Membaca Media Kompas Di Tengah Pergulatan Radikalis vs Sekuleris

Jika situ pernah menonton film Swing Girl, ada catchphrase yang menarik di dalamnya. Dunia ini, katanya, hanya terbagi dua. Yang swing dan yang tidak swing. Bagi saya hal itu berlaku pula dalam pembedaan dunia surat kabar.

Surat kabar itu persisnya ada dua, kata seorang kawan. Yang pengecut beritanya, dan yang tidak pengecut beritanya. Memang kategori itu kadang terlalu subyektif. Karena ada porsinya kita melihat mereka yang dia terhadap kekuasaan opresif sebagai pengecut. Tapi pada sudut pandang lain, kita melihat serangan terhadap kekuasaan stabil, lalu dibalas, adalah upaya menegakkan hukum.

Kompas di masa Orde Baru sering di dudukan sebagai media yang selalu bermain aman. Yang lain bilang beritanya pengecut. Haha, padahal Kompas tidak bisa dikategorikan dalam sisi pengecut atau tidak. Bahkan untuk membuat pembacaan ini lebih mudah, perlu diberutahu lebih jauh seperti apa itu berita kompas? Jika mau tahu, situ pertama harus memahami visi dan misi perusahaan di baliknya.

Visi Misi Republiken

Kompas memiliki visi dan misi demi mempertahankan citranya di masyarakat. Visi Kompas, “Berpartisipasi dalam membangun masyarakat Indonesia baru” Yaitu masyarakat dengan kemanusiaan yang transendental. Persatuan dalam perbedaan. Menghormati individu dan masyarakat yang adil dan makmur.  

Terdengar seperti slogan negara munafik nonblok dalam  masa perang dingin. Itulah yang ada. Kompas adalah kerja sains, dari mereka yang percaya ilmu pengetahuan harus membawa manusia menjadi lebih baik. Tidak anarki. Seperti dalam bab awal buku sosiologi. Pembaca digiring untuk memahami kompleksitas manusia. Sejarahnya, pergulatannya, lalu upaya masyarakat mencari hal yang ideal: kedamaian dalam waktu yang lama.

Dari visi misi seperti di atas sebenarnya sudah bisa ditengarai mengapa Berita Kompas tidak cenderung memberitakan hal-hal yang superfisial. Entah terlalu menggerutu, mengembangkempiskan kesempatan para pemimpin (jahat sekalipun, lihat efeknya jika pemimpin mudah dijatuhkan paksa tanpa cara konstitusional).  Atau melakuka gotcha journalism. Menjebak narasumber untuk tidak terlihat kompeten.

Oleh karenanya Berita Kompas tidaklah begitu bombastis mengarah menusuk pemerintah. Ada yang kritis tapi proposional, ada yang tajam tapi juga membawa semacam bandage aid setiap saat, sehingga yang dilukai bukan untuk melukai, tapi mengeluarkan dan menyembuhkan penyakit.

Stabilitas Adalah Harga Paling Mahal Untuk Kejujuran Sikap

Kompas pernah diberedel oleh Pangkopkamtib bersamaan dengan kasus Malari pada 1974, setelah itu, Berita Kompas konon di katakan tiarap. Lebih membawakan nuansa asal bapak senang. Apakah ‘bapak’ yang dimaksud waktu itu senang? Tentu saja.. tentu saja, tapi jurnalisme adalah mengenai kestabilan. Kehadiran dan kelahiran.

Kompas dilahirkan oleh elemen Orde Baru juga  Orde Lama. Ada presiden Soekarno sebagai perwakilan orde lama, ada Soeharto, yang membuka gerbang orde baru. Di balik semua itu, Berita Kompas adalah minority try to speak freely, minoritas katolik yang berupaya bicara bebas.

Tentu saja awalnya ada misi minoritas di Kompas. Ada upaya mengangkat citra kaum minoritas di Kompas sebagai warga negara yang baik yang republiken dan setia. Namun apakah itu dilarang? Apakah itu bermasalah? Jurnalisme adalah mengenai kestabilan, nerita Kompas selalu mencoba memberi warna kestabilan.

Sesuai dengan ucapan tokoh katolik Franz Magnis Suseno sendiri mengenai nasib minoritas katolik di negara mayoritas muslim. “Bila mayoritas mantap, maka minoritas mantap.” Artinya, ada harapan dari Kompas melalui Berita Kompas, suatu keinginan menjadikan Indonesia itu bertahan kepada kestabilan.

Jika Indonesia chaos, nasib buruk bisa diderita yang minoritas. Jika Indonesia bermuram, nasib lebih muram di terima minoritas. Karena minoritas selalu membawa dua jangkar dalam satu kapal. Pertama menjaga diri mereka aman selamat, ketika badai. Kedua menjaga mayoritas aman damai ketika badai. Agar pelampiasan kemarahan mayoritas yang kalap tidak di derita oleh minoritas.

Ketemulah NU

Oleh karena itu pula berita Kompas, selalu menonjolkan kerjasama dengan komunitas mayoritas terbesar, yakni Nadhlatul Ulama. NU mencintai Kompas, dan Kompas mencintai NU. Keduanya saling mencintai dan membawa kestabilan pada Indonesia. Berita Kompas selalu mengangkat hal-hal yang terutama datang dari kegiatan NU. Politikus NU, kolumnis NU.

Rubrik asal-usul misanya di isi rutin oleh dua simpatisan Nadhliyin, entah H. Alm Mahbub Djunaidi, atau M. Sobari. Tulisan alm Gusdur, selalu rajin mampir di kolom berita Kompas. Entah kolom opini atau wawancara. Spot lainnya sering diberikan oleh Nadhliyin lainnya semisal Ulil Abshar Abdalla, Emha Ainun Nadjib, yang pokoknya adalah Islam kultural, dan jarang sekali Islam modernis yang struktural.

Hal ini tercermin pula pada berita Kompas tentang dunianya mayoritas muslim Indonesia. Yakni muslim yang apresiatif dan toleran kepada kebersamaan dan kebangsaan. Muslim yang mendukung kestabilan dan kekuasaan di atas prinsip demokrasi, tanpa diskriminasi.

Berita Kompas Memojokan Islam?

Pernah Kompas yang digemborkan ‘memojokan’ Islam, saat menampilkan tulisan para pemikir muslim yang nyeleneh. Hal itu malah membuktikan bahwa rakyat Indonesia kebanyakan bukanlah santri. Karena tulisan ‘muslim’ yang di muat di berita Kompas sudah pasti tulisan santri.  Mereka yang menguasai ilmu keIslaman baik teks maupun konteks.

Walau perlu diakui kesalahan besarnya di sini, kadang hal yang perlu dibahas dimajlis ilmu yang ketat, malah di floorkan ke tengah masyarakat luas yang awam. Akhirnya muncul tudingan liberal, karena tulisan yang memberikan tempat ke para liberalis muslim. Atau ada juga tudingan Kompas terlalu menjilat AS, mendukung Israel, menghinakan Palestina.

Tudingan yang belakangan lebih kepada ekses, serta atribut yang diderita karena tidak membuat senang kelompok muslim radikalis. You see, ketika kau sakiti muslim radikal, meskipun seumur hidupmu kau baru tahu PKI, kau akan di PKI kan. Tanpa ampun. Apatah lagi difitnah dukung Israel, dukung AS, yang masih ditaraf wajar dan terlalu baik hati.

Jadi bisa kita sisihkan bahwa Kompas membenci, Islam. Itu karena ekses, sebab akibat memberikan tempat atau kolom pada kelompok muslim yang dimusuhi para radikalis.

Ideologi Kompas Sejatinya

Secara ideologis, kompas adalah media untuk kelas menengah. Jadi ideologinya pembangunan kelas menengah yang butuh kabar progesif tentang pembangunan, ekonomi, budaya, seni, dan religi yang pada tempatnya. Kelas menengah ini yang tidak terlampau ambil bagian dalam gerakan politik partisan, tapi akhirnya mereka bersuara keras untuk gerakan partisan agama, terutama para penjaja khilafah.

Kesejatian ideologi Kompas (berbeda dengan media lain), telah menjelma menjadi satu jangkar penting pada Republik ini. Mereka tidak  berusaha menjadi smart as, si sok tahu yang penuh gegayaan. Mereka sangat metodik dalam perjuangannya. Perlahan namun pasti. Jangan riakkan air menuju gelombang badai, tapi tetap biarkan laut tenang apa adanya. Seperti aliran Chi.***  

About the Author

Jurnalis asongan, pengais setiap rizki halal, penitip setiap doa baik di dunia. Politisi yang menunggu dikarbit. Kyai kantong bolong. Lahir di dusun kecil Jalancagak, tinggal di dusun kecil Jalancagak. Berharap menutup hari tua di dusun kecil Jalancagak.

Author Archive Page

Comments

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini