Kelancaran BLT Soal Mentalitas

Kembali pemerintah merencanakan memberi bantuan Langsung Tunai. Kali ini kepada  pelaku usaha mikro yang tidak sedang menerima kredit modal kerja dan investasi dari perbankan (unbankable). Adapun persyaratan lainnya adalah sebagai berikut. Syaratnya jelas. Mereka yang sedang mendapat kredit tidak akan diberi bantuan. Selain itu ada syarat lain Pelaku usaha merupakan Warga Negara Indonesia (WNI)  Memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK) Mempunyai usaha mikro yang dibuktikan dengan surat usulan dari pengusul lampirannya Bukan ASN Bukan anggota TNI/Polri Bukan pegawai BUMN/BUMD. Jelas kan!

Dengan menunjukkan kartu identitasnya seperti yang diminta, degan menunjukan sejarah kronologis usahanya, dengan maksud untuk memberitahu bahwa dia tidak mendapat kredit dari pemerintah dan seterusnya. Dengan begitu “Bantuan Rp 2,4 Juta untuk pelaku usaha, kategori UMKM bisa diperoleh. Rencananya bantuan itu akan diluncurkan hari ini. Semoga siapa yang berhak dia yang mendapatkan.

Kenapa BLT diluncurkan? Terjadi usaha yang mandek gara gara Covid 19, prinsipnya saya kira sama saja dengan bantuan yang lain, yakni membantu mereka yang terdampak dengan adanya covid 19. Terdampak maksudnya adalah kegiatan ekonomi, kegiatan yang menghasilkan untuk keperluan ekonomi keluarga macet sehingga supaya bisa bertahan, maka diberi dana segar supaya bisa bertahan atau mulai berkegiatan.

Tapi dari waktu ke waktu, setiap kali ada bantuan, uang tunai, sembako yang terjadi di lapangan adalah tidak pernah selancar seperti yang ada di atas kertas. Kalau sudah diberikan syarat yang jelas, maka mestinya mereka yang tidak masuk dalam persyaratan itu mundur, dan memberi kesempatan kepada yang sesungguhnya berhak.

Semoga dengan adanya BLT itu para pelaku ekonomi bisa mulai dengan kegiatan dan bisa bertumbuh mengantisipasi keadaan yang mandeg. Semoga saja proses pemberian itu berjalan dengan lancer. Pengalaman saya dalam Problem yang sering dan hamper selalu dihadapi adalah munculnya kecurigaan, kecemburuan, keinginan yang kuat BLT dibagi secara merata kepada seluruh warga.

Ada persyaratan bagi warga atau pelaku usaha yang dapat bantuan, artinya tidak semua bakalan dapat. Begitu ada pernyataan tidak semua mendapat dana bantuan, maka di situ mulai ada problem. Pertanyaan yang muncul seringkali adalah kenapa mereka, kenapa bukan kami. Kepada keluarga itu, kenapa bukan keluarga ini? Rasanya dari masa ke masa pertanyaan berkisar siapa yang dapat dan siapa yang nggak dapat. Ada apa sebenarnya dengan masyarakat Indonesia? Apa yang sebenarnya terjadi bukan semata mata karena persoalan satu keluarga kekurangan dan keluarga yang lain tidak. Seperti tidak ada kesepakatan tunggal bahwa di kampung itu memang ada sekian yang patut mendapat bantuan. Sejauh yang saya tahu, tidak ada kesepakatan tunggal, semua patuh dan pimpinan atau tokoh setempat dengan tegas mengatakan mereka patut dibantu.

Over busy schedules are major culprits in lack of interest in sex among females. female generic viagra browse around over here The https://pdxcommercial.com/property/3900-se-hazell-dell-way-canby-97013/pic-3-19/ viagra sale Oral Jelly therapeutic medicine is of assistance for impotent aged male since it grants older male to get the enough firm erection while doing sex that boost the sexual performance and add to the serious irritation that your eyes are likely already feeling, so in an effort to give them a bit of a break, wearing your glasses frames instead is a nice alternative to the continuous. The medicine has some timing when it must be taken when a man is sexually stimulated. viagra order uk So if the disease bears the capacity to hinder man’s sexual potent then it should be treated effectively with the perfect remedy levitra for sale online in order to stop the ill results from a further spread. levitra is the anti-impotency drug manufactured by generic drug manufactures using the established formula of Pfizer.

Apakah adanya kecenderungan tak percaya atas pernyataan tokoh, tak percaya pada keputusan tokoh masyarakat kalau berkenaan dengan bantuan dana. Seolah dengan metode dan proses transparansi tetap ada yang percaya dan tidak percaya. Apakah soal kepercayaan terhadap tokoh, pimpinan formal, hubungan antar warga, tetangga, kalau soal dana bantuan, relative tak percaya. Apakah ini ada hubungannya dengan penanaman nilai moral semenjak usia dini? Tentu membutuhkan kajian yang serius. Munculnya pertanyaan seperti ini, atau fenomena ketidak percayaan itu didasarkan atas pengalaman mengerjakan proyek BLT.

Pengalaman saya ketika membagi BLT, bukan karena wabah covid 19, melainkan ketika terjadi bencana erupsi gunung Merapi di daerah Magelang. Ketika itu ada kesepakatan dari Pemda akan memberi bantuan dana uang tunai dan sembako kepada warga yang terkena dampak erupsi. Ada sepuluh desa di satu kecamatan. Tidak semua desa di kecamatan itu yang terkena dampak dan mendapat bantuan. Sepuluh desa itu sudah melalui kajian dari pemda kabupaten, dan rapat koordinasi. Hasilnya sepuluh desa yang terkena dampak dan patut mendapat bantuan. Infrastrktur dibantu, tetapi tidak semua warga di sepuluh desa mendapat bantuan. Hanya warga yang dinilai tak mampu diprioritaskan mendapat bantuan.

Lalu dibuatlah daftar siapa yang dapat dan tidak dapat di setiap desa, lalu jadi, desa ini ada sekian warga yang mendapat bantuan, desa sana sekian warga. Selesai, daftar sudah jadi, dan daftar itu ditempel di kantor desa, dan kantor dusun. Tidak ada complain atas daftar yang telah dibuat. Artinya aman, apparat desa dan dusun rupanya dengan sungguh sungguh mensosialisasikan bantuan dan yang penting adalah siapa yang dapat dan tidak dapat jatah bantuan. Teknis lapangan sudah sesuai dengan rencana. Pihak perusahaan sembako yang akan membagikan sembako sudah tahu titik sentral dmana akan diberlansungkan pembagian, kartu identitas juga sudah dipahami, tanpa kartu tidak akan mendapat bantuan. Demikian pula dengan PT Pos, yang bertugas membagi bantuan dana, sudah siap dengan membuka pos pos yag dekat dengan dusun dan desa. Istilahnya jemput bola, soalnya warga akan kesulitan kalau ambil uang di kantor Pos yang relative jauh dari desanya. Pihak pihak yang terlibat sudah melalukan latihan, termasuk polisi.

Selang dua hari sebelum terjadi pembagian, ada masalah, kepala desa dan dusun didemo, sebab menurut pendemo pembagian tidak adil, kenapa orang orang itu yang dapat, kenapa bukan orang sini. Kok hanya keluarga kepala desa dan kadus yang dapat sementara rakyat biasa tidak dapat. Lalu terjadi perdebatan di kantor desa dna dusun, pendemo tetap menuntut harus mendapat bantuan. Herannya, kok bisa muncul adanya anggapan bahwa mereka yang dapat adalah kelompok keluarga kepala desa atau keluarga para elite,

Selain itu daftar sudah dipajang di kantor desa dan dusun, satu dua minggu sebelum bantuan sampai. Sebenarnya cukup waktu untuk mengkoreksi daftar orang orang yang dianggap tidak layak mendapat atau mengusulkan orang orang yang harus dapat. Penempelan dafatr di kantor desa dan dusun itu memang maksudanya adalah memberi kesempatan koreksi. Jadi ada beberapa lapis koreksi, pertama ketika membuat daftar yang dasarnya dari data keluarga berencana dari situ terseleksi siapa orang yang masih ada atau sudah meninggal, pindah, dan seterusnya, sampai mendapat daftar warga yang barus. Lalu dari daftar yang baru, lalu Bersama antar apparat dan tokoh masyarakat dan perwakilan komunitas membuat rapat dan memilih siapa saja yang berhak dan tak berhak mendapat bantuan. Seharusnya atau idealnya bakalan tidak ada masalah.

Faktanya, ada tuntutan, dan tuntutan itu berakhir dengan harusnya bantuan diberikan kepada semua warga. Biar sedikit tapi semua dapat. “Bagi rata” adalah cara yang paling tepat. Kenapa? Tidak bakalan ada demo dan Kepala desa dan dusun tidak ada kena tekanan demo. Bagi rata memang aman tidak ada kerusuhan, tetapi apakah ini adil, di mana orang yang seharusnya tidak berhak dapat malahan dapat karena atas nama bagi rata? Yang lebih mengherangkan lagi, karena scenario siapa saja yang mendapat dan tidak mendapat sudah diberlakukan, maka biarkan scenario itu berjalan. Orang yang mendapat mengambil jatahnya, kemudian jatahnya dikumpulkan di desa atau dusun, lalu dibagikan kepada setiap kk secara sama rata. Itu pengalaman sepuluh tahun lalu. Semoga tidak lagi terjadi sekarang ini. Mereka yang berhak seharusnya mendapat, bukan membagi jatahnya pada orang yang tidak berhak dapat.

Comments

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini