Manajemen Krisis dari Kacamata Manajemen Risiko di Instansi Pemerintahan

Manajemen Risiko Terhadap Pandemik Covid-19

Kehadiran pandemi Corona Virus Disease (COVID-19) pada paruh pertama tahun 2020 telah mengubah secara mencolok warna kehidupan manusia di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa wabah ini merupakan kejadian luar biasa, dan menunjuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai leading sector gugus tugas penanganan COVID-19 melalui Keppres Nomor 7 tahun 2020 j.o. Keppres No 9 tahun 2020. Beberapa instansi pemerintahan berpartisipasi aktif sebagai anggota gugus tugas dengan mengawal akuntabilitas keuangan dan pelaksanaan program tanggap darurat COVID-19, mendampingi proses pengadaan barang/jasa (PBJ) dalam kondisi darurat COVID-19 serta mendukung percepatan refocusing APBN.

Peran strategis ini harus dijalani dalam keterbatasan karena kehadiran pandemi yang mengubah mekanisme kinerja organisasi secara radikal. Pimpinan setiap instansi pemerintahan harus cepat beradaptasi sehingga tetap dapat melayani para pemangku kepentingan eksternal di tengah penanganan COVID-19, sekaligus menjaga kekuatan internal organisasi untuk menjamin para pegawai tetap dapat berkinerja.

Menyikapi hal tersebut, beragam kebijakan telah diterbitkan. Antara lain penangguhan cuti/mudik pegawai dan perjalanan keluar daerah, penggalangan dana peduli ASN, disiplin pegawai selama pandemi, optimalisasi mekanisme working from home/WFH untuk mayoritas pegawai yang harus bekerja dari rumah akibat physical distancing, serta refocusing anggaran organisasi yang memangkas sekitar 80% anggaran operasional pengawasan.

Namun demikian, pelaksanaan kebijakan tersebut masih terkendala, dibuktikan dengan belum disiplinnya pelaporan kinerja harian WFH. Dari sisi proses bisnis, sebagian instansi pemerintahan belum pernah mengidentifikasi jenis-jenis pekerjaan yang dapat dikerjakan tanpa harus hadir di kantor dan mempersiapkan metode kerjanya secara WFH atau bagaimana melaksanakan core bisnis instansi-instansi tersebut di tengah kondisi krisis.

Sedangkan dari sisi infrastruktur pendukung masih banyak instansi pemerintah yang belum lengkap dan mengakomodir situasi pandemik ini. Sebagai tambahan, infastruktur pendukung mekanisme tanda tangan elektronik pun belum banyak instansi pemerintahan yang menggunakannya. Padahal fasilitas itu memepermudah mereka untuk melakukan pengesahan dokumen tanpa harus hadir di kantor.

Bencana juga terjadi di kantor-kantor di daerah dan Pemerintah Daerah. Tercatat beberapa wilayah sempat mengalami dampak dari bencana, seperti tsunami di Aceh, gempa bumi di NTB dan Yogyakarta, likuifaksi di Palu, dan kerusuhan di Papua. Sayangnya, banyak yang belum diidentifikasi dalam daftar risiko dari instansi-instansi yang bersangkutan meskipun sebenarnya berbagai studi menyatakan bahwa Indonesia merupakan wilayah rawan bencana.

Selain itu, dokumentasi atas kejadian bencana maupun identifikasi risikonya di masa mendatang pun belum dilakukan secara proporsional oleh pemerintah pusat. Hal ini menegaskan bahwa sebenarnya Pemerintah telah responsif terhadap krisis, namun belum cukup antisipatif dalam menanggulanginya.

Kondisi tersebut sangat wajar, mengingat sampai dengan sekarang, banyak instansi pemerintahan yang belum mengidentifikasikan risiko terkait dengan pandemik wabah penyakit sebagai risiko yang dapat mengintervensi pencapaian tujuan, sasaran, dan target organisasi. Hal ini mengisyaratkan bahwa banyak instansi pemerintahan yang belum cukup aware untuk mengidentifikasi adanya risiko bencana, baik yang berasal dari alam maupun non-alam.

Catatan negatif pengelolaan risiko bencana di banyak instansi pemerintahan menunjukkan bahwa sebelum COVID-19, telah terjadi banyak sekkali bencana banjir di awal tahun 2020 yang mengganggu kegiatan operasional kantor pemerintahan. Insiden terparah terjadi tanggal 23 Februari 2020 yang mengakibatkan terendamnya banyak basement gedung kantor kantor pemerintahan di Jakarta. Akibatnya, terjadi banjir yang menimbulkan kerugian sebagai berikut:

  1. Kerugian material setidaknya ratusan juta rupiah untuk biaya perbaikan puluhan kendaraanterimbas banjir yang parkir di lokasi tersebut. Belum lagi materi, tenaga, dan waktu yang dikorbankan untuk memperbaiki dampak dari insiden ini di luar biaya perbaikan kendaraan.
  2. Kerugian material yang sulit diukur namun dapat dirasakan berupa terganggunya kinerja operasional kantor dalam beberapa hari pasca insiden.
  3. Kerugian immaterial berupa menurunnya kepuasan publik kinerja pemerintah.

Kejadian serupa pernah terjadi di awal tahun 2013 yang mengakibatkan terendamnya basement kantor pusat. Rata-rata instansi pemerintah telah responsif terhadap krisis pandemik Covid-19 ini namun sayangnya sebagian besar dari mereka belum antisipatif.

Sehubungan dengan hal itu, Tercatat beberapa wilayah sempat mengalami dampak dari bencana, seperti tsunami di Aceh, gempa bumi di NTB dan Yogyakarta, likuifaksi di Palu, dan kerusuhan di Papua. Sayangnya, banyak instansi pemerintah yang belum mengindentifikasi risiko ini meskipun sebenarnya berbagai studi menyatakan bahwa Indonesia merupakan wilayah rawan bencana.

Selain itu, dokumentasi atas kejadian bencana maupun identifikasi risikonya di masa mendatang pun belum dilakukan secara proporsional. Hal ini menegaskan bahwa sebagian besar instansi pemerintah telah responsif terhadap krisis, namun belum cukup antisipatif.

Kebijakan yang antisipatif berarti segala bentuk mitigasi risiko telah dipersiapkan sejak sebelum krisis terjadi. Dalam menghadapi pandemi ini, organisasi masih bersifat responsif terlihat dari tingginya penetapan kebijakan berrsifat temporer terkait krisis.

The medicine is the most reliable inhibitor which ranks as the foremost drug amongst the list of side effects of this medicine online cialis secretworldchronicle.com to keep yourself safe from sexually transmitted dilemmas as Caverta 100mg is intended for imparting relief from impotence allied bother. In fact, it can easily affect certain factors that will cause body pain and eliminate it as order levitra online well. The problem is common in fifty percent cialis online store of men in their 50s and around 17% men in their 60s are affected by ED. Get your blood tested soft viagra tabs to be sure.

Manajemen Risiko dan Manajemen Krisis Terlepas dari hiruk-pikuk masalah yang timbul, Pandemi COVID-19 dan berbagai bencana lain menyimpan pelajaran berharga, salah satunya mengajak kita untuk merefleksikan kesiapan kita menghadapi krisis.

Dapat disimpulkan bahwa konsep dasar Manajemen Risiko lebih ke arah preventif (eliminasi frekuensi atau pengurangan dampak atas keterjadian) sedangkan Manajemen Krisis fokus pada pengurangan kerusakan. Hal ini
menunjukkan bahwa Manajemen Krisis adalah bagian dari Manajemen Risiko.

Situasi pandemi sekarang ini menunjukkan bahwa kejadian luar biasa yang memiliki level dampak risiko tinggi, meskipun rendah probabilitasnya, sehingga menempatkannya pada nilai risiko yang lebih besar dibandingkan risiko yang rendah dan moderat, tapi sering terjadi. Sering kali risiko tinggi
dengan probabilitas rendah luput dari perhatian seperti banjir yang terjadi di awal tahun 2013 dan 2020.

“Risiko dengan level yang tinggi diperlukan pengendalian yang lebih diprioritaskan”

What is a good crisis management looks like?

Dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana diatur beberapa ketentuan
berikut:

  1. Kesiapsiagaan,
    serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. (Pasal 1 ayat 7)
  2. Mitigasi
    serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. (Pasal 1 ayat 9)
  3. Tanggap darurat bencana
    serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana. (Pasal 1 ayat 10)
  4. Rehabilitasi
    perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama normalisasi berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana. (Pasal 1 ayat 11)

What do we have now?
Kondisi terkini adalah sebagian besar instansi pemerintahan belum memiliki landasan formal terkait Manajemen Risiko. Sehubungan dengan itu, pandemi COVID-19 dikategorikan sebagai risiko bencana yang mempengaruhi operasional karena sifatnya yang menyebabkan tidak berfungsinya proses bisnis mereka, sistem informasi, dan keselamatan kerja.

Instansi Pemerintahan perlu melakukan redefinisi terhadap jenis – jenis risiko yang ada melalui peraturan mengenai Manajemen Risiko. Terakomodirnya jenis risiko bencana dan risiko operasional dalam draf peraturan tersebut merupakan sebuah langkah positif yang perlu dilanjutkan dengan pengesahan dan instrumen kebijakan yang lebih komprehensif, mengingat urgensi kebijakan penanganan krisis.

Selanjutnya, perlu disusun sebuah dokumen Business Continuity Plan (BCP) sebagai mitigasi atas risiko krisis yang merupakan hasil analisis secara mendalam dan komprehensif tentang proses bisnis organisasi, serta bagaimana penyesuaian diri ketika krisis terjadi. BCP akan menjadi panduan untuk mempertahankan kelangsungan organisasi.

Rekomendasi Kebijakan

Berdasarkan pengamatan tentang bagaimana Instansi Pemerintahan
merespons kondisi krisis dikaitkan dengan konsep manajemen risiko, maka dapat disarankan alternatif kebijakan sebagai berikut:

1. Pengesahan segera Peraturan tentang Manajemen Risiko, untuk kemudian diimplementasikan secara lebih matang di lingkungan instansi pemerintahan. Salah satu langkah krusial dalam implementasinya ialah melakukan identifikasi dan mengelola risiko krisis akibat bencana.

2. Instansi Pemerintahan perlu menyusun Peraturan tentang Manajemen Krisis, ditindaklanjuti dengan instrumen kebijakan lebih rinci yang settle (tidak bersifat temporer), menyusun Business Continuity Plan (BCP) serta menetapkan unit gugus tugas penanganan kondisi krisis.

3. Penyempurnaan Mekanisme Kinerja Proses Bisnis dengan meningkatkan peran dari teknologi informasi, sebagai bentuk optimalisasi kinerja instansi pemerintahan dan sebagai bentuk antisipasi ketika dibutuhkan dalam keadaan darurat agar layanan ke stakeholder tetap berjalan.

About the Author

Obbie Afri Gultom, SH, MA, LLM, CHFI, is the Editor-in-Chief at "Gultom Law Consultants", now a part of Gading and Co, a leading firm in corporate management and consulting. A graduate of Erasmus University Rotterdam in 2019 through the StuNed scholarship program, he completed his Master of Law at the University of Auckland in 2022. With four years of experience in Corporate Business Law, including two years in the private sector and two years in a law firm, along with nine years in State Financial Law and Public Audit as an Auditor, Obbie possesses deep expertise in contract writing and review, legal research, merger and acquisition processes, corporate management, Good Corporate Governance (GCG), and public auditing. Additionally, he has three years of experience as a Development Policy Researcher at Erasmus University Rotterdam. For professional services, Obbie Afri Gultom can be contacted via WhatsApp at 08118887270.

Author Archive Page

Comments

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini