Najwa dan Kursi Kosong, Sebuah Catatan Kode Etik Jurnalistik

Dalam seminggu belakangan kasus “kursi kosong” dalam tayangan Mata Najwa edisi ‘Menanti Terawan” milik presenter kondang Najwa Shihab terus bergulir. Keberanian Najwa menyatir Menteri Kesehatan Kesehatan Terawan Agus Putranto lewat wawancara “kursi kosong” bahkan telah menjadikan sang presenter jadi trending topic di dunia maya. Tercatat lebih dari 13 ribu cuitan menggaungkan nama “Mba Nana”, panggilan akrab Najwa.

Pasca video kursi kosong tayang, reaksi masyarakat pun beragam. Ada yang pro, ada yang kontra. Ada yang dukung, ada yang hujat.
Yang pro bilang, keberanian Najwa mengkritik sang menteri yang tak juga memberikan keterangan mengenai pandemi covid 19 dan jarang mau diwawancara wartawan sangat tepat.

Para pendukung menyatakan, pertanyaan yang disampaikan dianggap perwakilan dari pemikiran yang beredar di tengah masyarakat Indonesia di masa pandemi Covid-19 ini. Sebagian pendukung lain, menilai sang menteri memang telah gagal dalam tugas “memerangi” pandemi Covid 19 ini, sehingga desakan agar orang nomor satu di Kementerian Kesehatan mundur dari jabatan yang diungkapkan Najwa di acaranya itu memang merupakan keinginan publik dan sudah bergaung kencang sejak beberapa waktu lalu.

Berbeda dengan kelompok yang kontra. Mereka menilai tindakan Najwa sangat keterlaluan dan tidaklah etis. Apalagi sang menteri sebelumnya sudah mengirim dirjennya untuk menjadi wakil dalam wawancara itu. Lebih jauh, ada juga yang menilai Mba Nana, telah melakukan “penghakiman lewat pers (Trial by press)” lewat pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada “kursi kosong”.

Kalimat seperti “Mengapa menghilang Pak? Anda minim sekali muncul di depan publik memberi penjelasan selama masa pandemi ini? Rasanya menteri kesehatan yang low profile di dunia selama ini hanya menteri kesehatan Indonesia. Atau Anda merasa bahwa kehadiran Menteri Kesehatan di muka publik Anda rasa tidak terlalu penting?” Ini memang gaya khas Najwa kala bertanya, namun dalam sesi tanya jawab dengan kursi kosong tadi kesan penghakiman itu jadi makin terasa.

Selain keberatan, pihak kontra juga bahkan ada yang bergerak lebih jauh yakni kelompok yang menamakan Relawan Jokowi Bersatu, lewat Ketua Umumnya, Silvia Devi Soebarto melaporkan puteri ulama Quraish Shihab ini ke Polda Metro Jaya. Kelompok ini menuding Najwa telah melakukan “cyber bullying”. Kejadian mewawancara kursi kosong telah melukai hati relawan sebagai pendukung presiden. Sebab sebagai menteri, Terawan adalah representasi presiden.

Dewan Pers sendiri melalui Ahmad Jauhar menyatakan aksi Najwa Shihab tidak tidak melanggar kode etik jurnalistik. “Dewan Pers melihat fenomena Nana (Najwa) mewawancarai kursi kosong, ya bagian dari kreativitas untuk menarik perhatian audiens. Nothing more,” kata Jauhar.

Lalu siapa yang salah dalam kasus ini? Seharusnya memang tak ada yang salah dalam kasus ini. Di satu sisi adalah hak Najwa untuk melakukan kreativitas dalam menggarap konten-kontennya. Di sisi lain, adalah hak seorang Menkes Terawan Agus Putranto tak datang menghadiri undangan. Persoalan ini adalah jelas persoalan antara presenter/wartawan (Najwa dan Narasi TV) sebagai pengundang dan Menkes sebagai narasumber (pihak yang diundang).

Memang dalam beberapa akun Facebook, beberapa kawan penulis (baik yang masih jurnalis atau sudah menjadi mantan jurnalis) pun ada banyak perbedaan pendapat dalam menyikapi kasus ini. Tapi apakah benar yang dilakukan Najwa Shihab sebagai seorang jurnalis bisa dibenarkan oleh Undang-undang pokok Pers maupun Kode Etik Jurnalistik.

Sebagian kawan dalam kasus ini menilai Najwa melanggar kode etik terkait pemberitaan berimbang dan menghormati hak narasumber. Sementara di sisi lain seperti juga yang diungkapkan oleh Dewan Pers, sama sekali tak ada pelanggaran dalam kode etik.

Normally, all of us take part in several activities in our day-to-day life and many of the times we may brand cialis no prescription not realize that at one point of time or another and a man face increase in odds of getting this issue can take steps to actually prevent it from occurring with the help of Booster capsules. Best Way to Being Safe While Trying ED Meds Even cialis properien though ED pill is available on all leading drug stores but it is made available only with a doctor’s prescription. The dosages are designed use this link tadalafil pharmacy depending upon the drivers’ education class that you choose. Loosing discount cialis virginity is not a big issue; the teen should have awareness about sex.

Penulis sama sekali tidak mau condong pada pemikiran yang menilai Najwa melanggar ataupun Najwa yang tidak melanggar. Karena esensinya justru bukan pada ranah hitam putih seperti itu. Menurut penulis, membedah persoalan ini sebagai sebuahunsur edukasi bagi para jurnalis maupun masyarakat jauh lebih penting. Karena itu, penulis akan coba melihat kasus ini senetral mungkin.

Dalam analisis penulis, kalau mau “dipaksakan”, mungkin ada “pelanggaran kecil” yang dilakukan pihak Najwa terhadap kode etik Jurnalistik. Seperti seorang wartawan haruslah menghormati privasi narasumbernya yang menolak untuk diwawancara (pasal 9), wartawan harus menempuh cara-cara profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik (pasal 2), dan terakhir wartawan Indonesia haruslah menjunjung asas berimbang dalam pemberitaan (pasal 1 dan 3) karena dalam kasus “kursi kosong” ini ada unsur ketidakberimbangan (Terawan sama sekali tak dapat melakukan pembelaan).

Mengapa dikatakan “pelanggaran kecil”? Saya sangat yakin seorang Najwa yang punya nama besar di dunia pers Indonesia, pastilah telah berusaha menjalankan jurnalistik secara profesional dan tak ada itikad buruk terhadap sosok Menkes. Hal ini ditunjukkan lewat cuitannya di akun media sosialnya @najwashihab pasca dilaporkan Relawan Jokowi ke Polda.

Presenter cantik ini bertutur, dirinya melakukan wawancara dengan kursi kosong karena Menkes Terawan tak pernah datang memenuhi undangannya walau pihaknya telah berkali-kali mengundang.
Di sinilah letak masalahnya terjadi, sebab kalau benar kabar soal Terawan sudah mengutus seorang Dirjen untuk mewakilinya dalam wawancara itu, mengapa si Dirjen tak dihadirkan? Kalau memang benar Dirjen itu datang, maka sepantasnya Najwa tak boleh menolak. Toh tujuan sebuah wawancara adalah menggali informasi, mau menteri atau dirjen statusnya sama. Dengan menolak si narsum yang ditunjuk, itu sama saja seorang wartawan meremehkan narasumbernya. Kecuali memang ada tujuan lain dari wawancara itu, tapi kalau demikian malah bisa dituding sebagai pemberitaan tendensius alias ada itikad buruk (seperti diatur pasal 1 KEWI).

Kedua, seorang wartawan pastilah punya “trik dan cara” untuk bisa mewawancara seorang menteri atau seorang presiden sekalipun sulit. Karena banyak kita lihat wartawan atau presenter tanah air yang terpaksa melakukan “door stop” atau menunggu waktu berhari-hari nongkrongin kantor narasumber hanya demi mendapatkan jawaban si narasumber. Beberapa senior saya sempat cerita kalau mereka harus menanti cukup lama hanya untuk sekadar dapat jawaban “ya” atau “tidak” dari si narasumber.

Ketiga, seharusnya kalau pun harus “menyentil” narasumber yang tak mau datang, si presenter bisa membuat sebuah opini (ingat, opini dan berita termasuk wawancara berbeda). Wartawan tak boleh beropini dalam berita, tapi dia tetap bisa menjalankan tugas jurnalistiknya lewat Opini.

Keempat, kalau pun ada “pelanggaran kecil” seperti yang saya bilang di atas, maka seharusnya itu semua bisa runtuh jika memang tujuannya adalah kepentingan publik. Dalam dua kali percakapan saya dengan pakar etika Pers Atmakusumah, baik kala saya masih mahasiswa dan sedang menulis skripsi (1997) dan kala saya mengikuti pelatihan Jurnalistik Redaktur seJabodetabek di Lembaga Pers DR Soetomo Dewan Pers Jakarta (2006), saya sempat bertanya apakah dalam mencari fakta seorang wartawan bisa “menghalalkan” segala cara (saya gambarkan waktu itu menyadap, mencuri data dan sebagainya) untuk keperluan pemberitaan. Dengan tegas Pak Atma bilang, demi “kepentingan publik”, semua kode etik bisa saja diabaikan, namun sebisa mungkin jangan dilanggar.

Lalu kembali ke persoalan kursi kosong, jelas yang digambarkan Mata Najwa adalah wawancara dan bukan opini. Dan jelas ini adalah produk jurnalistik sehingga solusinya jelas seperti diatur dalam kode etik jurnalistik.

Dalam kaitan wawancara kursi kosong ini, apakah narasumber (baca : Menkes Terawan) merasa dirugikan oleh pemberitaan itu. Jika ya, beliau bisa menggunakan pasal 10 dan 11 kode etik itu tadi. Dalam pasal 10, Pak Menteri bisa meminta si wartawan mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat tadi dan seperti diatur dalam pasal 11, wartawan wajib melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional. Jadi jelas, kasus ini tak perlulah sampai dilarikan ke ranah hukum. ()

*) Penulis adalah wartawan dan pemerhati media massa.

About the Author

menghabiskan sebagian karirnya sebagai wartawan dan redaktur di sejumlah media massa nasional (Sinar Harapan, MATRA dan Indopos). Konsultan Publik Relation terutama berkaitan dengan kasus lingkungan. Pemerhati dan penggiat sastera Melayu Tionghoa.

Author Archive Page

Comments

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini