Kekerabatan Dalam Politik

Sebagian tulisan ini saya muat di facebook, saya beri judul gambar politik. Entah tiba tiba saja, saya muat karena melihat ada kecenderungan sejarah berulang lagi. Ketika Zaman orba di mana para pejabat di lembaga negara kebanyakan kait mengkait dalam hubungan kekerabatan. Apakah suatu saat paska orde baru, tidak ada lagi Nepotisme? Atau sesungguhnya dari zaman orba sampai sekarang KKN itu masih tetap ada?

Kalau menelusuri partai zaman silam hanya ada tiga partai. Golkar yakni partai yang jadi penguasa, dan dua partai lainnya PPP dan PDI adalah partai pelengkap supaya sistem politik kita tak disebut diktator.

Waktu zaman itu Partai Golkar warna kuning berlambang pohon beringin menguasai mayoritas anggota DPR. Anggota-anggota adalah orang-orang yang saling terkait karena hubungan kekeluargaan. Waktu dulu sampai dinyatakan bahwa isi DPR seperti iklan toyota kijang “ada bapak ibu, kakek nenek om tante” dan seterusnya. Untuk menunjukkan betapa gedung itu berisi anggota keluarga.

Karena itu perjuangan menumbangkan orde baru adalah upaya menghapus KKN, Korupsi Kolusi dan Nepotisme. Logikanya adalah bagaimana mungking menghilangkan korupsi kalau yang melakukan adalah kerabat sendiri.

Belum menemukan fakta bahwa sejak 98 sampain sekarang sebenarnya KKN itu masih tetap hidup. KKN sedikit mengendap, bahkan tiarap, tetapi tidak mati. Apalagi di saat Jokowi berkuasa di periode pertama, rasanya seperti terjadi bersih bersih di lingkungan birokrat dari anasir KKN. Sepertinya pemerintahan indonesia sudah bersih dari KKN, politik kita membuka ruang siapa yang mampu dalam intelektual, dia yang bakalan jadi pemimpinnya, dan bukan karena uang orang jadi pemimpin.

Nah, bebebrapa hari ini media memuat soal pilkada. Cerita tentang pengaktifan hubungan kekerabatan untuk menguasai posisi dalam pemerintahan mencuat. menjelang pilkada mendadak organisasi partai seperti organisasi kelompok kekerabatan.

Ibu ini atau bapak itu akan maju jadi walikota, atau akan maju jadi wakil walikota. Beliau, beliau yang maju itu adalah putra putri orang penting di indonesia yang sekarang masih menjabat di pemerintahan pusat.

Ibu ini dan bapak itu akan maju menjadi bupati. Ini semacam tradisi turun temurun keluarga di daerah. Seperti keharusan bahwa bupati, wakil bupati, ketua DPRD, anggota DPRD adalah jatah kelompok kekerabatan.

Ibu ini dan bapak itu sudah pengalaman di birokrat dan di posisi wakil rakyat, gantian. Pasangannya di wakil rakyat, yang bersangkutan jadi eksekutif. Tukar posisi dalam sistem legal formal perpolitikan di negeri ini yang dilandaskan atas hubungan keluarga.

Any male who levitra online is enduring erectile dysfunction is urged seek a professional medical evaluation to determine whether there is an underlying condition that requires treatment. The big drug companies claim that any relief felt cialis viagra levitra from the application of a homeopathic medicine can be attributed to the placebo effect. You viagra pills from india see for info will not have to go from one pharmacy to another in search of the medicines. If there are some chances, the physician tries viagra fast to improve the existing difficulties or look for ways to remain active to make his partner happy.

Ini gambaran politik yang sekilas tertangkap terekam dalam pikiran orang biasa seperti saya. Analoginya seperti memotret, menangkap yang nampak. Yang tak tampak, mesti terus digali. Impresi setelah melihat fenomena pilkada adalah sistem politik berada dalam selimut organisasi kekerabatan.

Apakah terjadi pengulangan sejarah? Sistem politik kita bakalan dikuasai oleh orang orang itu itu saja. Orang orang yang diunggulkan karena punya cantolan tokoh partai, pejabat di pemerintahan, di parlemen, di judikatif.

Sesungguhnya landasan berdemokrasi adalah adanya Partai Politik yang berfungsi melakukan pendidikan pada kader kadernya. Partai politik adalah kumpulan orang yang terorganisir, punya cita cita tujuan dan ideologi yang sama.

Kalau tujuan utama dari partai politik adalah untuk mendapatkan kedudukan atau kekuasaan politik di suatu negara, maka isi dari mereka yang menduduki jabatan dalam kekuasaan politik adalah kerabat kerabat, atau kelompok kelompok kerabat beda dinasti.

Tapi apakah tidak boleh orang karena satu kerabat atau karena hubungan darah atau perkawinan maju menjadi pimpinan daerah atau pusat. Tentu saja boleh, tidak ada larangan, sejauh prosesnya dilakukan secara konstirusional.

Memang sah sah saja kakek nenek om tante ipar ada dalam gerbong partai atau lembaga negara.

Saya sulit membayangkan kalau nantinya lembaga negara pusat dan daerah diiisi oleh mayoritas kerabat. Lalu yang terjadi adalah aturan partai tumpang tindih dengan kekerabatan dalam lembaga.

Saya belum bisa membayangkan prinsip aturan sistem kekerabatan berada dalam lingkaran lembaga negara. Semoga hubungan besan, periparan, ninik mamak, dalihan na tolu, kawulo gusti tidak mengganggu prinsip kerja dalam kepartaian, lembaga negara menjalankan pemerintahan parlemen dengan model organisasi profesional.(TB)

Comments

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini