berupa alat-alat berat atau alat-alat lainnya yang tak lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan dalam kawasan hutan tanpa ijin pejabat yang berwenang; membuang benda-benda yang berbahaya; membawa satwa liar atau tumbuh-tumbuhan yang dilindungi. Perbuatan tersebut dikenakan sanksi Pidana yang diatur dalam Pasal 78 ayat 1 s/d 15.

UU Nomor 18 tahun 2013

Akhir-akhir ini perusakan hutan semakin meluas dan kompleks. Perusakan itu terjadi tidak hanya di hutan produksi, tetapi juga telah merambah ke hutan lindung ataupun hutan konservasi. Perusakan hutan telah berkembang menjadi suatu tindak pidana kejahatan yang berdampak luar biasa dan terorganisasi serta melibatkan banyak pihak, baik nasional maupun internasional. Kerusakan yang ditimbulkan telah mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara. Oleh karena itu, penanganan perusakan hutan harus dilakukan secara luar biasa.

 Upaya menangani perusakan hutan sesungguhnya telah lama dilakukan, tetapi belum berjalan secara efektif dan belum menunjukkan hasil yang optimal. Hal itu antara lain disebabkan oleh peraturan perundang-undangan yang ada belum secara tegas mengatur tindak pidana perusakan hutan yang dilakukan secara terorganisasi. Oleh karena itu, diperlukan payung hukum dalam bentuk undang-undang agar perusakan hutan terorganisasi dapat ditangani secara efektif dan efisien serta pemberian efek jera kepada pelakunya.

 Untuk mengatasi kejahatan Kehutanan tersbut, maka pada tanggalpada tanggal 6 Agustus 2013, Pemerintah telah menetapkan UU Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Dengan berlakunya UU tersebut, maka ada ketentuan tindak pidana yang diatur sebelumnya yaitu :

  1. Terhadap ketentuan Pasal 50 ayat (1) dan ayat (3) huruf a, huruf f, huruf g, huruf h, huruf j, serta huruf k; dan 67 b. ketentuan Pasal 78 ayat (1) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat (1) serta ayat (2) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat (3) huruf a dan huruf b, ayat (6), ayat (7), ayat (9), dan ayat (10) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. (Pasal 112 a)
  2. ketentuan Pasal 78 ayat (1) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat (1) sertaayat (2) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat (3) huruf a dan huruf b, ayat (6), ayat (7), ayat (9), dan ayat (10) (Pasal 112 b)
  3. Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888) yang mengatur tindak pidana perusakan hutan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini. (Pasal 113).

Perbuatan perusakan hutan dalam UU ini meliputi : proses, cara, atau perbuatan merusak hutan melalui kegiatan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. Adapun pembalakan liar didefinisikan sebagai semua kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu secara tidak sah yang terorganisasi, sedangkan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah meliputi kegiatan terorganisasi yang dilakukan di dalam kawasan hutan untuk perkebunan dan/atau pertambangan tanpa izin Menteri

Undang-undang ini dititikberatkan pada pemberantasan perusakan hutan yang dilakukan secara terorganisasi, yaitu kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompokyang terstruktur, terdiri atas 2 (dua) orang atau lebih, dan yang bertindak secara bersama-sama pada suatu waktu tertentu dengan tujuan melakukan perusakan hutan, tetapi tidak termasuk kelompok masyarakat yang melakukan perladangan tradisional. Pengecualian terhadap kegiatan perladangan tradisional diberikan kepada masyarakat yang telah hidup secara turun-temurun di dalam wilayah hutan tersebut dan telah melakukan kegiatan perladangan dengan mengikuti tradisi rotasi yang telah ditetapkan oleh kelompoknya.

Sumber :

  1. UU Nomor 5 tahun 1967 tentang Pokok – Pokok Kehutanan;
  2. UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan;
  3. UU Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan   Hutan;
  4.  UU Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
  5. UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
  6.  UU Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
  7.  Pasal 406,372,263 KUHP;
  8. Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1985 tentang Tentang Perlindungan Hutan;
  9. Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan;
  10. https://www.slideshare.net/sudirmansultan/bahan-ajar-identifikasi-tindak-pidana-kehutanan.

Comments

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini