Tata Cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK)

Tata Cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) – Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (“IUPHKK”) merupakan bagian dari Izin Pemanfaatan Hutan yang terdiri atas terdiri izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau bukan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan kayu dan/atau bukan kayu pada areal hutan yang telah ditentukan. PP No.6/2007 sendiri memberikan Pengertiaan IUPHKK sebagai Izin  usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dalam hutan alam pada hutan produksi melalui kegiatan pemanenan atau penebangan, pengayaan, pemeliharaan dan pemasaran.

Berdasarkan pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan beberapa unsur-unsur yang terdapat IUPHKK ini, yaitu meliputi:
1.    Memanfaatkan Hasil Hutan Kayu,
2.    Dilakukan dalam Hutan Alam Pada Hutan Produksi;
3.    Melalui beberapa kegiatan meliputi: Pemanenan atau penebangan, pengayaan, Pemeliharaan dan Pemasaran.

1. Memanfaatkan Hasil Hutan Berupa Kayu

Memanfaatkan hasil hutan berupa kayu mengandung arti kegiatan untuk memanfaatkan dan mengusahakan hasil hutan berupa kayu dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokoknya.  Sehingga disini didapatkan bahwa kegiatan pemanfaatan hasil hutan berupa kayu ini oleh Peraturan Perundang-undangan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi pokoknya sebagai hutan.

2. Dilakukan dalam Hutan Alam Pada Hutan Produksi

Adapun yang dimaksud dengan Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.  Hutan Produksi sendiri dapat dibagi menjadi 3 (tiga) bagian yaitu:

  • Hutan Produksi yang dapat dikonversi yang selanjutnya disebut HPK adalah kawasan hutan yang secara ruang dicadangkan untuk digunakan bagi pembangunan di luar kehutanan;
  • Hutan Produksi Tetap yang selanjutnya disebut HP adalah kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai dibawah 125, di luar kawasan lindung, hutan suaka alam, hutan pelestarian alam dan taman buru;
  • Hutan Produksi Terbatas yang selanjutnya disebut HPT adalah kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai antara 125-174, di luar kawasan lindung, hutan suaka alam, hutan pelestarian alam dan taman buru;
  • Hutan produksi yang tidak produktif adalah hutan yang dicadangkan oleh Menteri sebagai areal pembangunan hutan tanaman;

order viagra https://unica-web.com/archive/2018/SUNCICA-FRADELIC-candidate-UNICA2018.html Reduces Pain and Shoulder Dysfunction In 2008, Dr. Still, not https://unica-web.com/watch/2015/end-of-an-era.html cialis 40 mg many live by this law. Another common way senders of viagra online sales spam get their hands on your email address. In cheapest viagra no prescription order to compensate for this issue, men can use Mast Mood oil.
Terdapat beberapa jenis IUPHHK yang dibedakan berdasarkan lokasi kawasan hutan yang menjadi objek Izin tersebut, yaitu meliputi:

  • Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Dalam Hutan Alam yang selanjutnya disingkat IUPHHK-HA yang sebelumnya disebut Hak Pengusahaan Hutan (HPH) adalah izin memanfaatkan hutan produksi yang kegiatannya terdiri dari penebangan, pengangkutan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan kayu;
  • Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri dalam Hutan Tanaman pada Hutan Produksi yang selanjutnya disingkat IUPHHK-HTI yang sebelumnya disebut Hak Pengusahaan Hutan Tanaman (HPHT) atau Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HTI) adalah izin usaha untuk membangun hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok industri untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri;
  • Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem dalam hutan alam yang selanjutnya disingkat IUPHHK-RE adalah izin usaha yang diberikan untuk membangun kawasan dalam hutan alam pada hutan produksi yang memiliki ekosistem penting sehingga dapat dipertahankan fungsi dan keterwakilannya melalui kegiatan pemeliharaan, perlindungan dan pemulihan ekosistem hutan termasuk penanaman, pengayaan, penjarangan, penangkaran satwa, pelepasliaran flora dan fauna untuk mengembalikan unsur hayati (flora dan fauna) serta unsur non hayati (tanah, iklim dan topografi) pada suatu kawasan kepada jenis yang asli, sehingga tercapai keseimbangan hayati dan ekosistemnya.

3.    Melalui beberapa kegiatan meliputi Pemanenan atau penebangan, pengayaan, Pemeliharaan dan Pemasaran.

Persyaratan

Penerbitan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) memiliki beberapa Persyaratan yang terdiri dari Persyaratan Areal, Persyaratan Subyek dan Persyaratan Permohonan, yang penjelasannya sebagai berikut:

1) Persyaratan Areal

  • Areal yang dimohon adalah kawasan hutan produksi tidak dibebani izin/hak;
  • Untuk IUPHHK-HTI dan IUPHHK-RE diutamakan pada hutan produksi yang tidak produktif dan dicadangkan/ditunjuk oleh Menteri sebagai areal untuk pembangunan hutan tanaman atau untuk restorasi ekosistem;

2) Persyaratan Subyek Pemohon
a) Pemohon yang dapat mengajukan permohonan IUPHHK-HA, IUPHHK-HTI dan IUPHHK-RE adalah:

  • Perorangan;
  • Koperasi;
  • Badan Usaha Milik Swasta Indonesia (BUMSI);
  • Badan Usaha Milik Negara (BUMN); atau
  • Badan Usaha Milik Daerah.

b)    Dalam hal permohonan IUPHHK-HTI, untuk permohonan perorangan, tidak diperbolehkan;
c)    Permohonan IUPHHK-HTI, BUMS Indonesia dapat berupa perseroan terbatas yang berbadan hukum Indonesia dan modalnya dapat berasal dari investor atau modal asing;

3)  Persyaratan Permohonan

Adapun permohonan pengajuan suatu Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) terdiri dari :

  • Untuk perorangan harus berbentuk CV atau Firma dan dilengkapi akte Pendirian;
  • Akte pendirian Koperasi, dan Badan Usaha Milik Swasta Indonesia beserta perubahan-perubahannya yang disahkan instansi berwenang;
  • Surat Izin Usaha dari instansi yang berwenang;
  • Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
  • Pernyataan yang dibuat di hadapan Notaris, yang menyatakan kesediaan untuk membuka kantor cabang di Provinsi dan atau Kabupaten/Kota;
  • Rencana lokasi yang dimohon dengan dilampiri peta skala minimal 1 : 100.000 untuk luasan di atas 100.000 hektar atau skala 1 : 50.000 untuk luasan di bawah 100.000 hektar;
  • Rekomendasi Gubernur yang dilampiri peta lokasi sekurang-kurangnya skala 1 : 100.000, dengan didasarkan pada;
  • Pertimbangan Bupati/Walikota yang didasarkan pada pertimbangan teknis Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota, bahwa areal dimaksud tidak dibebani hak-hak lain;
  • Analisis fungsi kawasan hutan dari Kepala Dinas Kehutanan Provinsi dan Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan, yang berisi fungsi kawasan hutan sesuai;
  • Keputusan Menteri Kehutanan tentang penunjukan kawasan hutan dan perairan provinsi dan data lain yang tersedia antara lain tata batas, uraian penutupan vegetasi, penggunaan, pemanfaatan, perubahan peruntukan dan fungsi kawasan yang dituangkan dalam data numerik dan spasial;
  • Proposal teknis yang berisi antara lain :

Prosedur Permohonan

Permohonan mendapatkan izin untuk Izin Pemanfaatan Kayu Pada Areal Penggunaan Lain (APL) ditujukan Kepala Dinas Kabupaten/Kota sebagai Pejabat Penerbit IPK. Berikut tahapannya:

1. Mengajukan Permohonan Kepada Pejabat Penerbit IPK dengan tembusan kepada Kepala Dinas Propinsi, Kepala Balai dan Kepala BPKH, dengan dilengkapi oleh beberapa Dokumen yaitu:

  • Fotokopi Kartu Tanda Penduduk untuk pemohon perorangan atau Akte Pendirian perusahaan pemohon beserta perubahannya;
  • Fotokopi izin peruntukan penggunaan lahan seperti izin bidang pertanian, perkebunan, perikanan, pemukiman, pembangunan transportasi, sarana prasarana wilayah, pembangunan sarana komunikasi dan informasi, Kuasa Pertambangan, PKP2B yang diterbitkan dan dilegalisir oleh pejabat yang berwenang;
  • Peta lokasi yang dimohon.

2. Jika Permohonan IPK tidak memenuhi persyaratan maka Pejabat Penerbit IPK akan  menolak permohonan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan diterima;
3. Jika Permohonan IPK yang memenuhi persyaratan maka Pejabat Penerbit IPK meminta pertimbangan teknis kepada Direktur Jenderal, dengan tembusan kepada Kepala Balai dengan dilampiri dengan persyaratan permohonan;
4. Berdasarkan tembusan permintaan pertimbangan teknis, Kepala Balai dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya tembusan permintaan pertimbangan teknis menyampaikan hasil penelaahan terhadap kegiatan fisik di lapangan kepada Direktur Jenderal;
5. Kepala Dinas Propinsi dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya permintaan pertimbangan teknis, menerbitkan pertimbangan teknis atau penolakan kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada Direktur Jenderal, Bupati/Walikota, dan Kepala Balai. Adapun Pertimbangan teknis Kepala Dinas Propinsi didasarkan hasil penelaahan terhadap status kawasan hutan dan kondisi perusahaan pemegang izin peruntukan;
6. Selanjutnya Berdasarkan pertimbangan teknis, Pejabat Penerbit IPK memerintahkan kepada pemohon untuk:

  • Melakukan timber cruising pada areal yang dimohon dengan intensitas 5% (lima persen) untuk seluruh pohon dan diselesaikan dalam jangka waktu paling lambat 25 (dua puluh lima) hari kerja sejak diterimanya surat perintah dan membuat Rekapitulasi Laporan Hasil Cruising (RLHC);
  • Menuangkan RLHC sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam Berita Acara dan ditandatangani oleh pengurus perusahaan dilengkapi Pakta Integritas yang berisi nama, jabatan, alamat, dan pernyataan kebenaran pelaksanaan timber cruising.

7. Dalam hal pemohon telah memenuhi syarat, Pejabat Penerbit IPK memberikan surat persetujuan IPK dan kepada pemohon diwajibkan untuk:

  • Membuat Rencana Penebangan dalam jangka waktu 50 (lima puluh) hari kerja sejak diterimanya Surat Perintah;
  • melaksanakan penataan batas blok tebangan IPK, dan diselesaikan paling lambat 50 (lima puluh) hari kerja sejak diterimanya Surat Perintah;
  • menyampaikan Bank Garansi dari bank pemerintah;

8. Dalam hal memenuhi persyaratan, diterbitkan Keputusan Pemberian IPK , yang mana salinan/tembusannya disampaikan kepada:

  • Direktur Jenderal;
  • Direktur Jenderal Planologi Kehutanan;
  • Kepala Dinas Kabupaten/Kota; dan
  • Kepala Balai.

9. Dalam hal pemohon tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada poin 7), dalam waktu 50 (lima puluh) hari kerja surat persetujuan IPK dibatalkan;
10. Keputusan Pemberian IPK sebagaimana atau surat pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Poin 7) dan Poin 8), salinan/tembusannya disampaikan kepada:

  • Direktur Jenderal;
  • Direktur Jenderal Planologi Kehutanan;
  • Kepala Dinas Kabupaten/Kota; dan
  • Kepala Balai.

Biaya

Untuk penerbitan IPK pada APL ini ditentukan beberapa biaya-biaya yang membebaninya yaitu antara lain:

  1. Pembayaran penggantian nilai tegakan dari IPK, dimana besarnya dihitung berdasarkan volume pada Laporan Hasil Produksi (LHP), dimana selanjutnya  Pejabat Penagih SPP-GR menerbitkan SPP-GR kepada pemegang IPK. ;
  2. Pembayaran PSDH (Provisi Sumber Daya Hutan), yang mana besarnya disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  3. Pembayaran DR (Dana Reboisasi) yang mana besarnya disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

Dasar Hukum:

  1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Hutan dan Penyusunan Rencana Pengeloaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan (“PP No.6/2007”);
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan (“PP No.3/2008”)
  3. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.50/Menhut-II/2009 Tentang Penegasan Status dan Fungsi Kawasan Hutan (“Permenhut P.50/2009”);
  4. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.50/Menhut-II/2010 Tentang Tata Cara Pemberian dan Perluasan Areal Kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Dalam Hutan Alam, IUPHHK Restorasi Ekosistem, atau IUPHHK Hutan Tanaman Industri dan Hutan Produksi (“Permenhut P.50/2010”);
  5. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.26/Menhut-II/2012 Tentang Perubahan Peraturan Menteri kehutanan Nomor P.50/MENHUT-II/2010 Tentang Tata Cara Pemberian dan Perluasan Areal Kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Dalam Hutan Alam, IUPHHK Restorasi Ekosistem, atau IUPHHK Hutan Tanaman Industri dan Hutan Produksi (“Permenhut P.26/2012”)

 

About the Author

Obbie Afri Gultom, SH, MA, LLM, CHFI, is the Editor-in-Chief at "Gultom Law Consultants", now a part of Gading and Co, a leading firm in corporate management and consulting. A graduate of Erasmus University Rotterdam in 2019 through the StuNed scholarship program, he completed his Master of Law at the University of Auckland in 2022. With four years of experience in Corporate Business Law, including two years in the private sector and two years in a law firm, along with nine years in State Financial Law and Public Audit as an Auditor, Obbie possesses deep expertise in contract writing and review, legal research, merger and acquisition processes, corporate management, Good Corporate Governance (GCG), and public auditing. Additionally, he has three years of experience as a Development Policy Researcher at Erasmus University Rotterdam. For professional services, Obbie Afri Gultom can be contacted via WhatsApp at 08118887270.

Author Archive Page

Comments

3 Comments

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini