Makin Bahlul: Terorisme Zaman Now, Bukanlah Terorisme Zaman Old

“Cita-cita ingin menjadi apa?” Tanya seorang bapak yang anaknya dipacari Ali Topan, dalam film rilisan tahun 1979, Ali Topan Detektif Partikelir Turun Ke Jalan.

“Jadi Teroris!” Jawab Ali Topan dengan ketus.

Jawaban tersebut tentu saja membuat si bapak terkejut sekaligus tidak senang. Namun pernah di suatu masa, membikin hati orang tua belingsat jadi tujuan sejati anak muda. Bentuk yang sangat keren. Digambarkan hal itu dengan baik oleh Teguh Esha sang penulis skenario film tersebut. Anak muda harus berontak, anti mapan, dan jadi teroris adalah puncak suatu pemberontakan.  Menjadi teroris, adalah bagian dari “kemudaan”, spirit anak muda yang memacu adrenalin dan tantangan. Plus gambaran keren tentang pria bermasker yang menenteng senapan serbu.

Memang di era 70-an itu, isu terorisme mengemuka. Carlos The Jackal, Baader Meinhoff Complex, Tentara Merah, IRA, PLO, Batista, Che Guevara, hampir tiap pemberitaan mengabarkan aksi-aksi teror mereka. “Membakar satu mobil adalah kriminal, membakar 1000 mobil merupakan pernyataan politik” Ucap Ulrike Meinhoff.  “Saya seorang dokter.” Ujar Che Guevara. “Membuang kista pada satu orang, hanya menyelamatkan satu orang, membuang satu rezim yang membawa penyakit pada masyarakat, akan menyelamatkan semua orang.”

Anak muda di Indonesia, mendapatkan semangat macam itu di era 70-an. Kini mereka tengah dewasa, menjadi pemuka, penghulu, dan dituakan. Betapa mengerikan jika anak muda yang gandrung akan teks terorisme itu, membibit hal yang sama pada anak muda. Sehingga anak muda pada saat ini tidak membutuhkan agenda macam-macam yang serba rumit untuk menjadi teroris. Mereka tinggal ikuti perintah, dan rasakan aksi nya bagai Rambo atau James Bond dalam film yang mereka tonton.

Merasa Keren Bagai Bintang Pelem

Cukup membayangkan mereka beraksi, berada di tengah marabahaya, atau hidup bagai mata-mata. Melakukan delik sandi, terlibat komunikasi rahasia dengan sesamanya, seolah mereka pahlawan besar dalam film-film aksi. Hal itu saja sudah cukup membuat anak-anak ini dengan senang hati terlibat. Mereka tidak akan memusingkan jatuhnya korban, pedih hati orang lain kehilangan yang disayangi. Karena mereka merasa korban-korbannya bagai figuran dari film aksi yang mereka bintangi sendiri.

Perasaan orang lain adalah tidak nyata, merupakan bagian dari permainan “doktrin terorisme” ini, dan mereka belum mau bangun. Maka tidak heran jika pemuda bahlul bernama Juhanda bisa tersenyum menang di pengadilan. Dia tidak peduli dirinya telah membunuh seorang anak balita bernama Intan Marbun. Dia merasa keren, walau bodoh dan dicaci orang sedunia.

Inilah terorisme  ala kultur pop, atau pembudayaan teror atas nama budaya teror. Nama-nama keren macam tauhid jihad, ISIS, Al Qaeda dan seterusnya hanyalah topeng dari penetrasi terorisme ala subkultur.  Pola menjadi “teroris itu keren” ini sangat berbeda dengan kisah-kisah teroris sungguhan di era 60-70-an di abad 20 lalu. Di eranya, para teroris melakukan tindakan teror dengan memperhatikan banyak aspek, terutama efektifitas dan efisiensi pada hasil-hasil perjuangannya.

Teroris Pensiun Kecuali Teroris Zaman Now

Canadian Pharmacy: Top 3 Desirable Traits The following discussion will take you through the most important viagra sale uk cute-n-tiny.com traits that a Canadian pharmacy online that has made it so popular. Stomach ought to be light http://cute-n-tiny.com/tag/grey-macaques/ viagra order canada whilst taking the actual drug. They still should complete behind the wheel expertise with an authorized pedagogue. http://cute-n-tiny.com/category/cute-animals/page/11/ brand viagra australia All the six light brown tablets containing 30 micrograms such as ethinylestradiol and 50 micrograms such as levonorgestrel, along with five white tablets including 40 micrograms ethinylestradiol on line levitra http://cute-n-tiny.com/cute-animals/two-baby-pandas/ and 75 micrograms levonorgestrel, and the ten ochre tablets contain 30 micrograms ethinylestradiol and 125 micrograms levonorgestrel are quite helpful for them.

Carlos The Jackal seorang teroris besar era 70-80 dalam wawancaranya pernah menyatakan, bahwa aksi teror dilakukan pada saat warganegara biasa bungkam tidak mau merasakan penderitaan negara lain yang dijajah. Proyek teror adalah proyek untuk membangkitkan warga damai untuk waspada bahwa dunia masih berlangsung ketidakadilan. Teror adalah pesan tidak menyenangkan, tidak nyaman pada dunia yang mengabaikan banyak hal penting.

Oleh sebab itulah para teroris di era itu pun mengenal istilah pensiun. Suhaila Sayeh, seorang teroris rekrutan Organisasi Pembebasan Palestina Merdeka yang pernah membajak penerbangan Lufthansa 181 pada tahun 1977 pernah menyatakan penyesalan pada korban yang jatuh. Menyatakan bahwa dirinya dahulu hanya ingin mengabarkan pesan bahwa bangsanya menderita dijajah di saat negara lain hidup senang-senang.

Sayeh menjadi satu-satunya dari empat pelaku teror yang lolos dari maut setelah tentara anti teroris asal Perancis, GIGN menggagalkan aksi mereka. Sayeh terluka parah, dan dibebaskan dari penjara, lalu pensiun hidup normal, namun kembali dipenjarakan di Jerman berpuluh tahun kemudian, tanpa perlawanan diri dan bahkan memicu perdebatan penting bahwa ada saatnya para pelaku teror dalam skala tertentu dimaafkan publik.

Tapi kids zaman now, anak-anak zaman sekarang yang direkrut menjadi teroris malah makin kalap, makin tidak jelas, dan makin bodoh serta tidak bertanggungjawab dengan doktrin terorisme sendiri. Artinya, kegiatan teror malah didegradasi sedemikian rupa tidak menampilkan teror sebagai alat perjuangan kebebasan, alih-alih malah menjadi bagian dari pesta pembodohan abad 21, di mana teror dilakukan demi motif nihilistik serta narsistik pelakunya, yang merasa kehidupan surga dikehidupan berikutnya dapat diperoleh dengan cara keji.

Teroris Tanpa Masa Depan

Para teroris kencur ini tidak tahu apa yang mereka butuhkan dan capai. Sehingga tidak heran apabila di tengah perjalanannya ada teroris yang tertangkap menyamar memakai baju wanita, atau melindungi kemaluannya dengan batu karena beranggapan bahwa dia tidak ingin kehilangan alat vital jika bertemu dengan bidadari di surga.

Terorisme telah menyublim pada kultur pop, menjadi bagian dari gaya hidup yang bisa direplikasi dengan cepat, melalui bantuan penanaman doktrin 7 menitan. Padahal di era 70-an, teror dilakukan para elit yang telah dilatih bertahun-tahun secara militer, dan menyerang objek-objek vital agar tercapai sasaran yang menghasilkan negosiasi atau renegosiasi para pemimpin perjuangan mereka dengan pemimpin dunia.

Teroris era 70-an memikirkan masa depan, dan memang ada hasilnya. Misalkan, negara Palestina merdeka yang berhasil didirikan oleh para alumnus teroris dari sejak George Habbash, Ali Hassan Salameh, Abu Nidal, hingga Yasser Arafat. Perjuangan mereka purna, selesai, negara yang dibangun dari darah dan air mata telah berdiri syah, barangkali mereka mulai menghitungi dosa-dosa perang yang memakan korban sipil tidak bersalah.

Tapi para teroris model Juhanda cs, kebanggaan macam apa yang hendak dibangun? Nilai Islam mana yang hendak ditegakkan? Jalan kenabian mana yang hendak diikuti? Negara macam apa yang hendak dibangun? Bahkan sungguh ironis konsep terorisme pun diteror oleh mereka sendiri. Dibajak, dibelokkan, demi perasaan narsistik tingkat tinggi yang nihil dan sesaat.

Seketika mereka sadar, di saat mereka telah mengetahui bahwa mereka korban doktrin terorisme, barulah mereka paham masa muda hilang dibalik kebodohan. Namun itulah ciri subkultur. Ikatannya dibangun oleh rasionalisasi gaya anak muda yang labil.

About the Author

Jurnalis asongan, pengais setiap rizki halal, penitip setiap doa baik di dunia. Politisi yang menunggu dikarbit. Kyai kantong bolong. Lahir di dusun kecil Jalancagak, tinggal di dusun kecil Jalancagak. Berharap menutup hari tua di dusun kecil Jalancagak.

Author Archive Page

Comments

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini