Kekerabatan dalam demokrasi di negeri ini

Entah menggunakan istilah dinasti atau menggunakan nama kekerabatan, tapi kalau calon yang maju ada sangkut pautnya dengan pentolan negeri ini, maka namanya akan disangkutpautkan dengan pentolan negeri ini. Disukai atau tidak, itu yang terjadi. Sangkut paut itu punya arti yang sangat berarti, sangkut paut tidak main main, punya nilai yang sangat berharga sekali. Saya ingin mengambil contoh, seperti yang sekarang menjadi pemandangan umum di koran, televisi atau media sosial. Anak dan mantu Presiden yang sekarang mau maju menuju orang nomor satu di kota Solo (Surakarta) dan Medan. Gibran dan Bobby.

Dua orang itu tidak banyak dikenal, kecuali dia adalah anak dan mantu presiden. Serentetan identitas yang melekat pada diri dua orang itu, tak bakalan mampu mendongkrak popularitas politik mereka, kecuali sebagai anak dan mantu presiden. Kalau di luar identitasnya sebagai anak mantu presiden, maka statusnya relative sama seperti saya, tito panggabean. Tak banyak orang yang mengenal saya kecuali teman Saya di SD, SMP, SMA, Kuliah dan teman teman di mana saya bertempat tinggal. Serta rembet merembet di sekelilingnya, yang terkait karena jaringan pergaulan.
Andai saja saya mau mencalonkan diri menjadi, katakan Lurah, maka saya tidak bias bertumpu pada pergaulan saya dengan teman sekolah dan kuliah, teman se kampung. Tidak bisa hanya dari situ. Apa yang yang diharapkan dari pergaulan itu dengan popularitas. Palingan saya hanya dikenal sebagai teman yang punya pengalaman bekerja di Lembaga Swadaya Masyarakat, bersedia di tempatkan daerah daerah bencana alam dan politik di Indonesia, pernah kuliah. Tapi kalau hanya itu, so what? itu kan tidak mampu mendongkrak popularitas saya, apalagi jabatan politik dan dalam waktu singkat.

Jangan meniru proses karir politik Presiden. Dia menjadi presiden tidak dalam waktu setahun dua tahun. Mungkin puluhan tahun, bergaul semenjak jadi pengusaha mebel sampai walikota, gubernur dan akhirnya presiden bergaul dan memainkan strategi politik untuk menuju tampuk pimpinan. Seperti pengakuan Jokowi, dia tidak bermimpi jadi presiden, dia hanya bekerja bekerja dan bekerja. Penilaian diserahkan pada rakyatnya. Tulisan ini memang tidak membahas jenjang karir politik Jokowi, tetapi kembali ke laptop, yakni tentang istilah politik dinasti atau kekerabatan, di mana orang yang maju, ada kaitannya dengan pentolan negeri ini.

Di kampung saya, seorang yang santer akan maju dalam bursa pemilihan ketua RW, Kepala Desa pasti memanfaatkan segala cara untuk mengkaitkaitan dengan tokoh tokoh terkenal di situ, formal ataupun non formal. Yang paling kelihatan adalah di saat punya hajatan, walaupun kegiatan ini lebih social budaya daripada politik, tetapi justru di sini menunjukkan bahwa kegiatan itu sangat efektif untuk tujuan tujuan politik. Tidak ada yang bisa menggugat sebuah kegiatan berhubungan dengan politik. Kegiatan itu hal yang biasa siapapun boleh saja melaksanakan kegiatan hajatan. Tapi kegiatan hajatan itu mengandung nuansa politik, diselimuti oleh kegiatan politik praktis, walaupun sulit untuk mendeteksi karena itu adalah penilaian yang subyektif.

Orang yang yang ikut dalam bursa pemilihan lurah, lalu punya hajat, akan mengkaitkaitkan namanya, nama besannya dengan tokoh masyarakat setempat. Misalnya dalam surat undangan hajatan itu ditulis, turut mengundang mantan lurah dari dua puluh tahun lalu sampai lurah terakhir, mantan RW, mantan kepala dusun dari dulu sampai sekarang. Tokoh masyarakat yang amat dikenal juga dimasukan. Isi undangan penuh dengan pihak pihak yang turut mengundang.

Siapa yang menikah dengan siapa, tidak terlalu penting. Yang penting adalah yang membuat hajat adalah orang yang ternama dan cocok untuk maju pilkada. Ini untuk menunjukkan bahwa dia, sipembuat hajat bukan orang biasa. si pembuat hajat adalah orang yang luas pergaulannya, bisa jadi pernah menjadi pejabat di kelurahan atau yang lebih tinggi. Bisa jadi Keluarganya, atau anggota keluarganya adalah orang orang yang ternama di kampung itu. Bisa jadi keluarganya punya hubungan yang dekat dengan lurah yang sekarang atau mantan lurah, atau isteri lurah kakak beradik, atau sepupuan. pokoknya ada hubungan yang dekat. Intinya dengan hubungan hubungan yang dekat itu menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah orang yang terpandang, beken dan hal yang wajar kalau salah satu anggota keluarganya memimpin kampung atau desa.

It gives an extra energy and buy generic viagra vigor and also greater effort. CBT Therapy finds the root of the problem, the specific recurring thoughts that are causing viagra no prescription why not try these out the brain to the penile nerve. One of the primary with full glass of a spedeeprootsmag.org purchase generic cialist to begin its utilization. It is soft viagra tabs recommended that you don’t self medicate, as your doctor will prescribe you with the right medication.

Kalau seorang maju dan orang itu punya kait mengkait dengan orang ternama di negeri ini bisa saja menggunakan istilah politiik dinasti atau politik kekerabatan. Dua hal yang relative sama, buat saya istilah dinasti ambisius, lebih baik istilah kekerabatan lebih mengena. Dinasti kesannya adalah keturunan raja, sebaliknya kekerabatan, bisa siapa saja, asalkan ada ikatan perkawinan dan darah.

Nggak usah terlalu rumit bicara teori kekerabatan dan politik. Langsung saja pada contohnya. Di kampung kami, ada dua ketua RW yang rencananya mau ikutan meramaikan pesta pemilihan lurah. Katakan lurah A dan lurah B, kelurahannya berdekatan, bahkan bersebelahan. Lurah A adalah anak dari Camat, sudah hampir berakhir masa baktinya akhir tahun ini. Lurah B adalah mantu dari camat itu. Entah itu kesengajaan atau tidak, tidak pernah ada yang tahu, sebab tidak pernah dilakukan jumpat pers, yang menceritakan mengenai hal itu.

Setiap kali pak Camat ditanya, soal sangkut paut diirinya dengan calon lurah di daerah A dan B yang notabene adalah wilayah kekuasaanya, pak Camat mengatakan bahwa dua calon ini adalah warga negara, berhak untuk mencalonkan diri. Lalu terkait dengan soal dinasti dan kekerabatan, pak Camat mengatakan bahwa anak dan mantunya punya hak untuk ambil bagian dalam pilkada. Dia warga negara dan mau mengabdi, ya menjadi haknya. “ demikian kata pak camat. Lalu bagaimana penjelasan dari anak dan mantu yang menjadi calon lurah/Kepala Desa? Dua orang itu mengikuti gaya anak mantu presiden kita,

“Saya kan ikut kontestasi. Bisa menang, bisa kalah, bisa dicoblos, bisa tidak. Jadi, tidak ada kewajiban untuk mencoblos saya. Ini kan kontestasi bukan penunjukan.” Putra sulung Jokowi itu pun mengaku selalu mendapatkan pertanyaan dari masyarakat Solo seputar politik dinasti dalam satu tahun terakhir.

Lain halnya dengan mantu Jokowi yang mencalonkan diri untuk walikota Medan, ia mengatakan dinasti maksudnya adalah semangat kerja pak Jokowi “Kalau dibilang dinasti ya bukan dinasti. Kita harus lihat semangatnya.” Intinya bukan dinasti dalam arti yang umum dimengerti masyarakat.

Jadi bukan saja orang yang menduduki jabatan paling tinggi di negeri ini yang menjalankan politik dinasti, ditataran yang paling rendahan juga melakukan hal yang sama. Apakah itu politik Dinasti atau politik kekerabatan, atau ini yang dimaksud dengan kategori politik identitas, Identitas sebagai anak dan mantu tokoh terkenal membuatnya secara cepat terdongkrak menjadi orang terkenal. Kalau dalam tataran di kampung, mereka yang maju dikenal karena keluarga atau kerabatnya bukan sama sekali baru dalam politik. Keluarga atau kerabatnya adalah elite yang relative menguasai kampung itu.

Comments

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini