Sejarah Force Majeure

  1. Dalam Putusan MA Reg. No. 3389 K/PDT/1984 tertanggal 27 Maret 1986 yang memutuskan bahwa Instruksi Penguasa Administratif yang merupakan pihak pada suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1337 KUH Perdata yang menunda pemenuhan prestasi (pengembalian kapal) bukan alasan adanya keadaan memaksa. Adapun ganti kerugian berdasarkan putusan ini adalah Jumlah uang demurrage sebesar Rp54.000.000,00 dan bunga sebesar 2% per bulan
  2. Dalam Putusan MA No. Reg. 558 K/Sip/1971 tertanggal 4 Juni 1973 Untuk mendalilkan adanya keadaan keadaan memaksa, seseorang harus dapat membuktikan bahwa peristiwa yang terjadi bukanlah disebabkan kesalahannya.
  3. Dalam Putusan MA No.409K/Sip/1983 tertanggal 25 Oktober 1984 dijelaskan bahwa Keadaan keadaan memaksa harus memenuhi unsur tidak terduga, tidak dapat dicegah oleh pihak yang harus memenuhi kewajiban atau melaksanakan perjanjian, dan di luar kesalahan dari pihak tersebut.
  4. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan yang menyitir Dr. H.F.A. Vollmar: overmacht adalah keadaan di mana debitur sama sekali tidak mungkin memenuhi perutangan (absolute overmacht) atau masih memungkinkan memenuhi perutangan, tetapi memerlukan pengorbanan besar yang tidak seimbang atau kekuatan jiwa di luar kemampuan manusia atau dan menimbulkan kerugian yang sangat besar (relative overmacht).
  5. Dalam UNIDROIT PRINCIPLES OF INTERNATIONAL COMMERCIAL CONTRACTS 2010 diatur mengenai hardship yaitu sesuatu yang menimbulkan akibat hukum bagi kontrak yang dibuat para pihak, sebagaimana diatur dalam Pasal 6.2.3 UPICC ( UNIDROIT PRINCIPLES OF INTERNATIONAL COMMERCIAL CONTRACTS 2010) yang memberikan alternatif penyelesaian, sebagai berikut.

1)      Pihak yang dirugikan berhak untuk meminta dilakukan renegosiasi kontrak kepada pihak lainnya. Permintaan tersebut harus diajukan segera dengan menunjukkan dasar (hukum) permintaan renegosiasi tersebut;

2)      Permintaan untuk dilakukannya renegosiasi tidak dengan sendirinya memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk menghentikan pelaksanaan kontrak;

3)      Apabila renegosiasi gagal mencapai kesepakatan dalam jangka waktu yang wajar maka para pihak dapat mengajukannya ke pengadilan;

4)      Apabila adanya hardship terbukti di pengadilan maka pengadilan dapat memutuskan untuk (a) mengakhiri kontrak pada tanggal dan waktu yang pasti; atau (b) mengubah kontrak dengan mengembalikan keseimbangannya.

Memperhatikan akibat hukum adanya hardship di atas, pada prinsipnya diakui bahwa dalam keadaan demikian, pihak yang dirugikan dapat mengajukan permintaan renegosiasi. Tujuan dari renegosiasi ini agar diperoleh pertukaran hak dan kewajiban yang wajar dalam pelaksanaan kontrak karena terjadi peristiwa yang secara fundamental mempengaruhi keseimbangan kontrak.

UPICC merupakan produk hukum dari lembaga Internasional bernama STATUTE OF THE INTERNATIONAL INSTITUTE FOR THE UNIFICATION OF PRIVATE LAW (STATUTA LEMBAGA INTERNASIONAL UNTUK UNIFIKASI HUKUM PERDATA) , dan keberadaan dan keberlakukan produk hukumnya telah diakui dan telah berlaku di Indonesia dengan di ratfikasi berdasarkan  Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2008 Tentang Pengesahan Statue of The International Institute For The Unification of Private Law (Statuta Lembaga Internasional Untuk Unifikasi Hukum Perdata). Dan perubahan hukum terakhirnya adalah UPICC 2010.

Dalam UPICC 2010 bagian pembukaan ditentukan “They (UPICC 2010) may be used to interpret or supplement domestic law” yang mengandung arti bahwa UPICC 2010 ini dapat digunakan sebagai tambahan peraturan terhadap kontrak-kontrak domestic.

Selanjutnya dalam Pasal 6.12. UPICC 2010 ditentukan:

Where the performance of a contract becomes more onerous for one of the parties, that party is nevertheless bound to perform its obligations subject to the following provisions on hardship

berdasarkan ketentuan di atas dapat ditarika kesimpulan jika setelah berjalannya kontral terdapat ketentuan yang dapat memberatkan salah satu pihak maka dapat tunduk pada ketentuan-ketentuan mengenai hardship sebagai berikut:

1)      In case of hardship the disadvantaged party is entitled to request renegotiations. The request shall be made without undue delay and shall indicate the grounds on which it is based.
We are proud to be cheapest Online Drug store, where you can buy Generic Drugs including effects of levitra professional. Heat Stroke can typically occur the buy levitra to infants, elderly, athletes and outdoor workers. Some of the most important symptoms are burning sensation, while tadalafil soft tablets discharging urine. Also injuries to the male reproductive organ cause erectile low cost levitra dysfunction.
2)      The request for renegotiation does not in itself entitle the disadvantaged party to withhold performance.

3)      Upon failure to reach agreement within a reasonable time either party may resort to the court.

4)      If the court finds hardship it may, if reasonable,

a)      terminate the contract at a date and on terms to be fixed, or

b)      adapt the contract with a view to restoring its equilibrium.

 

Yang mengandung arti sebagaimana dijelaskan sebelumnya yaitu:

1)      Pihak yang dirugikan berhak untuk meminta dilakukan renegosiasi kontrak kepada pihak lainnya. Permintaan tersebut harus diajukan segera dengan menunjukkan dasar (hukum) permintaan renegosiasi tersebut;

2)      Permintaan untuk dilakukannya renegosiasi tidak dengan sendirinya memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk menghentikan pelaksanaan kontrak;

3)      Apabila renegosiasi gagal mencapai kesepakatan dalam jangka waktu yang wajar maka para pihak dapat mengajukannya ke pengadilan;

4)      Apabila adanya hardship terbukti di pengadilan maka pengadilan dapat memutuskan untuk

a)      mengakhiri kontrak pada tanggal dan waktu yang pasti; atau

b)      mengubah kontrak dengan mengembalikan keseimbangannya.

 

About the Author

Obbie Afri Gultom, SH, MA, LLM, CHFI, is the Editor-in-Chief at "Gultom Law Consultants", now a part of Gading and Co, a leading firm in corporate management and consulting. A graduate of Erasmus University Rotterdam in 2019 through the StuNed scholarship program, he completed his Master of Law at the University of Auckland in 2022. With four years of experience in Corporate Business Law, including two years in the private sector and two years in a law firm, along with nine years in State Financial Law and Public Audit as an Auditor, Obbie possesses deep expertise in contract writing and review, legal research, merger and acquisition processes, corporate management, Good Corporate Governance (GCG), and public auditing. Additionally, he has three years of experience as a Development Policy Researcher at Erasmus University Rotterdam. For professional services, Obbie Afri Gultom can be contacted via WhatsApp at 08118887270.

Author Archive Page

Comments

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini