Ketentuan Insentif dan Sanksi TKDN Yang Harus Diketahui Perusahaan

Kementerian Perindustrian telah menargetkan bahwa Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) sektor industri harus mencapai 40 persen dalam periode 5 tahun (2019-2024). Namun pertanyaannya bagaimana dengan pengaturan terkait insentif dan sanski apabila capaian TKDN ini tidak dipenuhi?

Pada dasarnya perusahaan harus menjabarkan secara rinci terkait dengan seluruh komponen TKDN yang meliputi Insentif (preferensi harga), Sanksi, dan Target dalam kebijakan internal TKDN perusahaan. Meskipun kenyataannya, selama ini sebagian besar penghitungan dan penerapan TKDN dibebankan kepada vendor, mitra dan supplier sebagai owner dari barang dan jasa tersebut sehingga perusahaan tidak mengindahkan kewajiban terkait komponen-komponen TKDN.

Akan tetapi untuk barang dan jasa dimana perusahaan sebagai owner atau produsen (manufakturer), TKDN ini juga harus diimplementasikan/ditetapkan. Sehingga pengetahuan pegawai/staff perusahaan harus mumpuni terkait dengan Ketentuan dan Tata Cara Penghitungan TKDN, metode perhitungan nilai TKDN dan harus dapat melakukan penilaian mandiri terkait capaian nilai TKDN sesuai Permenperin No.16 Tahun 2011 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penghitungan Tingkat Komponen Dalam Negeri dan Peraturan Kemenperin lainnya yang mengatur Tata Cara Penghitungan TKDN produk/jasa tertentu seperti farmasi, elektornika, pembangkit tata surya dan sebagainya.

Lebih lanjut, Perusahaan belum menetapkan kewajiban komponen TKDN lainnya seperti insentif (preferensi harga) dan sanksi dalam setiap pengadaan barang dan jasa, dimana perusahaan sebagai pemilik pekerjaan (pengguna barang dan jasa). Kondisi ini tentunya tidak mengacu pada beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yakni:
1) Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-08/MBU/12/2019 Tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Badan Usaha Milik Negara, yakni:

a) Pasal 9 ayat (1), pengguna Barang dan Jasa memberikan preferensi harga atas produk dalam negeri yang memiliki nilai tingkat komponen dalam negeri lebih besar atau sama dengan 25% (dua puluh lima persen).

b) Pasal 9 ayat (2), preferensi harga produk dalam negeri untuk barang diberikan paling tinggi 25% (dua puluh lima persen).

c) Pasal 9 ayat (3), preferensi harga produk dalam negeri untuk jasa konstruksi yang dikerjakan oleh perusahaan dalam negeri diberikan paling tinggi 7,5% (tujuh koma lima persen).

2) Peraturan Menteri Perindustrian Nomor: 03/M-IND/PER/1/2014 Tentang Pedoman Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Yang Tidak Dibiayai Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yakni:

a) Pasal 20 ayat (1), Penyedia Barang/ Jasa diberikan preferensi harga sesuai dengan capaian TKDN masing-masing barang/jasa tanpa memperhitungkan nilai BMP (Bobot Manfaat Perusahaan).

b) Pasal 20 ayat (2), Preferensi Harga hanya diberikan kepada perusahaan yang memproduksi barang/jasa dalam negeri dengan capaian TKDN barang lebih besar atau sama dengan 25% atau komitmen capaian TKDN jasa lebih besar atau sama dengan 30%

c) Pasal 20 ayat (3), Preferensi harga diberikan paling tinggi 15% terhadap unsur barang produksi dalam negeri dalam pengadaan barang atau pengadaan jasa konstruksi terintegrasi (jasa EPC) sesuai dengan capaian TKDN barang.

d) Pasal 20 ayat (4), Preferensi harga diberikan paling tinggi 7.5% terhadap unsur jasa dalam negeri dalam pengadaan jasa konstruksi terintegrasi (jasa EPC), jasa lainnya atau jasa konsultansi sesuai dengan capaian TKDN

e) Pasal 20 ayat (5), Untuk pengadaan Jasa Konstruksi Terintegrasi (jasa EPC), selain diberikan preferensi harga sesuai dengan capaian TKDN, Perusahaan Jasa EPC dalam negeri diberikan tambahan preferensi harga berdasarkan status perusahaan.

Terkait dengan sanksi, perusahaan juga harus menjabarkannya dalam suatu kebijakan internal tertulis sehingga tidak harus ada sanksi apabila proses pengadaan barang dan jasa tidak menerapkan sanksi terkait implementasi TKDN. Hal ini tentunya tidak mengacu pada Pasal 33 Permenperin No.3 Tahun 2014, yang mengatur bahwa Penyedia barang/jasa dapat dikenakan sanksi apabila:

a) memuat dan/atau menyampaikan dokumen dan atau keterangan lain yang tidak benar terkait dengan capaian TKDN;

b) berdasarkan hasil pemeriksaan ditemukan adanya ketidaksesuaian dalam penggunaan barang/jasa produk dalam negeri;

c) sanksi dapat berupa

i. sanksi administratif yang bisa berupa peringatan tertulis, penutupan sementara, pencantuman dalam daftar hitam, pembekuaan izin usaha dan pencabutan izin usaha.

ii. sanksi finansial yakni berupa pengurangan pembayaran sebesar selisih antara TKDN penawaran dengan capaian TKDN pelaksanaan paling tinggi 15%.

d) pemberian sanksi dilakukan oleh panitia pengadaan.

About the Author

Obbie Afri Gultom, SH, MA, LLM, CHFI, is the Editor-in-Chief at "Gultom Law Consultants", now a part of Gading and Co, a leading firm in corporate management and consulting. A graduate of Erasmus University Rotterdam in 2019 through the StuNed scholarship program, he completed his Master of Law at the University of Auckland in 2022. With four years of experience in Corporate Business Law, including two years in the private sector and two years in a law firm, along with nine years in State Financial Law and Public Audit as an Auditor, Obbie possesses deep expertise in contract writing and review, legal research, merger and acquisition processes, corporate management, Good Corporate Governance (GCG), and public auditing. Additionally, he has three years of experience as a Development Policy Researcher at Erasmus University Rotterdam. For professional services, Obbie Afri Gultom can be contacted via WhatsApp at 08118887270.

Author Archive Page

Comments

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini