Bagaimana Konsekuensi Hukum Apabila Pejabat Pemerintahan Atau Badan/Instansi Pemerintah Melebihi Kewenangannya dalam Tindakan/Keputusannya?

Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Pejabat Pemerintahan dan Badan/Instansi Pemerintah memiliki kewenangan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan. Namun, apa yang terjadi jika mereka melebihi kewenangan tersebut? Artikel ini akan membahas konsekuensi hukum yang bisa dihadapi berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Menurut Pasal 7 ayat 1 dari UU No. 30 Tahun 2014, Pejabat Pemerintahan berkewajiban untuk menyelenggarakan Administrasi Pemerintahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kebijakan pemerintahan, dan Asas Umum Pemerintahan yang Baik.

Pasal 17 ayat 1 Juncto Pasal 18 ayat 1 huruf c dari UU yang sama menyatakan bahwa Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dilarang menyalahgunakan wewenang. Salah satu bentuk penyalahgunaan wewenang adalah jika keputusan atau tindakan yang diambil bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Apabila terjadi pelanggaran, maka konsekuensinya cukup berat. Berdasarkan Pasal 80 ayat 3 Juncto Pasal 81 ayat 3, Pejabat Pemerintahan yang melanggar ketentuan tersebut dikenai sanksi administratif berat, yang bisa berupa:

  1. Pemberhentian tetap dengan memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya;
  2. Pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya;
  3. Pemberhentian tetap dengan memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya serta dipublikasikan di media massa;
  4. Pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya serta dipublikasikan di media massa.

Kritik Terhadap “menyalahgunakan wewenang”

Meskipun Undang-Undang telah mengatur secara jelas mengenai kewenangan dan sanksi yang dapat dikenakan, implementasinya di lapangan sering kali menimbulkan polemik. Salah satu masalah yang sering muncul adalah ambiguitas dalam interpretasi “menyalahgunakan wewenang.” Ini bisa menjadi celah bagi pejabat untuk menghindari sanksi, atau sebaliknya, bisa menjadi alat politik untuk menjatuhkan pejabat tertentu.

Selain itu, proses pemberian sanksi administratif berat seringkali memerlukan waktu yang lama dan melibatkan banyak pihak, mulai dari investigasi internal hingga proses hukum di pengadilan. Hal ini bisa mengurangi efektivitas dari sanksi itu sendiri dan memberikan ruang bagi pejabat yang bersangkutan untuk melakukan tindakan yang bisa mempengaruhi hasil akhir dari proses hukum.

Tak kalah penting, adanya sanksi berat seperti pemberhentian tetap dan publikasi di media massa bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ini bisa menjadi efek jera bagi pejabat lainnya untuk tidak melakukan pelanggaran. Namun di sisi lain, ini juga bisa menimbulkan stigma sosial dan menghancurkan karir seseorang, bahkan jika pelanggarannya tidak sebanding dengan sanksi yang diterima.

Dalam konteks ini, penting bagi pemerintah dan pembuatan kebijakan untuk melakukan revisi dan klarifikasi lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan “menyalahgunakan wewenang” dan bagaimana proses sanksi harus dijalankan. Hal ini akan membantu memastikan bahwa hukum ditegakkan dengan adil dan efektif, tanpa memberikan ruang bagi penyalahgunaan atau manipulasi.

Mau Konsultasi mengenai masalah ini? Silahkan hubungi saya melalui whatsapp (08118887270).

About the Author

Obbie Afri Gultom, SH, MA, LLM, CHFI, is the Editor-in-Chief at "Gultom Law Consultants", now a part of Gading and Co, a leading firm in corporate management and consulting. A graduate of Erasmus University Rotterdam in 2019 through the StuNed scholarship program, he completed his Master of Law at the University of Auckland in 2022. With four years of experience in Corporate Business Law, including two years in the private sector and two years in a law firm, along with nine years in State Financial Law and Public Audit as an Auditor, Obbie possesses deep expertise in contract writing and review, legal research, merger and acquisition processes, corporate management, Good Corporate Governance (GCG), and public auditing. Additionally, he has three years of experience as a Development Policy Researcher at Erasmus University Rotterdam. For professional services, Obbie Afri Gultom can be contacted via WhatsApp at 08118887270.

Author Archive Page

Comments

1 Comment

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini