Menanti Keberanian Negara Menghukum Mati Penyeleweng Bansos Covid 19

Virus Corona atau yang biasa disebut Covid 19 memang telah merusak sendi-sendi perekonomian Indonesia. Bagaimana tidak, dalam empat atau lima bulan pasca diumumkan adanya pasien Covid 19 yang terpapar di Indonesia, ada banyak orang yang sudah kehilangan pekerjaan, usahanya mengalami kemunduran atau yang lebih parah ditutupnya sentra-sentra ekonomi. Praktis tingkat kemiskinan pun kian bertambah.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat hingga Maret 2020, total penduduk miskin meningkat 1,63 juta orang. Sehingga pada bulan Maret 2020 tercatat ada 26,42 juta penduduk Indonesia dikategorikan miskin. Sementara Lebaga Demografi FEB UI yang melakukan survey bersama LIPI dan Kemenaker menyatakan 40 persen pelaku usaha mandiri mengalami kemacetan usaha alias berhenti total dan 52 persen mengalami penurunan pendapatan. (Liputan 6, 15 Juli 2020).

Kondisi ini memaksa pemerintah mengambil langkah cepat. salah satunya dengan mengalihkan anggaran APBN untuk penanggulangan Covid 19 tersebut. Tak tanggung-tanggung pemerintah mencanangkan menggelontorkan dana hingga Rp 405,1 triliun dari APBN 2020 untuk penggulangan virus mematikan ini. Dana tersebut dialokasikan pada empat kebutuhan yakni belanja bidang kesehatan sebesar Rp 75 triliun, program perlindungan sosial sebesar Rp 110 triliun, insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat senilai Rp 70,1 triliun dan terakhir program pemulihan ekonomi nasional sebesar Rp 150 triliun.

Dana sebesar itu masih ditambah dengan adanya refokusing dan realokasi APBD di tiap-tiap daerah dalam penanggulangan Covid-19 yang kalau ditotal-total jumlahnya mencapai Rp 56,57 triliun. Sehingga secara keseluruhan, dana dana penanggulangan Covid yang digelontorkan pemerintah pusat dan daerah mencapai Rp 460 triliun lebih. Fantastis bukan?

Ada sejumlah catatan yang perlu disoroti adalah soal dana bantuan perlindungan sosial (bansos) yang nilainya mencapai Rp 110 triliun. Karena dana ini dirasa cukup besar, apalagi jumlahnya na hampir 25 % dari total dana yang digelontorkan. Namun seperti pengalaman Indonesia di tahun-tahun yang lalu, yang namanya dana Bansos “jarang” bisa tepat sasaran. Selalu saja ada penyelewengan-penyelewengan yang terjadi pada pelaksanaan dana kemanusiaan ini.

Seperti dalam sepekan ini, laporan media massa menyebutkan kalau lembaga Polri saat ini tengah menangani 92 kasus dugaan penyelewengan dana bantuan sosial ( bansos) terkait Covid-19. “Sampai saat ini terdapat 92 kasus penyelewengan bantuan sosial di 18 polda,” kata Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan seperti dikutip Kompas, Selasa (22/7/2020).

Polda Sumatera Utara menangani 38 kasus, Polda Jawa Barat menangani 12 kasus, Polda Nusa Tenggara Barat menangani 8 kasus, Polda Riau menangani 7 kasus, Polda Sulawesi Selatan menangani 4 kasus, Polda Banten, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Tengah masing-masing menangani 3 kasus, Polda Maluku Utara dan Polda Sumatera Selatang menangani masing-masing dua kasus. Polda Kalimantan Tengah, Kepulauan Riau, Sulawesi Barat, Sumatera Barat, Kalimantan Utara, Lampung, dan Papua Barat masing-masing menangani satu kasus. Ramadhan menduga motif para pelaku adalah ekonomi. “Tentu pasti motifnya adalah mencari keuntungan untuk diri sendiri,” ujarnya.

Dan seperti juga kasus-kasus kriminal lainnya, teori “gunung es” selalu ada dalam setiap kasus yang ketahuan. Artinya jika yang ketahuan saja jumlahnya mencapai 92 kasus, artinya bisa jadi kasus yang masih tersembunyi jumlahnya jauh lebih besar lagi. Hanya itu, kasus-kasus penyelewengan ini tidak dapat terdeteksi seperti yang diungkapkan Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo saat mengkritisi dana penanganan Covid tersebut.

This is one of the reasons why osteoarthritis doesn’t only viagra sale impact athletes. The chances canada cialis online of the having these symptoms after gallbladder surgery. The joy of lust shop cialis will knock at the door. This is safe for use as the tadalafil professional FDA has approved the use of the medicine and approved as the safe medicine. for getting this kind medicine you have to find Kamagra, Zenegra, Silagra and Forzest etc.

Menurutnya adanya penyebaran wewenang dalam penanganan Covid-19, termasuk penyaluran bantuan sosial, sangat rawan terhadap praktik korupsi. Hal ini karena pemerintah maupun masyarakat akan kesulitan mengawasi proses penyaluran bantuan tersebut. “Semakin terdistribusi kewenangan dalam situasi krisis, semakin besar potensi penyimpangannya, karena situasi seperti ini makin sulit diawasi,” kata Adnan.

Walaupun pemerintah melalui Ketua KPK Firli Bahuri dan sejumlah pejabat lain sudah sejak awal sudah mewanti-wanti kepada siapa saja yang terindikasi menyelewengkan bantuan sosial dalam kondisi bencana seperti ini maka akan dikenakan jerat hukuman pidana mati. Bahkan Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan setiap penyelewengan anggaran pada situasi bencana harus diancam pidana mati.

“Kami sudah mengingatkan bahwa penyelewengan anggaran yang diperuntukkan pada situasi bencana seperti saat ini, ancaman hukumannya adalah pidana mati,” kata Fikri seperti dilansir Vivanews, Jumat, (8 Mei 2020).

Dia bahkan menyesalkan beredarnya sebuah konten di media sosial yang menyatakan Presiden Jokowi akan menghukum kepala daerah yang memainkan bantuan corona dengan hukuman seumur hidup, karena menurut dia, konten seperti itu tidak benar dan masuk kategori konten menyesatkan.

Berdasarkan uraian itu, maka bagi penulis hal ini sudah fix bahwa sebenarnya semua pihak sudah menyetujui jika terjadi penyalahgunaan anggaran Bansos ini, haruslah mendapatkan hukuman setimpal yakni hukuman mati. Dalilnya jelas, para penyeleweng bansos telah memanfaatkan dana kemanusiaan untuk kepentingan dirinya sendiri dan hal ini bisa masuk dalam kategori kejahatan kemanusiaan.

Tapi dalam sejarah penanganan kasus penyelewengan bansos di tanah air (dari level pegawai rendahan sampai setingkat menteri), belum pernah ada seorang penyeleweng bantuan sosial yang menimal didakwa hukuman mati. Jadi jangankan vonis, dakwaannya saja belum pernah masuk pada ranah itu. Paling tinggi seorang penyeleweng bantuan akan dijerat Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 atas perubahan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman pidana seumur hidup atau dipenjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun, dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

Itu pun vonisnya paling tinggi hanyalah 2 – 4 tahun saja. Ini artinya penegakan hukum di tanah air masih seperti pepatah “jauh panggang dari api”, berbeda jauh antara teori dan kenyataan. Terkadang teorinya begitu muluk, tapi pada kenyataannya hanya sebuah isapan jempol belaka. Kita tunggu saja, apakah negara berani menjatuhkan hukuman mati pada para penyeleweng bansos? Biar waktu yang menentukan. ()

About the Author

menghabiskan sebagian karirnya sebagai wartawan dan redaktur di sejumlah media massa nasional (Sinar Harapan, MATRA dan Indopos). Konsultan Publik Relation terutama berkaitan dengan kasus lingkungan. Pemerhati dan penggiat sastera Melayu Tionghoa.

Author Archive Page

Comments

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini